13 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Runtuhnya Moralitas Hukum

Runtuhnya Moralitas Hukum

MASYARAKAT baru saja melihat kejadian hukum yang merusak moralitas sehingga berkembang persepsi bahwa kini sudah tidak ada lagi keadilan di lembaga penegak hukum. Pertama, putusan hakim terhadap Minah (55) yang diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan atas dakwaan pencurian 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA), Banyumas.

Belum hilang keheranan publik, hukum juga memaksa Basar dan Kolil mendekam dalam LP Kelas A Kota Kediri karena mencuri sebutir semangka seharga Rp 5.000. Keterkejutan memuncak ketika hukum melalui PT Banten menuntut Prita Mulyasari mengganti kerugian material dan immaterial kepada RS Omni Rp 204 juta karena dakwaan pencemaran nama baik atas pelayanan buruk yang dikeluhkan melalui surat elektronik.


Terakhir, Manisih (40) dan tiga kerabatanya Rabu (10/12) menjalani persidangan di PN Batang atas sangkaan mencuri 14 kilogram kapuk randu di perkebunan PT Segayung, Kecamatan Tulis, Batang. Sidang dilanjutkan Senin (14/12) ini, untuk mendengarkan eksepsi penasihat hukum terdakwa tersebut.

Kejadian-kejadian hukum itu pada akhirnya menimbulkan pengaruh sosial yang bermakna bagi masyarakat, lalu tak kalah penting untuk dipahami, kejadian hukum itu akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan sebagai sumber keadilan. Mengapa kejadian ini berdampak pada pengadilan? Seberapa penting pengaruhnya?

Pengadilan adalah jantung hukum itu sendiri karena menjadi laboratorium bedah atas paket perundang-undangan, profesional hukum melaksanakan fungsi, produk keadilan, dan pertarungan antara moral dan kepentingan-kepentingan lain.

Untuk itulah berkembang adagium klasik di dunia hukum bahwa sebaik atau seburuk apapun teks perundang-undangan maka produk keadilan yang dihasilkan tetap tergantung pada sosok-sosok yang menjalankannya. Di sinilah pentingnya moralitas hukum yang harus dipegang oleh penguasa pengadilan.

Pernyataan itu dapat dikatakan suatu jawaban atas fenomena hilangnya keadilan di pengadilan adanya kasus Minah, Basar-Kolil, dan Prita Mulyasari. Di sisi lain, semuanya merupakan kelompok masyarakat kelas bawah sehingga menjadi bukti langsung bahwa hukum belum dapat dicerna oleh masyarakat awam.

Hukum dan moral sama-sama berkaitan dengan tingkah laku manusia agar selalu baik, namun positivisme hukum yang murni justru tidak memberikan kepastian hukum. Itulah sebabnya, hukuman terhadap Amir Mahmud, sopir di BNN hanya karena sebuah pil ekstasi justru dikenai hukuman 4 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat, sedangkan jaksa Ester dan Dara yang telah menggelapkan 343 butir ekstasi hanya divonis 1 tahun.

Hukum merupakan positivasi nilai moral yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai moral adalah legitimasi karena adil bagi semua orang.

Tanpa moral, hukum tidak mengikat secara nalar karena moral mengutamakan pemahaman dan kesadaran subjek dalam mematuhi hukum. Hal ini sebagaimana diungkapkan K Bertens bahwa quid leges sine moribus yang memiliki arti apa gunanya undang-undang kalau tidak disertai moralitas.

Moral jelas menjadi senjata ampuh yang dapat membungkam kesewenangan hukum dan pertimbangan kepentingan lain dalam penegakan keadilan di pengadilan. Minah, manisih cs, Basar, dan Kolil secara substansi hukum memang melakukan pelanggaran berupa delik pencurian, namun secara moral mesti dipahami bahwa keadilan di tengah lalu lintas hukum modern adalah menekankan pada struktur rasional, prosedur, dan format.

Jika hal ini ditiadakan, maka akan menegaskan tulisan Harold Rothwax dalam buku Guilty- The Collapse of the Criminal Justice System bahwa masyarakat modern tidak lagi mencari keadilan tetapi mencari kemenangan dengan segala cara.  Setidaknya hal demikian dapat terbaca dalam kasus Prita  yang menjadi tersangka pencemaran nama baik Omni International Hospital Alam Sutera Tangerang. Prita dituduh setelah menulis keluhan pelayanan rumah sakit itu terhadap dirinya melalui internet.

