22 Januari 2010

» Home » Kompas » Demam Berdarah Tak Pilih Kasih

Demam Berdarah Tak Pilih Kasih

Presiden Direktur atau CEO PT Astra International Michael D Ruslim yang kemarin lusa wafat karena DBD sepatutnya tak cuma mengundang sesal sanak keluarga, terlebih merundungi kita semua. Mengapa?
Siapa pun mestinya tak perlu jadi korban demam berdarah dengue (DBD). Seturut paham medik, itu kematian prematur (premature death) yang kelewat sederhana. Masih pantas CEO dikalahkan serangan jantung, atau kanker. Menjadi tragedi kalau nyawa terenggut cuma gara-gara nyamuk. Pikiran medik meniscayai kejadian itu bisa digagalkan. Selain dengan menghalau nyamuk belang hitam-putih pembawa virus dengue, juga membangun wawasan masyarakat soal cara menghindarinya, Namun, sayang, kondisi preventif seperti itu belum juga penuh terbentuk.


Daerah bebas nyamuk
Memberantas DBD lebih soal urusan bagaimana menekan populasi nyamuk pembawa virus dengue. Ada dua kepelikan dalam upaya meniadakan nyamuk jenis ini: susahnya menyingkirkan sarang perindukan nyamuk dan tak mudah mengajak masyarakat menyingsingkan lengan baju.
Derasnya mobilisasi masyarakat menjadikan virus dengue makin lekas lebar menyebar lewat pesawat udara, bus, dan kereta api. Bahkan, kini DBD bukan lagi penyakit kota sebagaimana kodratnya, tetapi sudah lama merambah desa. Ini petaka.
Wabah DBD yang berjangkit di pedesaan cenderung muncul lebih kerap karena masyarakatnya belum dibuat melek cara mencegahnya. Padahal, setiap kali wabah DBD berjangkit, populasi virus dari tubuh pasien yang akan disebarkan nyamuk juga kian berlipat ganda. Itu berarti makin meninggikan risiko masyarakat terserang DBD.
Upaya meniadakan nyamuk hanya satu, yakni menyuluh masyarakat. Bukan air comberan atau sampah, melainkan air jernih tergenang, tempat nyamuk Aedes bersarang. Maka, segala yang berpotensi menjadi sarang perindukan nyamuk wajib disingkirkan. Kebijakan pencegahannya bukan dengan menyemprot (fogging), melainkan membunuh jentik dengan larvasida, mengingat umur nyamuk dewasa tak lebih panjang dari jentiknya. Nyamuk dewasa baru disemprot kalau sudah ada yang terjangkit.
Lingkaran setan kerap terjadi. Makin acap wabah DBD berjangkit, makin bertambah populasi virus dengue. Apabila pada saat yang sama populasi nyamuk pembawa virusnya juga bertambah, makin besar risiko masyarakat terjangkit. Karena itu, upaya mencegah wabah DBD perlu dua gatra terpadu, yaitu menyiangi sanitasi dari sarang nyamuk dan membuat masyarakat melek cara pencegahannya.
Belajar dari Kuba
Kini, wilayah endemik DBD sudah melebar ke semua provinsi. Tangan pemerintah tak cukup panjang meladeni upaya pencegahan. Melihat tabiat jangkitan penyakitnya, perlu gerakan gotong royong masyarakat.
Tak boleh ada lagi sarang nyamuk di pekarangan, waspadai rumah, kantor, dan gedung kosong tak berpenghuni di tempat sarang nyamuk tak terusik bersumber. Kegiatan larvasida dilakukan merata ke seluruh rumah tanpa kecuali di wilayah langganan terjangkit setiap menjelang musim hujan. Kita belum rajin secara rutin melakukannya.
Kendala kita, kebanyakan masyarakat belum memahami cara pencegahan DBD. Yang sudah memahami, tidak melakukannya. Tak cukup hanya imbauan karena lebih banyak masyarakat sukar patuh melakukan pencegahan. Radio dan televisi saatnya ikut menyuluh masyarakat.
Penyiangan lingkungan belum paripurna. Puskesmas dan rumah sakit masih luput menyiangi lingkungannya dari sarang nyamuk. Padahal, di situ sumber penyakit yang datang dari pasien berpotensi estafet berjangkit. Juga perhatian pada lingkungan sekolah karena DBD lebih banyak menimpa usia anak.
Belajar dari Kuba pada tahun 1981 dalam memberantas DBD, masyarakat perlu digerakkan. Militer dikerahkan, selain murid sekolah berpraktik mengenali jentik dan membasminya. Pemerintah juga minta uluran tangan LSM serta organisasi perempuan bersama-sama menggerakkan masyarakat bergotong royong menyiangi lingkungan dari sarang nyamuk, dan berhasil.
Kini, Kuba bebas DBD. Tinggal satu yang masih terus dilakukan agar wabah tak lagi berjangkit. Secara reguler Kuba memantau kepadatan jentik nyamuk. Itu pun dilakukan bersama masyarakat secara bergotong royong.
Kultur kita mendukung untuk mengadopsi cara pemberantasan DBD seperti ini. Tinggal kemauan politik membuatnya jadi sebuah kebijakan sederhana yang sesungguhnya tak perlu ongkos tinggi. Lebih mahal apabila sudah telanjur banyak kasus masuk rumah sakit, atau sampai merenggut sosok penting yang masih dibutuhkan masyarakat.
Handrawan Nadesul Seorang Dokter
Opini Kompas 23 Januari 2010