13 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Mencegah Larinya Peranakan Etawa

Mencegah Larinya Peranakan Etawa

KAMBING sebagai hewan ruminasia (berlambung besar)  sudah didomestikasi sejak tahun 7.000 SM lalu setelah hewan sejenisnya yaitu anjing, kuda, dan domba.

Hewan itu yang berasal dari daerah Asia Barat dan Persia, dalam perkembangannya menyebar ke seluruh pelosok dunia dengan nilai fungsional berbeda antara lain sebagai pedaging, penghasil susu, dan bahkan tulang dan kulitnya.


Dari hasil adaptasi lahirlah spesies dan karakter istimewa antara lain kambing etawa dari wilayah Jamnapari India, kambing apin dari Pegunungan Alpen Swiss, kambing saanen dari Swiss, anglo nubian dari Nubian Timur Laut Afrika, beetel dari Rawalpindi dan Lahore Pakistan serta Punjab India.

Dari sekian banyak jenis kambing di dunia, etawa merupakan kambing unggul fungsi ganda karena potensial sebagai penghasil daging dan susu serta pupuk kandang yang andal dengan jenis pakan ternak yang relatif mudah menyesuaikan.

Selain itu, dapat melahirkan anak 5 sampai 6 ekor sekali kelahiran setiap 8 bulan.
Kambing etawa masuk ke Indonesia dibawa oleh Belanda, tepatnya di Daerah Istimewa Yogyakarta  pada 1920 sebagai kambing perah dengan sebutan kambing benggala.

Di daerah Kaligesing Purworejo Jawa Tengah, pada saat itu dikembangkan kawin silang antara benggala dengan kambing lokal (wawarandu/ kacang) yang selanjutnya dikenal dengan kambing peranakan etawa (PE).

 Sebagai daerah sentra utama pengembangan kambing PE, Kaligesing erat dengan trade mark kambing jenis itu yang berkualitas ganda yaitu penghasil susu maupun daging serta bahkan kebanggaan masyarakat sekitar ataupun masyarakat peternak Jawa Tengah.

Hal tersebut dibuktikan oleh perhatian pemda setempat, ataupun bahkan beberapa waktu lalu Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo melakukan kunjungan khusus bersama jajaran terkait di lokasi pembibitan Kaligesing Purworejo.

Selain Kaligesing, di wilayah Yogyakarta, Jawa Timur, Palembang, dan Lampung juga di kembangkan sentra kambing PE utamanya pejantan dengan harapan dapat memperbaiki kualitas keturunan kambing lokal pedaging ataupun kambing hias yang memiliki nilai jual yang cukup tinggi.

Susu yang dihasilkan kambing PE merupakan pengobatan alternatif yaitu sangat membantu penyembuhan penyakit asma,tuberkulosis (TB), eksim, membantu penyehatan kulit, mencegah penuaan dini dan mencegah osteoporosis.

Pada masa laktasi kambing PE mampu menghasilkan 0,8 - 2,5 liter susu per hari dengan harga jual Rp 15 ribu-Rp 20 ribu per liter. Sebagai gambaran apabila peternak memiliki lima ekor maka sehari dapat meraup rupiah tidak kurang dari Rp 75 ribu.
Dua Kali Sebagai kambing pedaging maka PE dapat menghasilkan bobot daging dua kali dibanding kambing jenis lokal, selain kulitnya dan pupuk kandangnya  lebih berkualitas.

Sebagai sumber pendapatan yang produktif terutama bagi peternak pedesaan, maka setiap sekitar delapan bulan induk dan anak merupakan mata rantai yang bersambung dengan nilai perawatan hampir sama dengan apabila memelihara kambing jenis lokal, baik kandang, pakan ataupun mata rantai usia.
PE Hias Dengan memiliki seekor pejantan PE kualitas A saja, seorang peternak dapat untuk sekali sewa perkawinan dengan induk pilihan. Dari hasil perkawinan pilihan ini akan didapat calon kambing PE hias yang saatnya menjadi calon kontestan pada lomba-lomba.

Kontes pada lomba-lomba ini juga cukup potensial dari sisi pariwisata serta lebih memberikan trade mark bagi kambing PE sebagai aset bangsa, khususnya Kaligesing Purworejo Jawa Tengah.

Melihat sejarah panjang perkembangan ternak kambing PE, rasanya sudah saatnya pemerintah membuat langkah tegas melalui pembinaan dan peraturan, mengingat belakangan disinyalir kambing PE kualitas A ”dilarikan’’ ke luar Jawa Tengah, termasuk ke negeri jiran.

Jumlahnya tidak tanggung-tanggung sekitar 500 ñ 1.000 ekor per tahunnya untuk asal Jawa Tengah saja dan merupakan dilema pada masa mendatang bagi Jawa Tengah karena si pejantan dan si induk tangguh populasinya menipis.

Ibarat pepatah sedumuk bathuk senyari bumi, bukan tidak mungkin hal kecil akan menjadi masalah besar pada masa mendatang.

Kalau saja 100 tahun lalu pada masa kolonial Belanda bisa melahirkan mata rantai PE maka seyogianya kita bisa menghentikan larinya ”PE” alias pencuri etawa dengan memberikan sanksi tegas.

Kambing PE identik dengan kejayaan peternak Jawa Tengah dan bahkan kelestarian serta kemurnian genetik ternak merupakan aset yang tidak bisa kita jual begitu saja kepada bangsa lain.

Mampukah kita lakukan hal tersebut menjelang seabad kelahiran mata rantai kambing PE? (10)

— Drh Enny Setyowati N, Kasi Pemeliharaan dan ATR BIB Ungaran Kabupaten Semarang
Opini Suara Merdeka 14 Desember 2009