13 Desember 2009

» Home » Republika » Mengenang Muhammad Yamin

Mengenang Muhammad Yamin

Ardi Winangun
(Pengurus Presidium Nasional Masika ICMI)

Dalam peringatan Hak Asasi Manusia (HAM) pada 10 Desember, yang terlupakan dan yang harus dikenang kembali atas jasa-jasanya adalah Muhammad Yamin. Berkat beliaulah, aturan soal HAM bisa masuk dalam UUD, sebuah dasar hukum tertinggi dalam peraturan hukum.

Tentu, keinginan Muhammad Yamin untuk memasukkan HAM dalam UUD tidak mudah. Ia harus berdebat dan membuka front dengan Soepomo dan Soekarno. Dalam sebuah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di situlah perdebatan terjadi. Saking serunya, masing-masing kubu mempunyai pengikut yang sangat hebatnya. Muhammad Yamin didukung oleh Mohammad Hatta, sementara Soepomo didukung oleh Soekarno.

Bagi Yamin, HAM perlu dimasukkan dalam UUD, tapi tidak bagi Soepomo. Penolakan Soepomo dilandasi alasan bahwa HAM adalah produk negara individualistik. Pikiran Soepomo menyatakan aliran kekeluargaan sesuai dengan sifat ketimuran. Jadi, tidak perlu mengadakan declaration of rights. Konsep Soepomo, dengan negara integralistik, menganggap HAM tidak perlu. Dalam negara integralistik, pemimpin negara menyatu dengan rakyatnya sehingga tidak mungkin pemimpin menyayat-nyayat atau menzalimi rakyat. Tidak hanya Soepomo yang tidak setuju declaration of rights dimasukkan dalam UUD, Sukiman pun senada dengan Soepomo yang tidak sepakat memasukkan declaration of rights dalam UUD.

Namun, gagasan Soepomo itu ditentang oleh Muhammad Yamin dengan keras. Muhammad Yamin berkeinginan memasukkan HAM dalam UUD karena terinspirasi filsuf Prancis, JJ Roosseau; The Virginia Declaration of Rights, 12 Juni 1776; serta Konstitusi Amerika Serikat yang di dalamnya memuat Declaration of Rights, Philadelphia tahun 1774, Declaration of Independence 4 Juli tahun 1776, dan Konstitusi 1787.

Dalam sidang BPUPKI, Muhammad Yamin mengatakan, buat yang akan menyusun konstitusi hendaklah jelas apa yang akan disusun. Oleh sebab itu, konstitusi ini hendaklah berisi bahan-bahan yang jelas; tidak saja tentang penyusunan negara, tetapi juga berisi syarat-syarat tentang kesejahteraan dan hak-hak rakyat tentang perlindungan kemerdekaan. Misalnya, berbicara, berkumpul, dan lain-lainnya. Ringkasnya, menjamin keadaan yang lebih selamat dan lebih sentosa daripada keadaan dulu serta kehidupan yang lebih senang dan makmur dalam negara yang dicita-citakan.

Muhammad Yamin menyampaikan pandangannya agar pasal-pasal tentang kesejahteraan, seperti yang dijanjikan dalam pembuka UUD, diberi jaminan yang lebih luas dan jelas. Ditegaskan, hak-hak dasar wajib dimasukkan dalam UUD, yang ia sebut sebagai pasal dan perkara yang principieel. Penolakannya ini merupakan respons dari pandangan Supomo yang berpendapat bahwa hak-hak dasar tidak perlu dimasukkan dalam konstitusi.

HAM masuk dalam UUD agar kedudukan hukumnya menjadi kuat sangatlah penting. Hal ini seperti dikatakan Muhammad Yamin dalam sidang-sidang BPUPKI. Ungkapan itu menyatakan, "Saya minta perhatian betul-betul karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau hal ini tidak terang dalam hukum dasar, ada kekhilafan daripada grondwet, grondwettelijke fout, kesalahan undang-undang hukum dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik, misalnya mengenai yang tertuju kepada warga negara. Jangan pikirkan bahwa hanya warga negara yang akan mendapat hak, juga penduduk akan diperlindungi oleh republik ini."

Antara tesis dan antitesis itu akhirnya menghasilkan sintesis dengan termuatnya 5 pasal, seperti dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Menurut Muhammad Yamin, UUD 1945 merupakan hasil karya di bidang hukum konstitusi yang disusun dalam aliran suasana nasional, dalam rangka suasana internasional, dan dalam suasana perang dunia II, yang meliputi Indonesia sebagai bagian dari dunia semesta.

Konstitusi yang hanya memuat 37 pasal, menurut Muhammad Yamin, merupakan salah satu manifesto ringkas yang berisi petunjuk bagaimana revolusi kemerdekaan Indonesia membentuk susunan ketatanegaraan Republik Indonesia dan bagaimana tujuan akhir harus dicapai, yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan ajaran Pancasila yang ia persamakan dengan masyarakat sosialis ala Indonesia.

Masyarakat adil dan makmur ini akan tercapai, menurutnya, dengan melaksanakan pembangunan semesta berencana. Keyakinan Yamin tentang jalan pembangunan semesta berencana, dalam konteks pemenuhan HAM, khususnya hak-hak ekosob, dapat dipersamakan dengan konsep yang saat ini dikenal dengan obligation of conduct dan obligation of result yang menjadi obligasi pokok pemerintah.

UUD 1945 yang disahkan menjadi UUD pada 18 Agustus 1945 itu sekarang sudah diamendemen sampai empat kali dengan sebutan UUD NRI Tahun 1945 yang memiliki 73 pasal. Jumlah pasal mengenai HAM dalam UUD NRI Tahun 1945 pun menjadi lebih komplet, yang tertuang dalam Bab X A HAM dari Pasal 28 A hingga Pasal 28 J. Namun, tanpa perjuangan Muhammad Yamin yang kuat untuk memasukkan HAM dalam UUD, kita semua akan kesulitan memperjuangkan HAM menjadi landasan dan jaminan hukum tertinggi.

Opini Republika 12 Desember 2009