22 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Etika Komunikasi Pansus

Etika Komunikasi Pansus

Oleh Gun Gun Heryanto

Hal krusial di luar ranah hukum dan politik yang kini bergulir bak pola panas di Pansus Century ialah persoalan etika komunikasi. Sejak pansus dibentuk, hampir semua pengonsumsi media massa mendapat menu harian berupa ”reality show” bercita rasa senayan. Forum pemeriksaan saksi untuk mengungkap kasus Century, sejak awal berbalut intrik, ketegangan, serta perdebatan dari hal yang substansial hingga artifisial. Di tengah gegap gempitanya isu ini, mulai terasa ada hal yang mengusik keadaban publik, terutama menyangkut etika komunikasi yang dipertontonkan pansus yang terhormat tersebut.


Ada dua konteks mengapa kita perlu berbicara soal etika terkait dengan proses komunikasi di Pansus Century.

Pertama, seluruh rapat pansus yang menghadirkan saksi disiarkan secara live oleh media, terutama televisi dan radio. Konsekuensinya, dinamisasi dalam forum akan ditonton atau didengar jutaan orang Indonesia dari segala usia dan berbagai lapisan masyarakat. Siaran langsung seperti ini merupakan kemajuan bagi demokrasi informasi di negeri kita. Oleh karena sifat rapatnya yang terbuka dan disiarkan secara langsung inilah, seyogianya anggota pansus pun mematut diri untuk memerankan tugas dan fungsinya secara cerdas, kritis, elegan, beretika, dan saling menghormati.

Kedua, anggota pansus sejatinya merepresentasikan diri sebagai wakil rakyat dengan segala atribut yang melekat pada mereka. Ini merupakan amanat yang harus dijalankan dengan penuh pemahaman dan penghayatan. Sebagai komunikator yang mewakili hak-hak sipil politik konstituennya, setiap anggota pansus, dari mana pun partainya, sepatutnya menempatkan penghormatan atas status yang disandangnya itu. Tidak semata penting dalam konteks pencitraan diri komunikator, melainkan juga dalam penguatan peran lembaga di mata rakyat.

Sejumlah indikasi mengarah kuat pada minimnya penghormatan anggota pansus terhadap etika berkomunikasi. Hal ini bisa kita amati dalam tiga hal.

Pertama, proses produksi pesan verbal dan nonverbal yang tidak relevan, bahkan kontraproduktif dengan kehormatan anggota dewan serta tugas dan fungsi Pansus. Misalnya, kata-kata seperti ”bangsat”, ”setan”, ”kodok”, atau bentakan dan hardikan kasar di luar substansi persoalan membuat kita terperanjat dan bertanya di manakah letak keadaban publik mereka. Tak hanya kata-kata verbal, banyak pula bahasa nonverbal yang nyinyir, merendahkan, bahkan bernuansa SARA dalam konteks tempat di mana pesan nonverbal itu diproduksi dan didistribusikan kepada khalayak.

Kedua, ada indikasi pemeriksaan saksi telah berubah menjadi interogasi terdakwa. Tidak ada yang salah jika setiap anggota pansus menelisik berbagai data, fakta, atau opini dari para saksi dengan cerdas dan kritis. Berbagai elaborasi diperkenankan guna memperkaya verifikasi data atau mengonfirmasi fakta dari saksi berbeda. Akan tetapi, seyogianya mereka juga menghormati status dan kehormatan saksi di mata publik. Saksi juga punya hak untuk menegosiasikan kehormatan mereka di forum pansus. Inilah yang kita maksudkan sebagai keadaban publik untuk membangun civil society tanpa terjebak pada perilaku tirani opini.

Kita setuju, siapa pun yang bertanggung jawab atas karut-marut Century wajib ditindak, tetapi kita juga mesti menempatkan forum pansus secara proporsional. Pansus bukanlah forum pengadilan, lebih-lebih penghakiman bagi para saksi termasuk bagi mereka yang diindikasikan terlibat sekalipun. Agresivitas verbal sebagian besar anggota pansus terlihat dominan mengarah pada minimnya penghargaan atas proporsionalitas forum tadi. Mengurai fakta secara kritis tidak selalu diperankan dengan cara-cara menghakimi, apalagi jika sampai ke tahapan abuse of power dengan menggiring opini. Terlebih, jika opini yang dibentuk mengarah pada hidden agenda kelompok politiknya semata.

Valensi pelanggaran

Lunturnya etika komunikasi di rapat-rapat pansus yang disiarkan secara langsung kepada publik, bisa menjadi satu di antara variabel munculnya pelanggaran harapan. Meminjam asumsi teori pelanggaran harapan (expectancy violation theory) dari Judee Burgoon, ketika norma-norma komunikasi dilanggar, maka pelanggaran tersebut dapat dipandang positif atau negatif tergantung pada persepsi si penerima. Valensi, menurut Burgoon dan Hale dalam Nonverbal Expectancy Violations (1998), melibatkan pemahaman atas pelanggaran melalui interpretasi dan evaluasi.

Jika kita mengikuti berbagai suara publik yang terekam di media massa, milis group, dan situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, tentu kita akan bisa menangkap jelas bahwa telah muncul valensi pelanggaran (violation valence) berbentuk interpretasi dan evaluasi negatif terhadap etika komunikasi yang dipraktikkan sebagian anggota pansus.

Sebaliknya, saat menghadapi saksi tangguh seperti Marsilam Simanjuntak, sebagian besar anggota pansus tampak kikuk, kurang percaya diri, bahkan tak mampu mengembangkan forum yang biasanya ”galak”. Ini bukan sekadar kalah jam terbang seperti dinyatakan Bambang Soesatyo, tetapi lebih pada kebiasaan pansus untuk menempatkan diri mereka sebagai komunikator yang superior. Akibatnya, kerap kali mereka lalai bahwa kecerdasan forum tidak tercermin dari kengototan, melainkan dari kedalaman elaborasi. Proses pansus yang mengindahkan etika komunikasi akan menjadi pendidikan politik bagi publik.***

Penulis, kandidat Doktor Komunikasi Unpad dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute.
Opini Pikiran Rakyat 23 Januari 2010