22 Januari 2010

» Home » Kompas » Etika Politik di Skandal Century

Etika Politik di Skandal Century

Kasus Bank Century memunculkan problem pelik bagaimana melakukan penilaian etika politik terhadap sesuatu kasus kebijakan yang salah dan memintai pertanggungjawaban aktor dan agensi yang terlibat dalam pengambilan kebijakan.
Mencermati pertanyaan anggota Pansus, kebanyakan mengarah ke pencarian aktor atau agensi yang bertanggung jawab. Sedikit yang ke persoalan substansi materi dan proses pengambilan kebijakan, sehingga bisa dijadikan landasan menilai etika politik di balik skandal Century.


Pertanyaan yang mengabaikan substansi materi dan bagaimana proses pengambilan keputusan diambil hanya akan membenturkan masalah pada tembok kekuasaan. Hal ini akan membuat skandal sulit diungkap karena begitu kompleksnya realitas struktur relasi-relasi kekuasaan seputar kebijakan bail out Bank Century.
Ini tercermin dalam debat kesaksian karena begitu refleksifnya perdebatan antara anggota Pansus dan Marsillam Simanjuntak dalam persidangan, Senin (18/1) malam. Pertanyaan-pertanyaan dilandasi prasangka-prasangka pre-politik hanya memusat pada aktor atau agensi, seakan kandas di tengah jalan.
Kesaksian Marsillam yang lebih mengarahkan pada substansi materi daripada ke aktor atau agensi membuat banyak anggota Pansus harus berpikir dan memutar haluan pertanyaan dua atau tiga kali putaran sehingga bukan kejelasan aktor dan agensi yang didapat, melainkan pembelajaran bagi anggota Pansus bagaimana seharusnya melakukan penilaian atas etika politik dari suatu kebijakan.
Debat anggota Pansus dengan Marsillam menyadarkan kita betapa kompleksnya sebuah pengambilan kebijakan. Tidak hanya ditentukan oleh tindakan aktor atau agensi, tetapi juga substansi materi kebijakan dan realitas struktur kekuasaan di mana kebijakan diambil.
Perdebatan itu mengingatkan pada debat klasik soal kekuasaan dan penentuan kebijakan dalam ilmu politik, apakah cukup sahih melihat pengambilan kebijakan hanya pada tindakan aktor atau agensi penentu kebijakan tanpa melihat atau mengabaikan realitas struktur relasi kekuasaan. Hubungan aktor dengan struktur kekuasaan merupakan realitas sangat kompleks dalam politik. Robert Dahl dan kawan-kawan, termasuk dalam aliran behaviorist, menekankan pentingnya melihat peristiwa penentuan kebijakan (decision making events) untuk menilai tindakan aktor atau agensi dalam politik.
Kekuasaan, bagi Dahl, mengikuti Max Weber, adalah tindakan memengaruhi pihak lain yang tak sepaham lewat berbagai cara, baik persuasi atau koersi, sehingga pihak lain mengikuti. Konsepsi kekuasaan dalam arti power over atau berwajah/berdimensi tunggal (one dimension/face of power) menjadikan tindakan aktor dan agensi sebagai pihak paling otonom bertanggung jawab atas kebijakan.
Konsepsi demikian problematik, mengingat pengambilan kebijakan selalu terkait dengan sesuatu obyek dan hanya bisa beroperasi, atau termobilisasi (get mobilized), melalui bekerjanya relasi-relasi atau jejaring kekuasaan. Berbeda dengan Dahl; Bachrach serta Baratz dan kawan-kawan termasuk dalam aliran non-decisionist, lebih melihat pentingnya realitas struktur relasi-relasi kekuasaan untuk menilai sebuah kebijakan. Bahwa kebijakan selalu memerlukan dukungan kolektif berbagai aktor atau agensi merupakan realitas politik, tidak bisa dinafikan.
