10 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Partisipasi Keterbukaan Informasi

Partisipasi Keterbukaan Informasi

DAMPAK pembukaan rekaman pembicaraan Anggodo cs di Mahkamah Konstitusi ternyata menghasilkan ’manfaat’  yang luar biasa. Tidak seperti yang diduga terutama pada masa pembungkaman pers di  zaman Orde Baru, ternyata masyarakat semakin dewasa, dan tidak langsung berbuat anarkis.

Manfaat yang diambil adalah, kini pemerintah harus berkejaran dengan tuntutan poublik untuk memberantas mafia hukum.Bahkan Presiden SBY di depan seluruh gubernur di Kalimantan Tengah belum lama ini lantas menginstruksikan bahwa pemberantasan mafia hukum merupakan prioritas utama yang harus dikerjakan para gubernur.


Dari titik inilah alangkah idealnya jika kasus-kasus yang meresahkan publik, dapat diakses secara langsung oleh rakyat untuk mendapatkan perhatian. Karenanya bisa saja pelaksanaan hak angket oleh DPR atas kasus Bank Century, dapat diakses  oleh publik, agar diketahui sejauhmana keseriusan para anggota dewan yang telah dibayar mahal dengan uang rakyat menyelesaikan kasus ini untuk kemenangan keadilan.

Demikian pula berbagai sidang DPR atau lembaga negara yang penting, dapat disiarkan untuk publik, kalau perlu secara utuh sebagaimana dilakukan MK atas rekaman Anggodo cs tersebut.

Di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, telah lama diundangkan Administrative Procedures Act and Freedom of Information Act yang intinya mewajibkan semua lembaga pemerintahan untuk menginformasikan semua rencana peraturan yang akan dibuat.

Tujuannya agar ada masukan, saran dan kritik dari masyarakat agar peraturan yang dibuat menguntungkan semua pihak. Dengan cara seperti ini berarti pemerintah mengajak partisipasi publik karena mereka telah memahami apa yang akan dilakukan pemerintah.

Sedangkan freedom of information act adalah sebuah peraturan yang memberi izin kepada setiap orang untuk meneliti dokumen, surat-menyurat, pidato, dan memorandum mantan pejabat yang telah pensiun atau mengundurkan diri. Peraturan semacam ini sudah lama dilakukan oleh Kerajaan Swedia pada akhir paro abad XIX. Tujuannya agar ìkelakuanî para pejabat yang kotor dapat terdeteksi, dan mencegah pejabat penggantinya untuk berbuat curang atau korup.

Opini publik menjadi penting artinya karena merupakan bagian dari hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari piak yang telah dibayarnya, yakni pemerintah. Indonesia sudah menyatakan bahwa pegawai dan penguasa adalah abdi rakyat. Di Inggris juga dikatakan sebagai civil servant, atau pihak yang melayani.

Pentingnya opini publik juga dikatakan oleh Noelle-Neumann (1981) dengan teori yang disebutnya sebagai Spiral of Silence. Intinya, opini publik akan dinyatakan jika memiliki peran dominan, sebaliknya tidak akan dinyatakan atau diam (silence) jika posisinya terdesak. Bila dalam posisi yang lemah tumbuh keyakinan yang kuat, maka terjadilah upaya untuk mendapatkan dukungan dari sesamanya sehingga menjadi dominan, dan akan terdiam sama sekali jika gagal.

Dari titik inilah menarik untuk mengomentari hasil pembicaraan rekaman Anggodo cs, di mana keyakinan publik demikian kuat, sehingga opini publik juga bergulir cepat, demikian pula kasus Bank Century.

Namun sebaliknya, potensi untuk menjadi diam sama sekali juga besar karena dapat dipastikan pihak yang terdesak, apalagi penguasa dan pengusaha besar, memiliki modal yang sangat kuat untuk membungkam opini publik dengan berbagai cara.

