10 Desember 2009

» Home » Jawa Pos » Koin untuk Keadilan

Koin untuk Keadilan

PENGUMPULAN koin (uang receh) untuk Prita dapat disebut sebagai "koin untuk HAM". Uang recehan yang dikumpulkan dapat dijadikan sebagai sampel dari wujud kepedulian masyarakat terhadap wajah penegakan HAM yang karut-marut. Masyarakat terpanggil untuk bergotong royong atau menunjukkan solidaritas dalam memperjuangkan hak sesama (Prita) yang sedang terkena "musibah" penerapan hukum yang tidak berpihak kepadanya.

Uang recehan juga menggambarkan sesuatu yang bersifat kecil. Karena kecil itu, tentulah tidak cukup "membeli" keadilan yang model keadilannya bersifat formal dan bukan keadilan yang bersumber dari hati nurani. Keadilan yang lahir dari suatu praktik peradilan berharga mahal, berbelit-belit, dan sering mendiskriminasikan.

Seharusnya, solidaritas masyarakat seperti itu menjadi kritik radikal terhadap peran negara, khususnya elemen penegak hukum yang dinilai gagal melindungi atau mengayomi hak keadilan warga (Prita). Masyarakat mestinya tidak perlu harus turun gelanggang mengumpulkan koin jika aparat penegak hukum berhasil menjalankan peran dalam memperjuangkan HAM secara maksimal.

Masyarakat sampai turun ke jalan membela seseorang yang dikalahkan dalam pertarungan hukum merupakan wujud dan "wajah" reaksi (perlawanan) moral terhadap model peradilan yang sedang mengidap kevakuman nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban.

Peradilan yang mendapatkan tugas dari negara untuk memediasi hak keadilan warga, ternyata, memilih jalan sendiri yang keluar dari misi sakral dan "agung" negara. Peradilan menjadikan negara sebagai subjek yang sangat berdosa besar akibat keputusan hukumnya yang menyakiti hak warga.

Sudah demikian sering kita saksikan anggota masyarakat yang dilukai oleh negara lewat lembaga peradilan. Anggota masyarakat itu sebenarnya bermaksud baik, yang maksudnya tersebut diejawentahkan dengan cara menyuarakan keteraniayaan atau perlakuan tidak adil yang dialaminya.

Perlakuan adigang-adigung, arogan, atau menzalimi yang dilakukan oleh korporasi, pemodal besar, atau seseorang yang tergolong elitis dan berkuasa, yang antara lain dengan menggunakan kendaraan lembaga peradilan, telah membuat rakyat kecil serbahidup "sesak napas" di negeri ini. Mereka tergiring untuk menerima realitas sebagai segmen sosial yang dikalahkan (losser society).

Oleh negara, mereka itu sering dibius oleh pilar-pilarnya lewat pernyataan bahwa negara Indonesia ini merupakan negara demokrasi, yang penyelengaraannya didasarkan atas hukum dan serba menghormati HAM. Namun, dalam kenyataannya, saat mereka mencoba menempatkan diri sebagai warga yang taat konstitusi, yang antara lain memanfaatkan media sebagai saluran penyampaian informasi dan memperjuangkan hak asasinya, mereka justru diseret sebagai pesakitan yang tidak berdaya.

***

Sekarang, tampaknya, masyarakat semakin tidak memercayai produk kinerja peradilan atau simbol-simbol kompetensi negara. Meski peradilan memutuskan seseorang dari kalangan "wong alit" bersalah dengan kewajiban mengganti kerugian hingga ratusan juta rupiah, masyarakat justru tetap menghargainya sebagai pejuang keadilan. Prita ditempatkan sebagai representasi "wong alit" dalam segmentasi dari anatomi kehidupan bernegara yang anomalistik.

Sikap kebersamaan elemen masyarakat dalam mengumpulkan koin layak ditempatkan sebagai teladan moral sosial, yang selayaknya disikapi secara bening nurani oleh pilar-pilar negara. Kalau masyarakat bisa bersikap kooperatif dalam mengonstruksi kesalehan sosial demi hak sesamanya atau pejuang keadilan, tentulah idealnya negara lebih mampu melakukannya.

Untung bagi Prita, belum tentu bagi masyarakat kecil lain yang dikalahkan, didiskriminasikan, atau dipinggirkan dalam pergulatan di peradilan atau di lingkungan birokrasi pemerintahan. Dalam hal ini, Prita beruntung karena bisa dimediasi oleh media massa, LSM, dan kekuatan elemen sosial lainnya. Sementara itu, masyarakat kecil di luar Prita masih tersebar cukup banyak di negeri ini.

"HAM itu hak yang melekat dalam diri manusia yang tanpa dengannya, manusia tidak bisa hidup sebagai manusia," demikian ujar Jan Materson (PBB), yang menunjukkan bahwa setiap diri manusia mempunyai hak fundamental yang menentukan keberlanjutan dan keberdayaan hidupnya. Jika terabaikan, hal itu akan membuatnya kehilangan kebermaknaan hidup sebagai manusia. Masyarakat akar rumput pun demikian, jika hak-haknya sebagai orang kecil terabaikan atau didiskriminasikan dan dikriminalisasikan oleh negara, dirinya tak ubah sebagai manusia yang tak berharga.

Yang bisa mengembalikan derajat atau "harga" orang kecil ke ranah egaliter, keadaban, dan kemanusiaan jelas hanya negara. Pasalnya, tangan-tangan perkasa negara yang diberi mandat konstitusi memegang palu, senjata, dan kitab peraturan perundang-undangan itu sangat menentukan hidup matinya rakyat. Jika negara tak memihak pejuang keadilan, bisa dipastikan di negeri ini semakin marak nestapa kemanusiaan. Mereka memang masih hidup sebagai warga negara, tetapi sejatinya mereka akan, sedang, atau telah mati sebagai manusia.

Kalau solidaritas massa terhadap korban pelanggaran HAM hanya layak disikapi sebagai bentuk kebersamaan melawan hegemoni negara, yang cenderung lebih memanjakan elite ekonomi dan korporasi (rumah sakit), negara selayaknya sadar bahwa mesin-mesin yang menggerakkan kekuasaannya sedang berjalan di jalur yang menyakiti pejuang keadilan.

Seharusnya, solidaritas pengumpulan koin itu hanya sebagai bagian dari gerakan massa yang bersifat melengkapi kinerja elite negara dalam menegakkan HAM. Namun, karena negara lebih sering menutup telinga atau memihak pada kebenaran (keadilan) formal, rakyat kemudian memilih jalan sendiri demi tegaknya keadilan substansial. (*)

*) Nadlifah Hafidz, pekerja pada sebuah lembaga penerbitan serta peneliti masalah anak-anak dan perempuan
Opini Jawa Pos 11 November 2009