Konsepsi ini, atau disebut kekuasaan berdimensi/berwajah dua (two dimension/faces of power), membawa konsekuensi pentingnya realitas struktur obyektif di luar aktor penentu kebijakan. Sering kali terjadi bahwa pemegang otoritas tidak otonom dalam penentuan kebijakan dan lebih tunduk pada situasi realitas obyektif sekitar. Atau sebaliknya, pemegang otoritas tidak mengambil sesuatu keputusan, atau berkeputusan untuk tidak mengambil keputusan (decide not to decide) meskipun tahu pihak lain akan mengikuti.
Di sisi lain, aktor atau agensi bukan pemegang otoritas, bisa saja terlibat aktif pengambilan keputusan karena yakin pendapatnya akan dipakai, atau mungkin terpaksa bersikap diam karena tahu pendapatnya tak akan dipakai. Bahkan, bisa saja mereka tetap menyampaikan pendapat meskipun tahu pendapatnya tidak akan dipakai karena mempunyai rasionalitas tersendiri terhadap substansi materi yang dibicarakan tanpa memedulikan realitas struktur kekuasaan sekitar.
Begitu bervariasinya rasionalitas aktor atau agensi ini membuat sulit bagi kita menentukan siapa yang bertanggung jawab atas sesuatu pengambilan kebijakan. Pada kasus Century, Marsillam tampaknya di posisi terakhir. Sebagaimana dikemukakan dalam kesaksian, berpegang pada prinsip dialektika ide dalam setiap pengambilan keputusan, ia hadir untuk mengajukan kontra argumentasi guna menguji kesahihan materi pengambilan keputusan meski sadar pendapatnya belum tentu dipakai sebab dikemukakan bukan dalam pertemuan penentuan kebijakan.
Etika demokrasi
Pertanyaan muncul kemudian, apakah aktor atau agensi non-decisionist ini, baik pemegang otoritas yang tunduk pada situasi obyektif atau bukan pemegang otoritas yang kontra, bisa terbebas dari tanggung jawab ketika diketahui kebijakan ternyata salah? Sulit kita menilai. Aliran non-decisionist lebih melihat tanggung jawab sebagai masalah moral politik. Sepanjang legitimate, maka sah-sah saja. Hanya jika tidak legitimate, atau tidak mendapat dukungan nilai, maka pertanggungjawaban aktor atau agensi bisa dilakukan.
Pembedaan soal legitimate dan tidak adalah penting, sebab bila hanya bersandar pada tindakan aktor, kebijakan politik akan selalu menemui jalan buntu karena konflik kepentingan permanen terjadi di antara aktor politik. Pertarungan akan selalu mendekati situasi zero-sum, yang kuat selalu memenangi pertarungan dan pihak lemah selalu menjadi korban. Pertempuran politik semacam itu sering kali menghiasi panggung politik kita. Ketika konflik di kalangan elite terjadi, bawahan atau rakyat selalu menjadi korban. Derajat relativitas otonomi aktor atau agensi di hadapan struktur relasi-relasi kekuasaan di sini sangat menentukan.
Ketika terjadi konflik dalam penentuan kebijakan, pemegang otoritas secara dominatif tak jarang melakukan berbagai manipulasi politik sehingga bawahan atau rakyat menjadi korban dan memikul beban impitan dominasi pemegang otoritas. Sistem demokrasi menyadari konflik politik permanen ini dengan segala impitan dominasi yang ditimbulkan. Karena itu, dalam sistem demokrasi, penentuan kebijakan selalu harus dimintai pertanggungjawaban. Ini dilakukan bukan hanya pada aktor atau agensi penentu kebijakan, tetapi juga akuntabilitas substansial dan proses penentuan kebijakan.
Kita bertekad menegakkan kehidupan politik demokratis. Dalam kasus Century tak terkecuali, harus ada pertanggungjawaban secara demokratis. Bukan hanya aktor penentu kebijakan, tetapi juga pertanggungjawaban substansi materi kebijakan dan proses penentuan kebijakan.
Lambang Trijono Dosen Fisipol UGM
Opini Kompas 23 Januari 2010