Bahkan kini beredar isu bahwa angket Bank Century terancam gagal karena pihak penguasa memiliki kartu truf untuk membungkam para anggota Dewan yang diduga juga kotor. Dengan sekali gertakan bahwa oknum anggota Dewan yang bersuara keras akan dibongkar juga kasus atau boroknya, maka dapat dipastikan hak angket akan masuk angin.

Watak Informasi

Dalam dunia global yang makin terbuka ini masyarakat nyaris tak berjarak karena di kantongnya sudah tersedia ribuan data yang tersimpan di HP untuk menghubungi siapapun yang diinginkan.

Demikian pula ruang angkasa berseliweran aneka frekuensi sehingga setiap pembicaraan siapapun akan dapat ditangkap oleh mereka yang memiliki kekuatan teknologi. Singkatnya, tidak ada satu pun yang dapat disembunyikan di depan manusia, apalagi di hadapan Allah SWT.

Fenomena ini disebut kaum postmo sebagi sebuah perubahan kualitatif. Informasi bukan saja semakin bertambah jumlahnya, namun juga watak dan tingkah lakunya. Informasi tidak saja menjelaskan realitas dunia, melainkan juga melahapnya, mencetak fiksi-fiksi baru mirip realitas yang lama.

Korbannya, kata Heryanto (1995) bukan hanya ruang, waktu, sensor, dan jenjang sosial, namun yang paling keramat, masyarakat modern juga diobrak-abriknya. Dalam realitas wawasan postmo, identitas manusia dan realitas adalah hal-hal yang fiktif atau rekaan yang diciptakan oleh bahasa/informasi/wacana.

Wajar jika Baudrillard menyebut istilah hyperreal, yakni sebuah fenomena bahwa citra atau image ternyata justru lebih riil daripada kenyataannya. Kita barangkali lebih mengenal berapa ukuran bra Madonna, Dewi Persik, atau Sarah Azhari dibanding ukuran milik istri kita sendiri, karena Madonna, Dewi, atau Sarah justru lebih ìdekatî dengan kita berkat gencarnya tayangan infotainment.

Masyarakat yang dibelenggu oleh  ketertutupan informasi bakalan bisu demikian Ki Zerbo pernah bilang. Masyarakat yang telah dikuasai oleh informasi asing (baik bangsa asing ataupun pemerintah seperti zaman Orde Baru), maka ia akan terasing dan tidak dapat memahami dirinya sendiri. Ia akan menjadi pasif dan hanya mampu melayani orang lain atau pihak lain.

Informasi yang hanya berjalan searah— baik karena kekuatan teknologi atau kekuasaan politik— akan melemahkan partisipasi masyarakat. Kemajuan teknologi memang telah menyuguhkan janji-janji ke arah pluralisme, produktivitas, demokratisasi, dan sebagainya. Namun pada saat yang sama, ia juga memperkenalkan homogenisasi kultural dalam skala massif dan seketika (instan), atau akan berujud sebagai tirani kognitif (meminjam istilah Majid Tehranian).

Karenanya jika kita melihat dan mendengar informasi dari penguasa secara sepihak, maka pesannya tidak terletak pada surface pernyataan yang bersifat propagandastik, namun justru pada in the use of distorted language.

Karenanya, sekali lagi, keterbukaan informasi dan partisipasi publik adalah dua mata uang yang sama dalam proses demokratisasi. Asumsinya, rakyat adalah pihak yang pertama dan terutama akan merasakan akibatnya karena sebuah keputusan politik yang tidak demokratis. Dengan kata lain, demokratisasi menuntut peran publik.

Tuntutan itu akan semakin terasa bobotnya jika kita bersedia berendah hati untuk menyaksikan pemandangan selama ini bahwa keputusan yang bersifat teknis sekalipun, ternyata tidak steril dari kepentingan politik dan konflik moral.(10)

— Saratri Wilonoyudho, esais, peneliti dan dosen Universitas Negeri Semarang
Wacana Suara Merdeka 11 Desember 2009