HARI-HARI ini berbagai media Tanah Air memberitakan tuntutan hukuman mati untuk Antasari Azhar, Wiliardi Wizar, dan Sigid Haryo Wibisono terkait pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Tiap kali membaca berita hukuman mati semacam itu, rasa hidup selalu tergetar. Kalaupun tuntutan hukuman mati itu sesuai undang-undang yang berlaku, peradaban yang agung —cinta kehidupan promanusia— sebagai rumah rasa hidup itu, tetap mempersoalkan dasar-dasar terdalam UU hukuman mati.
Masalahnya, hukuman mati bukan kesepakatan universal umat manusia. Undang-Undang hukuman mati hanya keputusan kekuasaan politis suatu negara pada zaman tertentu.
Banyak negara menolak hukuman mati meski tidak sedikit negara menyetujuinya. Mengapa sama-sama negara, di bumi yang sama, bisa menjadi dua kubu dengan pilihan sikap moral berbeda untuk objek yang sama? Kubu mana lebih selaras dengan peradaban yang agung?
Pertanyaan itu menguji kepekaan insani atas sisi lembut peradaban saat asas-asas moral yang mendasari kelahiran hukum di negara satu berbeda dari negara yang lain.
Asas-asas moral itu bersifat lintas budaya, religi, paham hidup, geografis dan lain-lain. Kubu setuju atau kubu menolak hukuman mati bisa terjadi di Barat atau Timur, di negara teokratis atau sekuler, di Utara atau Selatan, dan di negara-negara yang katanya sama-sama menjunjung tinggi HAM. Meski menghasilkan dua tata hukum yang bertolak-belakang, dua kubu menyatakan telah berpijak pada asas moral yang baik dan benar, dan menganggap itulah produk hukum yang paling tepat bagi negara masing-masing.
Dua kubu tersebut sama kuat dalam pendirian. Segala argumen penangkal tak akan mampu mengubah kubu terkait. Negara yang setuju atau menolak hukuman mati akan selalu bisa bertahan dengan sikap moral masing-masing.
Maka setuju atau menolak hukuman mati menjadi macet yang nyaris mustahil didiskusikan. Sekalipun misalnya sudah mengerahkan 1.001 ilmu yang dibutuhkan dengan kajian luas-mendalam-menyeluruh, keputusan setuju atau menolak hukuman mati akhirnya hanya masalah pilihan belaka pada intinya.
Dan, pilihan negara kita adalah memberlakukan UU hukuman mati. Salah satu dasarnya karena pilihan tersebut sudah konstitusional dan tidak melanggar HAM. Benarkah?
Pemahaman Dasar
Tentangnya kita bisa berdebat bertahun-tahun. Yang jelas, pilihan sudah dijatuhkan. Maka, kita langsung saja pada maksud artikel ini. Sudah tersirat sejak di awal tulisan, maksud utama artikel ini adalah upaya kritis atas UU hukuman mati, sebagai suatu pilihan.
Sebab, pilihan lain tersedia. Untuk ini diperlukan keterbukaan menerima terang peradaban dan kepekaan merasakan kelembutannya yang agung.
Namun keterbukaan dan kepekaan di atas membutuhkan banyak pemahaman dasar sebagai sarana.
Butir-butirnya banyak sekali. Terpenting di antaranya empat pemahaman dasar berikut:
Pertama, lepas dari akibat dahsyat dari penjahat kaliber paling top semisal koruptor kakap, diktator, gembong pemberontak, teroris, saudagar drugs, tukang suruh bunuh dan sebagainyal, tetapi begitu ia sudah menjadi pesakitan, pengadilan negara wajib membela bagian hak asasi manusia (HAM)-nya, yaitu hak hidupnya. Salah satu hakikat dan tujuan negara dilahirkan adalah untuk melindungi manusia yang tinggal di dalamnya.
Kedua, hukuman mati melawan asas perikemanusiaan dan mendewakan kekuasaan manusia. Tak seorang manusia pun, atas nama apapun, berhak mengakhiri hidup sesamanya. Ia produk UU negara yang sebagian sendinya berdasar norma-norma moral purba yang ciri utamanya adalah otoriter sehingga mengabaikan pendidikan.
Ketiga, hukuman mati dengan sendi paham norma purba, yang dipraktikkan sekarang dengan cara kurang lebih sama saat paham hidup itu lahir, tidak sesuai zaman.
Tidak menjawab kebutuhan nyata zaman terkini yang kian kompleks akibat dialektika kemajuan dan keterbatasannya sendiri, yang amat berbeda dari zaman ketika paham hidup dan semua ikutannya ‘’lahir’’. Itulah era purba saat khalayak luas cuma bisa mengiyakan apa saja yang dikatakan para elite segala bidang, termasuk elite agama.
Keempat, hukuman mati adalah sikap politik hukum yang sudah angkat tangan dan pesimistik menghadapi sang terpidana tak termaafkan. Tak percaya orang bisa berubah menjadi baik dengan pendidikan yang baik. Meremehkan pemanusiaan dan kemanusiaan.
Mengecilkan hakikat-makna-maksud hukum sejati, yang bukan menghukum, tapi mendidik. Memang sukar. Sebab, pendidikan - pemanusiaan manusia agar memanusia - mahal tak ternilai. Hukuman mati adalah wujud oportunisme hukum yang tidak mampu dan tidak mau repot untuk membayar harga pendidikan.
Akhirnya, semoga semua warganegara yang tidak setuju hukuman mati mau terus berjuang lebih keras lagi. Berkonsolidasi, lewat berbagai forum menyuarakan sikap dengan argumen yang kuat.
Siapa tahu suatu saat mekanisme politik di negara kita melahirkan produk hukum yang menghapus hukuman mati. Lebih 100 negara dan sebagian tergolong relatif maju dan bermartabat memilih tidak memberlakukan hukuman mati. Mengapa kita tidak memilih yang sama? (10)
— L Murbandono Hs, peminat dan pengamat peradaban,tinggal di Banyubiru, Kabupaten Semarang
Wacana Suara Merdeka 23 Januari 2010