HINGGA saat ini, hukum dan proses hukum yang berkembang di Indonesia belum menyentuh rasa keadilan yang sebenarnya. Keadilan masih jauh dari jangkauan masyarakat umum. Kasus penempatan Ayin (Artalyta Suryani) di ruang khusus yang cukup mewah di Rutan Pondok Bambu beberapa waktu lalu dan kelambanan penanganan kasus Anggodo merupakan secuil dari wajah buram penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia. Belum lagi pemutarbalikan fakta pada kasus Prita yang dianggap memfitnah Rumah Sakit Omni International.
Semua itu terjadi karena penegakan hukum yang berjalan selama ini terkesan kuat masih berkutat dalam bentuk keadilan prosedural yang sangat menekankan pada aspek regularitas dan penerapan formal legal semata. Sejalan dengan itu rekayasa hukum menjadi aroma yang cukup kuat dalam hampir setiap penegakan hukum di negeri ini. Keadilan substantif sebagai sumber keadilan prosedural masih bersifat konsep parsial dan belum menjangkau seutuhnya ide-ide dan realitas yang seharusnya menjadi bagian intrinsik dari konsep dan penegakan keadilan.
Akibatnya, penegakan hukum menjadi kurang atau bahkan tidak mampu menyelesaikan inti persoalan sebenarnya. Suara orang atau masyarakat yang tertindas sebagai subjek yang sangat memerlukan keadilan nyaris terabaikan sama sekali. Orang yang selama ini mengalami ketidakadilan, atau bahkan masyarakat secara keseluruhan kian jauh dari sentuhan dan rasa keadilan hakiki.
Bahkan, sering terjadi, atas nama keadilan, orang dan masyarakat pencari keadilan menjadi korban penegakan hukum formal. Realitas ini menjadikan penegakan keadilan berwajah ambivalen yang terkelupas dari nilai-nilai keadilan hakiki dan terkadang justru menyodok rasa keadilan itu sendiri.
Teologi Keadilan
Kelemahan penegakan keadilan meniscayakan rekonstruksi dan pembumian keadilan dengan dasar-dasar etika-moral yang kukuh dan pemaknaan yang holistik. Rekonstruksi ini menjadi kondisi yang tidak terelakkan. Etika moral yang harus dikembangkan adalah moralitas transformatif yang dapat menyantuni masyarakat lemah dan tertindas, terutama dari sisi hukum.
Pada aras keindonesiaan, yang agama memainkan peran penting dalam pembentukan sikap dan perilaku masyarakat, nilai-nilai dan ajaran agama yang bersifat substantif, perenial dan universal mutlak dikembangkan sebagai pijakan rekonstruksi. Apalagi, pada dasarnya agama hadir untuk menghilangkan ketertindasan dan keterkorbanan.
Sebagai misal, ajaran Islam tentang monoteisme memberi arti bahwa semua manusia adalah setara. Karena itu, manusia -siapa pun dan apa pun jabatannya- harus dipandang dan diperlakukan sama. Keadilan dan kesetaraan perlu dijadikan tolok ukur utama dalam setiap komunikasi dan interaksi antara manusia yang satu dengan manusia lain. Keadilan adalah bagian dari monoteisme sehingga siapa pun yang membiaskan keadilan -sampai batas tertentu- bukan termasuk kaum beriman.
Nilai dan ajaran teologis substantif semacam itu perlu dikembangkan menjadi salah satu dasar utama pengembangan konsep dan penegakan hukum di bumi pertiwi ini. Nilai-nilai substantif keadilan ini perlu dimaknai secara sistematis, holistik, dan aplikatif. Keadilan teologis tersebut perlu disandingkan dengan nilai ajaran lain, semisal kebenaran, ketulusan, dan kejujuran. Dengan demikian, holistisitas pemaknaan keadilan dari berbagai sisinya dapat dicapai dan sekaligus dipertanggungjawabkan secara teologis, legal, dan kemanusiaan.
Pada agama-agama yang lain, nilai-nilai semacam itu juga perlu dirumuskan secara substantif dan transformatif. Dengan demikian, ketika dibawa ke ruang publik, nilai dan ajaran tersebut menampakkan universalitas yang sama-sama bervisi humanisme religius.
Ketegasan Pemerintah
Integrasi dan pembumian teologi keadilan ke dalam penegakan hukum sangat urgen untuk diagendakan. Jika tidak, keadilan hanya akan menjadi wacana semata dan tetap berada dalam langit angan-angan. Dalam kondisi ini masyarakat akan tetap dan selalu menjadi objek kekuasaan dan kepentingan. Hukum hanya milik orang-orang yang berduit, petinggi negara, dan sejenisnya.
Untuk menuju pencapaian itu, pemerintah niscaya memiliki komitmen kuat untuk pembumian keadilan substantif. Komitmen ini perlu segera diejawantahkan dalam realitas kehidupan bangsa. Di antaranya melalui upaya konkret melepaskan penegakan hukum dari kepentingan di luar kepentingan hukum dan keadilan. Nuansa politik kekuasaan dan sejenisnya yang sering mengintervensi penegakan hukum tidak bisa lagi ditoleransi. Biarkan hukum yang telah dilandasi moral teologis universal menyelesaikan persoalan sendiri.
Melalui komitmen itu pula, pemerintah hendaknya mau turun ke bawah, mau mendengarkan suara-suara mereka yang terkorbankan atas nama hukum. Betapa banyak dari mereka yang dizalimi para aparat dan penegak hukum. Pemerintah perlu menyadari bahwa sebagian mereka berada dalam sekat kebisuan yang berdinding tebal. Pemerintah perlu menguak sekat-sekat itu secara arif, dan dengan segala daya yang dimiliki, tanpa prejudice, prakonsepsi, dan sebagainya.
Berdasarkan temuan itu, pemerintah perlu mereformasi hukum dalam arti yang sebenarnya. Reformasi hukum yang memiliki nurani yang sisi-sisinya adalah keadilan. Dengan demikian, kebenaran akan tampak sebagai kebenaran kendati untuk itu pemerintah atau institusi yang lain bisa-bisa kelihatan bahwa selama ini lembaga tersebut belepotan dengan noda, atau bahkan hipokrisi. Noda ini pasti bisa dihapus melalui komitmen pemerintah untuk pembumian keadilan. Masyarakat pun dipastikan akan memaafkannya.
Melalui pembumian teologi keadilan para ranah penegakan hukum dan juga komitmen pemerintah untuk berpihak pada keadilan substantif, penegakan hukum yang bervisi dan berorientasi keadilan substantif diharapkan hadir nyata dalam kehidupan bangsa ini. (*)
*). Prof Dr Abd A'la MA , guru besar dan pembantu rektor I IAIN Sunan Ampel Surabaya
Opini Jawa Pos 23 Januari 2010
22 Januari 2010
Pembumian Keadilan Substantif
Thank You!