Oleh Ajip Rosidi
Kira-kira pada 1960, Presiden Soekarno memerintahkan agar istilah mobrig diubah menjadi brimob agar sesuai dengan aturan bahasa Indonesia. Istilah mobrig berasal dari bahasa Belanda, singkatan dari mobiele brigade. Sementara istilah brimob berasal dari brigade mobil. Arti keduanya sama, yaitu nama brigade kepolisian yang mobil, yaitu yang aktif, bergerak terus. Hanya, mobrig yang berasal dari bahasa Belanda susunannya sesuai dengan hukum bahasa Belanda menempatkan kata keterangan (mobiele) lebih dahulu daripada kata yang diterangkannya (brigade). Adapun dalam bahasa Indonesia kata-kata majemuk menunjukkan susunan yang sebaliknya, bukan kata yang menerangkan diletakkan lebih dahulu melainkan kata yang diterangkan dahulu. Oleh karena itu, S. Takdir Alisjahbana dalam bukunya ”Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia” (1948) menyebutkan bahwa dalam bahasa Indonesia berlaku hukum DM, yaitu kata yang diterangkan letaknya sebelum kata yang menerangkan.
Ketentuan demikian berlainan dengan bahasa Belanda atau bahasa Inggris yang mendahulukan kata yang menerangkan daripada kata yang diterangkan. Kalau dalam bahasa Indonesia berlaku Hukum DM, maka dalam bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan berbagai bahasa lain berlaku hukum MD.
Akan tetapi, menurut Abdul Chaer dalam bukunya ”Bahasa Indonesia dalam Masyarakat: Telaah Semantik” (2006 : 11-12), dalam perkembangan linguistik kemudian konsep tentang hukum DM itu tidak digunakan lagi. Katanya diganti dengan konsep unsur inti dan unsur tambahan atau unsur pusat dan unsur atribut. Dengan menunjukkan bahwa konstruksi DM itu tidak berlaku dalam frasa selembar kertas, sebuah apel, seorang mahasiswa baru, dan kantor pos pusat, yang susunannya tidaklah mengikuti hukum DM, melainkan sesuai dengan frasa inti dan frasa tambahan.
Sayang bahwa saya waktu menulis karangan ini tak berhasil mendapatkan buku tata bahasa susunan S. Takdir itu, sehingga tidak bisa memeriksa apakah Hukum DM yang beliau maksudkan itu berlaku untuk kata majemuk ataukah untuk susunan frasa kalimat. Seingat saya untuk kata majemuk, bukan untuk frasa kalimat. Demikianlah dalam bahasa Indonesia terbentuk kata-kata kereta api, papan tulis, rumah makan, kolam renang, guru bantu, dan lain-lain. Kata-kata yang diambil dari bahasa asing (yang mengikuti Hukum MD), susunannya diubah disesuaikan dengan Hukum DM, seperti ziekenhuis menjadi rumah sakit, schrijft tafel menjadi meja tulis, black market menjadi pasar gelap, air mail menjadi pos udara, dan lain-lain.
Oleh karena itu, Presiden Soekarno memerintahkan agar istilah mobrig diindonesiakan menjadi brimob. Sayang bahwa anjuran Presiden Sukarno itu tidak diperhatikan dan diikuti oleh para pengguna bahasa Indonesia yang banyak mengambil istilah bahasa asing yang mengikuti hukum MD, tidak disesuaikan dengan Hukum DM bahasa Indonesia, misalnya kata photocopy menjadi fotokopi, padahal seharusnya kopi foto; microfilm menjadi mikro film padahal seharusnya film mikro, dan lain-lain. Kalau kita tidak mau berlelah-lelah mencarikan istilah bahasa Indonesia untuk kata-kata tersebut, paling tidak kita harus mempertahankan struktur bahasa Indonesia yang khas seperti Hukum DM.
Sementara itu, kita saksikan para ahli bahasa di samping sibuk mengembangkan linguistik sebagai ilmu, juga sibuk mengganti istilah-istilah ilmu bahasa dalam bahasa Indonesia yang sudah memasyarakat dengan istilah-istilah ilmu bahasa dalam bahasa asing, sehingga istilah pokok kalimat menjadi subjek, istilah sebutan menjadi predikat, istilah tata bahasa menjadi gramatika, istilah kata kerja menjadi verba, istilah awalan menjadi prefiks, dan lain-lain. Penggantian istilah-istilah yang sudah memasyarakat itu dengan istilah-istilah yang umum digunakan dalam ilmu bahasa (linguistik!) dalam bahasa Inggris atau bahasa Barat lainnya dapat dimengerti, walaupun menurut hemat saya hanya membuang energi karena dengan penggantian istilah yang sudah memasyarakat itu orang terpaksa harus membuang energi lagi untuk menghafalkannya. Sementara itu kita bukankah sedang berusaha hendak mengindonesiakan istilah-istilah asing semaksimal mungkin? Mengapa istilah yang sudah dalam bahasa Indonesia dan sudah memasyarakat pula harus diganti lagi dengan istilah asing?
Sementara panglima pembakuan bahasa yang paling terkemuka, yaitu Anton Moeliono mengganti istilah akhiran yang sudah memasyarakat bukan dengan istilah bahasa asing, melainkan dengan ujungan (”Santun Bahasa”, 1984 : 36 dst.). Apa alasannya? Jelas istilah ujungan tidak digunakan dalam ilmu bahasa internasional. Akan tetapi mengapa beliau menganggap perlu mengganti istilah akhiran yang sudah memasyarakat dengan ujungan (yang dalam kesenian daerah menunjuk kepada permainan saling memukul dengan rotan)? Apa urgensinya? Apakah hanya karena semangatnya hendak mengeliminasi semaksimal mungkin pengaruh bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia seperti juga ketika menyusun EYD beliau menghapuskan pemakaian tanda hamzah (‘) dalam kata-kata yang berasal dari bahasa Arab sehingga do’a ditulis doa, Jum’at ditulis Jumat, Qur’an ditulis Quran? Mudah-mudahan semangat menggebu-gebu itu bukan karena beliau hendak mengurangi pengaruh Islam (melalui bahasa Arab) terhadap bahasa Indonesia yang memang sangat besar. Kata-kata dengan suara yang menggunakan apostrof yang berasal dari bahasa Arab sebenarnya sudah menjadi kekayaan bahasa Indonesia yang dengan mudah diucapkan oleh sebagian besar bangsa Indonesia, mengapa harus dibuang melalui EYD?***
Penulis, budayawan.
Opini Pikiran Rakyat 23 Januari 2010