Oleh Radea Juli A. Hambali
Derita sosial yang mencecar kehidupan masyarakat Indonesia --seperti yang teramati dalam sejumlah pemberitaan-- seakan tak pernah jeda mendera. Secara telanjang dan kasat mata, kesadaran masyarakat Indonesia kontemporer dicabik-cabik oleh praktik ketidakadilan, penyelewengan, dan kezaliman. Dari mulai kontroversi tentang kriminalisasi Bibit dan Chandra, kasus dana talangan Bank Century senilai Rp 6,7 triliun lebih, hingga terbongkarnya borok di Rutan Pondok Bambu yang mengindikasikan adanya perlakuan istimewa terhadap tahanan kelas kakap.
Bukan mustahil, jika rentetan derita yang menyergap kehidupan sosial kita itu dapat menyebabkan bangsa ini menjadi negara gagal (failed state). Gagal, karena sebagai bangsa yang besar, kita seperti lumpuh layu dan tak mampu mengurai persoalan-persoalan yang mendera seraya menegakkannya di atas prinsip keadilan dan keadaban. Gagal, karena energi bangsa ini terkuras untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang seharusnya bisa cepat ditemukan solusinya dan segera merancang agenda lain yang lebih penting. Gagal, karena ternyata negara sebagai simbol pengayom kehidupan masyarakat tidak mampu memberikan harapan adanya perubahan bagi warganya.
Mampukah bangsa ini keluar dari kemelut dan memberdayakan sisa energi untuk tampil menjadi bangsa yang unggul sesudah compang-camping tergerus praktik pungli dan korupsi; tersedot ketika memerangi para makelar kasus; tersita bagi penyelesaikan konflik-konflik yang bermuatan SARA; terkikis saat memerangi para penjarah hutan, kriminalitas, dan terorisme; bocor buat menyelesaikan pertikaian ideologi dan politik?
Memelihara harapan
Namun gerak sejarah tak bisa dibaca sebagai soal dari ”sebab” ke ”akibat” dan tak memampukan perubahan. Sebab, sebagaimana diyakini Ernst Bloch (1885-1977), masa kini bukan bahan mati, melainkan kenyataan yang terbuka untuk kemungkinan baru dan peluang untuk mengupayakan jalan keluar dan merumuskan perspektif baru tentang perubahan bahkan dalam situasi buntu sekalipun.
Satu di antara jalan keluar itu adalah kesanggupan dari setiap warga untuk senantiasa memelihara harapan. Harapan dapat menjaga siapa pun ketika situasi yang tengah dihadapinya kurang ideal. ”Harapan adalah pandangan ke depan, bahkan ketika berbagai kendala tampak tak tertahankan. Tradisi-tradisi agama mengarahkan umat manusia kepada masa depan yang lebih menjanjikan. Harapan mengajak kita berusaha mencapai masa depan yang lebih baik,” demikian menurut Charles Kimball (2003).
Di tengah menumpuknya persoalan yang harus diselesaikan, harapan adalah energi yang mampu memompa semangat dan kesungguhan untuk keluar melewati kemelut. Bahkan menurut Erich Fromm (1999), harapan menjadi bagian penting dalam setiap upaya menegakkan perubahan agar manusia menjadi lebih hidup, lebih sadar, dan lebih berakal. Harapan adalah nutrisi untuk tumbuhnya keyakinan, dan keyakinan yang kuat sebagaimana menurut Nelson Mandela adalah ”rahasia kesanggupan untuk menanggung segala kekurangan. Semangatmu bisa penuh meskipun perutmu kosong.”
Keadilan
Salah satu harapan yang harus senantiasa dijaga dan mendesak untuk segera diwujudkan adalah harapan keadilan dan perikemanusiaan. Diakui, ada masalah besar yang dihadapi bangsa ini berkaitan dengan tegaknya keadilan dan perikemanusiaan. Di hadapan hukum, warga sering diposisikan sebagai objek atau lawan. Akibatnya, perumusan tentang makna keadilan, kebenaran, dan kepentingan umum kerap dilihat sebelah mata dan hanya diturunkan secara formal dari rumusan dan definisi legal sebagaimana termuat dalam berbagai kitab undang-undang dan akibatnya abai terhadap rasa keadilan dan perikemanusiaan.
Untuk sementara, situasi yang menohok ketidakadilan dan perikemanusiaan ini menemukan titik terangnya. Berkat dukungan jejaring sosial dan tekanan publik melalui gerakan turun ke jalan juga gelombang empati dan solidaritas di dunia maya (Facebook dan Twitter), nama baik Bibit dan Candra dipulihkan, serta keadilan terhadap Prita Mulyasari melalui ”koin keadilan” bisa ditegakkan. Harus diakui ini adalah kabar gembira. Namun, peristiwa ini tidak lantas dipahami sebagai suatu keniscayaan belaka, tetapi ia harus menjadi suatu idealisme dan kesadaran kesejarahan yang harus diperjuangkan terus-menerus.
Hal lain yang patut disyukuri adalah adanya kesadaran dari pemangku kekuasaan untuk mendengar dan mau menyelesaikan persoalan penegakkan keadilan dan rasa perikemanusiaan. Sebagaimana dikatakan Hannah Arendt (1969), pemangku kekuasaan dalam negara demokratis harus memiliki kemampuan untuk ”bertindak dalam konser”.
”Bertindak dalam konser” dalam negara demokratis adalah kesanggupan penguasa untuk mendengar berbagai soal yang disuarakan warganya dan kemudian mengolahnya serta memutuskan secara adil dan transparan berbagai kebijakan yang dapat membawa pada kebaikan dan kesejahteraan kehidupan warganya. Penguasa demokratis dibayangkan sebagai seorang dirigen dalam orkestra yang memiliki kemampuan menata dan mengelola berbagai elemen sosial demi menghasilkan ”suara” merdu, layaknya sebuah konser.
Tahun 2010 mudah-mudahan menjadi titik balik yang menggembirakan. Periode sejarah baru yang mengabarkan adanya perubahan yang mendasar pada arasy kehidupan sosial, politik, dan budaya di republik ini. Adanya kesigapan dari pemangku kekuasaan untuk menegakkan keadilan dan perikemanusiaan itu mudah-mudahan tidak lahir dari ”politik pencitraan” tetapi meletakkannya sebagai ”mission sacra”, misi suci sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus diwujudkan secara terus-menerus.
Keadilan dan perikemanusiaan adalah prinsip hidup bersama dalam sebuah tertib sosial bernama negara. Keadilan dan perikemanusiaan adalah tujuan suci dan alasan bagi lahirnya sebuah negara. Dan karena itulah kita mematrinya dalam salah satu sila dalam Pancasila. Wallahualam.***
Penulis, pengajar pada Jurusan Teologi dan Filsafat Fak. Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 23 Januari 2010
22 Januari 2010
» Home »
Pikiran Rakyat » Keluar dari Kemelut yang Mengimpit
Keluar dari Kemelut yang Mengimpit
Thank You!