13 Desember 2009

» Home » Republika » Pelemahan KPK

Pelemahan KPK

Emerson Yuntho
(Wakil Koordinator ICW)

Pemerintah saat ini tengah menyiapkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) mengenai tata cara penyadapan bagi penegak hukum dan ditargetkan selesai enam bulan ke depan. Pemerintah beralasan bahwa regulasi ini terkait dengan telah keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 sehingga perlu diatur penyadapan dengan PP agar antarinstitusi tak main sadap saja (Republika, 28 November 2009).

Rencana ini pada faktanya menimbulkan polemik. Pada satu sisi, regulasi ini dinilai penting untuk melindungi hak asasi manusia. Pemerintah juga beralasan bahwa di negara lain, seperti Australia, Korea, dan Jepang, penyadapan itu di bawah kendali sebuah departemen, seperti Depkominfo kalau di Indonesia, untuk menanganinya.

Pada sisi yang lain, inisiatif yang digagas Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) kenyataannya juga menimbulkan kesan negatif bahwa ada upaya pemerintah untuk membatasi kewenangan KPK. Apalagi, ide ini muncul tidak lama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membuka rekaman hasil penyadapan antara Anggodo dan sejumlah kalangan.

Penyadapan yang dilakukan oleh KPK pada akhirnya mengungkapkan fakta adanya rekayasa yang dilakukan sejumlah oknum pejabat penegak hukum untuk melalukan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK nonaktif, Bibit dan Chandra.

Gagasan atau ide pengaturan penyadapan ini juga dikhawatirkan akan membuat KPK menjadi tidak efektif. Keberhasilan KPK selama ini tidak bisa dilepaskan dari kewenangan luar biasa yang dimilikinya, termasuk soal penyadapan. Sebut saja kasus korupsi yang melibatkan Mulyana W Kusumah, Artalyta Suryani, Al Amin Nasution, dan masih banyak lainnnya yang berhasil diungkap berkat hasil penyadapan KPK.

Selain mengancam pemberantasan korupsi, substansi RPP tersebut juga dinilai menyalahi Putusan MK No 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 tentang uji materi UU KPK http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan012-016-019PUUIV2006ttgKPKtgl20122006.pdf yang menyebutkan bahwa syarat dan tata cara tentang penyadapan harus ditetapkan dengan undang-undang, entah itu dalam UU KPK yang diperbaiki atau dalam undang-undang lain. Artinya, PP yang secara hierarki berada di bawah UU tidak boleh mengatur materi yang seharusnya diatur dalam UU. Jika RPP ini dipaksakan, dapat dikatakan ada upaya sadar pemerintah untuk melawan putusan MK.

Penyusunan RPP Penyadapan ini juga harus dimaknai sebagai babak baru pelemahan KPK setelah upaya melemahkan KPK melalui permohonan uji materiil di MK dan kriminalisasi pimpinan KPK mengalami kegagalan. Hanya koruptor dan pendukungnya yang terganggu dengan upaya penyadapan KPK dan tidak menginginkan KPK menjadi lebih kuat.

Seharusnya, regulasi tentang penyadapan ini tidak perlu ada. Sebab, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur secara tegas larangan penyadapan yang dilakukan, selain untuk kepentingan penegakan hukum.

Dengan demikian, tata cara penyadapan diserahkan kembali pada Undang-Undang (UU) yang berlaku. Ketentuan proses atau mekanisme penyadapan yang dilakukan oleh KPK sebaiknya tetap mengacu pada UU KPK yang saat ini berlaku, dengan tetap mendorong penerapan standar operasional procedure (SOP) dan check and balance internal yang ketat serta adanya audit secara reguler. Sedangkan, penyadapan bagi kejaksaan dan kepolisian juga sudah diatur dalam UU tentang Telekomunikasi.

Selain itu, jika dicermati kembali, secara substansi RPP Penyadapan (intersepsi) yang disusun oleh Depkominfo sudah selayaknya ditolak karena memiliki sejumlah kelemahan atau persoalan.

Beberapa di antaranya adalah keharusan izin atau penetapan ketua pengadilan ketika melakukan penyadapan. Proses izin atau penetapan ketua pengadilan sebagai syarat dalam melakukan penyadapan membuat proses menjadi sangat birokratis dan berlarut-larut.

Keberhasilan KPK (dibandingkan kejaksaan dan kepolisian) selama ini karena tidak mengalami hambatan terkait dengan proses perizinan, mulai dari pemeriksaan anggota dewan atau kepala daerah hingga membuka rekening perbankan seorang tersangka.

Untuk kondisi praktik mafia peradilan yang masih marak di pengadilan, proses izin atau penetapan ini berpotensi menjadi 'dagangan' oknum ketua pengadilan.

Persoalan lainnya adalah proses penyadapan hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan dan bukan penyelidikan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 12 ayat 1 huruf a UU KPK yang intinya menyebutkan bahwa KPK dapat melakukan penyadapan ketika prosesnya masih dalam tahap penyelidikan.

Pada intinya, regulasi yang disiapkan pemerintah justru mempersempit ruang KPK, memperpanjang birokrasi sehingga proses menjadi berlarut-larut, potensial terjadi kebocoran mulai dari tahap permintaan hingga hasil penyadapan, membuka peluang praktik korupsi di peradilan, serta pembentukan Pusat Intersepsi Nasional dan Dewan Intersepsi Nasional memberikan peluang adanya intervensi dan membuat proses penegakan hukum menjadi tidak efektif dan cenderung gagal. KPK adalah institusi yang paling dirugikan dari terbitnya regulasi ini dan berdampak pada upaya pemberantasan korupsi akan mengalami kemunduran.

Selain substansi, proses penyusunan RPP Penyadapan juga penting dicermati. Proses sosialisasi atas RPP ini tidak pernah dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan masukan. KPK sebagai salah satu pihak yang memiliki kewenangan penyadapan bahkan menyatakan tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RPP yang difasilitasi oleh Depkominfo. Jika hal ini benar, kecurigaan adanya upaya untuk memangkas kewenangan KPK menjadi benar.

Jika RPP yang bermasalah itu tetap ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hal ini akan merugikan Presiden karena dapat dianggap melemahkan pemberantasan korupsi. Meskipun inisiatif RPP berasal dari menkominfo, regulasi tersebut tetaplah akan dilihat sebagai kerja Presiden SBY. Dan, jika PP itu justru mengebiri KPK, diperkirakan pemerintah akan kembali terguncang seperti saat ini. Publik kembali mencurigai pemerintah berupaya melemahkan KPK.

Masyarakat Indonesia sudah sangat sadar efek korupsi yang sangat buruk bagi kehidupan. Sejauh ini, institusi yang mulai dipercaya dan dianggap berhasil mengusut pelaku korupsi adalah KPK. Ketika lembaga ini mulai sangat dicintai rakyat, segala pihak yang mencoba melemahkan dan mengebiri kewenangan pamungkasnya akan menjadi musuh pemberantasan korupsi, musuh dari harapan rakyat Indonesia yang ingin koruptor dijerat dan dihukum seberat-beratnya.

Opini Republika 12 Desember 2009