10 Desember 2009

» Home » Jawa Pos » Kaji Ulang UU HAM

Kaji Ulang UU HAM

PADA 10 Desember tahun ini adalah 60 tahun sejak Deklarasi Universal tentang HAM ditandatangani. Tahun ini pula Komisi Hak Asasi Manusia Antarpemerintah ASEAN resmi didirikan pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN, 23-25 Oktober 2009. ASEAN Intergovernmental Human Right Commission (AIHRC) sebetulnya digagas sejak pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN di Phuket, Thailand, tiga bulan lalu. Dalam pidato peresmian, Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva menyatakan bahwa tujuan pembentukan komisi itu untuk meningkatkan dan melindungi HAM di kawasan Asia.

Pembentukan komisi tersebut memiliki makna penting bagi sejarah perkembangan negara ASEAN karena dua hal. Pertama, secara arkeologis, berbicara tentang penegakan harkat dan martabat bangsa Asia sama dengan bercerita tentang pergulatan tiap-tiap bangsa lebih dari tiga abad melawan kolonialisme.

Sebelum kolonialisme, bangsa Asia memiliki harapan hidup lebih panjang ketimbang Barat, kemakmuran dijaga oleh tiap kekuasaan pribumi, dan perkembangan peradaban dilandasi keselarasan manusia dengan alam. Setelah kolonialisme, warga Asia seperti baru saja terjaga dari mimpi buruk. Kedua, secara teleologis, pembentukan badan HAM ASEAN merupakan titik pijak strategis untuk merumuskan kondisi martabat bangsa-bangsa di Asia pada masa depan.

Pertanyaan yang mendesak diajukan, apakah cukup riil visi badan itu dalam perlindungan dan peningkatan HAM di Asia? Apa tolok ukur ideal dalam perumusan nilai-nilai hak asasi yang sesuai dengan bangsa-bangsa Asia?

Nilai HAM tidaklah muncul dari kehampaan. Universal Declaration of Human Right pada 10 Desember 1948 merupakan reaksi atas trauma berkepanjangan dari Perang Dunia II. Nilai-nilai seperti kebebasan, persaudaraan, dan kebahagiaan dirumuskan sesuai dengan sistem ideologi, tata norma, dan situasi ruang-waktu yang melekat pada warga Barat saat itu.

Trauma itu sekurang-kurangnya dapat dilihat dalam konvensi tentang penghukuman yang kejam dan merendahkan. Hal itu dikonkretisiasi dalam Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment of Punishment (konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia) pada 9 Desember 1975. Hal itu disusul dengan program Aksi Wina 1993 sebagai desakan terhadap percepatan universalisasi HAM. Pemerintah Indonesia baru menandatangani pada 23 Oktober 1985 dan diratifikasi pada 1998 dalam bentuk UU No 5/1998.

Tidak Memadai

Selama ini gerakan yang bersifat lintas negara pada bidang HAM di Asia memang tidak terlihat memadai. Di Indonesia, barulah pada 1998-2003 pemerintah mencanangkan program yang memprioritas urusan penegakan HAM. Sekurang-kurangnya program itu menghasilkan UU No 39/1999 tentang HAM dan UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM.

Di sejumlah negara di Asia, penciptaan perangkat pemajuan HAM sebagaimana diamanatkan PBB tidak membawa kemajuan yang berarti. Malaysia menentang keras permodelan HAM yang telah disponsori Amerika. Tidak berbeda dengan Thailand, Myanmar juga mengaku memiliki standar HAM berbeda ketika mengatasnamakan kultur. Sejumlah negara lain, seperti Filipina, Brunei, dan Laos, memahami konsep-konsep HAM tidak seperti yang diungkapkan Barat.    

Persoalan yang tidak pernah dipikirkan bersama, dalam banyak hal masalah HAM tidak melulu bisa dijelaskan atas nama universalitas. Apa yang terjadi di dataran Asia berbeda dengan di negara-negara Barat. Seperti persangkaan Rudyard Kipling tentang perbedaan hakiki antara Barat dan Timur, hanyalah peristiwa Perang Dunia II yang menyatukan pengalaman warga dunia dalam satu abad terakhir. Selain itu, mengikuti ungkapan Kipling, ''Never the twain shall meet''.

Kompleks Rendah Diri

Verifikasi faktual, secara sosiologis, perkembangan masyarakat Barat dimulai dari ciri agraris, industri, dan diakhiri pada posindustri. Sementara itu, perkembangan masyarakat Timur dimulai dari agraris, kolonial, dan poskolonial.

Dalam konteks pencapaian norma-norma ideal, masyarakat industri dituntun oleh tata nilai individual, kompetisi, pragmatisme, dan berorientasi pada nilai material. Namaun sebaliknya, masyarakat kolonial dituntun oleh nilai-nilai kelompok, kebersamaan, dan spiritual.

Dipandang dari sudut psikologi kepribadian, masyarakat poskolonial menikmati kompleks perasaan unggul diri, sedangkan masyarakat kolonial mengidap kompleks rendah diri. Karena itu, hingga hari ini, problem hak asasi manusia yang muncul di Asia tidaklah sama.

Ketika negara-negara Anglosakson disibukkan dengan keserakahan yang dituangkan dalam bentuk penipuan di bursa efek, ambruknya konglomerasi besar, dan kompetisi kepemilikan kapital, sebagian besar masyarakat di Asia masih harus menangani penjualan manusia. Kasus itu bisa mengatasnamakan trafficking, tetapi juga mengatasnamakan mekanisme lain yang dilegalkan negara.    

Kompleks rendah diri itu berimplikasi terhadap penciptaan pola-pola hubungan yang tidak setara. Termasuk masalah HAM ketika negara-negara maju menyusun skenario ketergantungan di bidang ekonomi. Masalah HAM ketika pengaruh badan-badan keuangan dunia telah membuat keputusan pemerintah terdikte. Masalah HAM juga terjadi dalam sistem perdagangan yang menggunakan standar ganda serta hubungan strategis lain yang membuat negara-negara kawasan ASEAN terjebak dalam sistem yang memperbudak.

Karena itu, sudah saatnya Komisi HAM ASEAN merumuskan sendiri strategi peningkatan harkat dan martabat warga Asia. Ada tiga hal mendasar yang perlu dijadikan titik tolak. Pertama, klaim universalitas dalam keberagaman kultur di Asia haruslah didasari toleransi terhadap perbedaan.

Kedua, klaim liberalisme tidaklah didasarkan pada kebebasan niat untuk membuat orang atau kelompok lain bergantung, tetapi harus diupayakan adanya kesetaraan. Ketiga, individualisme haruslah tidak sekadar dimaknai sebagai kebebasan mencapai kebahagiaan sendiri atau kelompok, tetapi harus diletakkan pada semangat kebersamaan. (*)

*). Dr Saifur Rohman, ahli filsafat dari Universitas Semarang, menulis disertasi tentang HAM
Opini Jawa Pos 10 Desember 2009