Kasus ibu dari keluarga miskin di Pulau Nias yang membantai lima anaknya dan tiga di antaranya tewas dan dua lagi kritis, disusul kasus mutilasi terhadap anak jalanan yang terjadi baru-baru ini di Jakarta dan sempat dimuat di halaman 1 Kompas hari Rabu (13/1), membuktikan kekerasan terhadap anak adalah fakta untuk orang-orang miskin.
Benarkah kekerasan atas anak hanya terjadi pada keluarga-keluarga miskin di Indonesia? Acapkali kita lupa bahwa ternyata kekerasan atas anak yang terjadi di negeri ini berlangsung hampir di semua lapis masyarakat.
Tanpa kita sadari, anak-anak kita sudah kehilangan kreativitasnya, anak-anak kita berada dalam situasi tertekan, anak-anak kita tidak punya gairah untuk bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Anak-anak kita dihantui ketakutan yang luar biasa ketika akan menghadapi ujian nasional. Anak-anak kita sudah bergaya hidup seperti miniatur orang dewasa. Anak-anak kita tak punya rasa solidaritas sosial terhadap anak-anak yang nasibnya kurang beruntung, anak-anak kita juga disuguhi adegan-adegan semu, mistis, dan kekerasan di layar kaca setiap hari.
Belum lagi anak-anak yang kekurangan gizi, anak-anak yang hidup dengan HIV/AIDS, anak-anak cacat yang tidak diurus secara serius, anak-anak yang harus bekerja di tempat-tempat berbahaya siang dan malam, anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual serta anak-anak yang hidup dalam penjara-penjara yang kumuh, kotor, dan berdesak-desakan.
Ini semua fakta kekerasan absolut yang akan menentukan arah perjalanan negeri ini. Akankah kita berdiam diri? Tidak adakah dari kita yang prihatin dengan masalah ini? Atau ”urat nadi kita” sudah mati rasa dan terinfeksi dan menjadikannya sebagai fenomena dan bukan fakta yang menjadi awal kerusakan sistemik nasib anak-anak kita.
Baru-baru ini pemerintah, diwakili oleh Menteri Sosial, menyatakan bahwa negara hanya mampu menangani 4 persen dari total anak-anak yang berada dalam situasi sulit yang hidupnya berada dalam situasi penelantaran, kekerasan, ataupun eksploitasi.
Yang lebih mengejutkan lagi ternyata pemerintah mengakui ada sekitar 17,7 juta anak-anak yang berada dalam situasi sulit tersebut. Kita akan berhitung-hitungan dengan angka ini. Angka 4 persen yang mampu ditangani pemerintah itu sama dengan 708.000 anak. Dengan demikian, persoalan anak baru bisa diselesaikan dalam waktu 25 tahun atau seperempat abad!
Benarkah kemampuan negara terbatas dalam menangani masalah anak? Atau ”sengaja dibatasi” agar ada ”pekerjaan” selama 25 tahun ke depan lalu setiap tahun ditampilkan data statistik yang menunjukkan adanya penurunan jumlah anak yang berada dalam situasi sulit.
Bukankah ini artinya negara telah berwujud menjadi negara kekerasan, yaitu negara yang tidak mampu menyelesaikan persoalan anak dalam waktu yang lebih cepat.
Saya menjadi teringat dengan kata-kata bijak Nelson Mandela ketika ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PBB. ”Sebuah negara dikatakan beradab jika punya perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masa depan anaknya dan anak terbebas dari segala bentuk situasi sulit,” ujarnya. Jika kata-kata ini dikaitkan catatan komite hak anak PBB terhadap laporan periodik Pemerintah Indonesia terkait dengan pelaksanaan Konvensi Hak Anak, kita sedikit miris.
Karena ada satu catatan yang sangat diplomatis yang patut kita renungkan: ”Pemerintah Indonesia telah memiliki komitmen untuk mengatasi persoalan anak, tetapi komitmen tersebut tidak sungguh-sungguh dilaksanakan”. Jika ungkapan Nelson Mandela dikaitkan dengan catatan dari komite hak anak PBB, patutkah Indonesia disebut negara yang beradab? Hanya karena tidak sungguh-sungguh memperbaiki nasib anak-anak yang berada dalam situasi sulit.
Pikiran kita saat ini terbelenggu dengan berita politik yang ingar-bingar, yang menjadi head line di sejumlah media. Duka anak acap kali hanya menjadi aksesori pemberitaan yang tidak mengarah pada penyelesaian secara makro dan cenderung kasus per kasus.
Kasus mutilasi yang menimpa anak jalanan merupakan bagian dari bentuk kekerasan. Kasus ini selesai ketika pelaku ditangkap dan dijebloskan ke penjara, demikian pula kasus ”pembantaian” terhadap lima anak di Nias yang dianggap selesai ketika sang ibu diproses secara hukum dan kita pun merasa sangat puas atas kerja-kerja yang dilakukan penegak hukum tersebut.
Akankah kita sadar bahwa masalah ini belum selesai karena masih ada jutaan anak lagi yang bakal menghadapi nasib yang sama dan hanya menunggu giliran saja? pikiran kita semua harus dibuka lebar dan tidak sempit pada kasus tertentu saja karena, yakinlah, penyelesaian kasus tersebut tidak akan membuat nasib anak akan berubah, penyelesaian tersebut adalah penyelesaian yang semu.
Tak bisa dimungkiri bahwa peran negara sangat minim dalam menyelesaikan kekerasan terhadap anak. Perlu campur tangan kita semua untuk menyelesaikannya atau kalau boleh meminjam bahasa Hillary Clinton sewaktu beliau mendedikasikan hidupnya selama lebih dari dua puluh tahun untuk anak-anak: perlu ”orang sekampung” untuk bisa menyelesaikan masalah anak-anak yang berada dalam situasi sulit ketika negara tidak dan kurang sungguh-sungguh menyelesaikannya. Karena itu, kita pun perlu melakukan perubahan-perubahan untuk kepentingan anak.
Indonesia dalam posisi lemah untuk melindungi anak dan membebaskan anak dari situasi sulit. Untuk itu, penting mempertimbangkan untuk memberikan motivasi kepada negara dalam menyelesaikan persoalan anak sehingga negara bisa menjadi lebih beradab.
Ukuran beradab bisa dilihat dari keseriusan negara dalam melaksanakan komitmen yang sungguh-sungguh dalam mengatasi anak-anak yang berada dalam situasi sulit sehingga anak-anak akan terbebas dari kekerasan.
Opini Kompas 23 Januari 2010