Ranah Publik

Keluhan yang dikirim dalam email ke beberapa temannya semula merupakan ranah pribadi, tetapi kemudian surat elektronik tersebut masuk dalam mailing list sehingga menjadi ranah publik. Subjektivitas muncul karena dalam konteks tersebut, moralitas dalam pengadilan tidak membaca adanya Prita sebagai korban yang membutuhkan keadilan melainkan rumah sakit tersebut sebagai korban.

Menurut Thomas Aquinas dalam buku On the Book of Job, keadilan akan musnah dalam dua kemungkinan, yaitu karena sebuah kebijaksanaan yang tidak bijaksana atau karena perbuatan tidak terpuji dari seseorang yang memiliki kekuasaan atas pengadilan. 

Masyarakat harus melakukan check and balances agar hukum benar-benar memiliki visi moral, yaitu mengutamakan kesamaan perlakuan di hadapan hukum tanpa ada diskriminasi, sedangkan profesional hukum harus melakukan lompatan penafsiran atas hukum positif.

Secara kebetulan, kejadian yang menimpa Minah, manisih cs, Basar, Kolil, dan Prita, sekaligus ketimpangan kasus antara Ester-Dara dan Amir Mahmud akan menjadi gerbang sosialisasi gratis untuk pembelajaran masyarakat dalam ranah hukum pidana dan perdata. 

Perlu menyosialisasikan kembali tentang pentingnya pemahaman hukum dan kesadaran hukum yang berwawasan moralitas di masyarakat melalui dua domain pencapaian. Pertama, pengembangan atas desa sadar hukum. Kedua, adanya pendidikan hukum rakyat secara dini agar masyarakat mampu mengawal penegakan keadilan baik secara prosedural maupun moral.

Dalam kenyataan tersebut, kasus-kasus hukum itu adalah konflik antara hukum dan moral sehingga membawa kondisi pertarungan nilai-nilai keadilan yang harus dijunjung dalam pengadilan. Oleh karena itu prinsip epikea mesti dijunjung sebagai suatu interpretasi terhadap hukum positif bukan menurut naskah hukum melainkan menurut semangat keadilan moral kebatinan pemegang kuasa pengadilan. Epikea bermaksud mempertahankan esensi hukum yang bersifat intrinsik dan tidak tertulis, bukan dalih pengingkaran atas hukum yang berlaku.

Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Hasil amandemen ini memiliki misi agar tidak terjadi pembiaran penguasa pengadilan menjatuhkan vonis sesuai kepentingan tertentu, tetapi memiliki semangat berdasarkan pada keadilan. 

Jelas bukan suatu keadilan kalau gara-gara pencurian semangka seharga Rp 5.000, negara harus menanggung biaya makan Basar dan Kolil di penjara yang jumlahnya lebih dari berlipat-lipat ganda. Bukankah putusan hakim justru merugikan negara?

Moral hukum berupa ”adil” ini menjadikan para hakim untuk terdorong menggali rasa keadilan substantif (substantive justice) daripada terbelenggu ketentuan UUU (procedural justice). Setidaknya hal tersebut telah menjadi dasar kepada semua hakim mengingat bahwa setiap putusan, hakim selalu menegaskan kalau putusan yang dibuat di pengadilan adalah ”demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”, bukan ”demi kepastian hukum berdasarkan Undang-Undang”. Karena itu, keadilan harus disikapi sesuai karakter masing-masing.

Masyarakat telah menyaksikan betapa simpang-siurnya keadaan hukum yang tidak memberi kepastian keadilan terutama pada masyarakat kelas bawah. Untuk itu profesional hukum harus menghargai nilai-nilai kemanusiaan dalam menegakkan hukum untuk menegakkan keadilan (fiat iustitia) dengan mengusakan kesesuaian antara kebenaran formal dan kebenaran material atau mengedepankan kebajikan dan kepatutan (prudence dan equity) agar keadilan di pengadilan tetap memiliki moralitas sehingga mendapatkan kepercayaan masyarakat.(10)

— Muh Khamdan, fungsional widyaiswara BPSDM Depkumham RI
Wacana Suara Merdeka 14 Desember 2009