10 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Penjaringan Informasi

Penjaringan Informasi

Dalam suatu forum diskusi, seorang peserta bertanya, mengapa dia kurang percaya kepada wartawan? Seorang pejabat senior yang hadir dalam forum sama secara terbuka menolak keras ketika dinyatakan bahwa media massa ikut memengaruhi warna budaya dan jalannya sejarah bangsa.

Bagi orang-orang media, pendapat-pendapat itu tentu mengganggu, walaupun kenyataannya bukan hanya mereka yang memiliki pendapat demikian. Media massa sudah biasa menjadi sasaran kecurigaan, biasa menjadi buron kecaman dan sering dikambinghitamkan. Kalau salah pemberitaan, dia dikecam habis. Tidak salah pun ada saja yang kecewa karena pemberitaannya tidak sekomprehensif yang mereka harapkan; atau tidak mencakup hal-hal yang mereka harapkan akan diliput. Orang-orang media harus siap menerima itu semua.


Kebebasan yang diberikan masyarakat demokrasi memungkinkan orang-orang media membuat pilihan-pilihan sendiri untuk produk mereka, sesuai visi dan misi mereka. Produk-produk yang dihasilkan umumnya bersifat ideal tanpa mengabaikan sisi komersialnya karena 'gizi' tetap diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka; namun produk mereka tetap informatif, edukatif, dan menghibur pula. Pembaca atau penontonlah yang dipersilakan menilai, mana yang lebih dekat di hati mereka. Itu penjelasan kami. Tidak berarti media di Indonesia tidak harus introspeksi. Dia sebenarnya sekarang malahan lebih hati-hati sebab tanggung jawab sosial disandangnya sendiri. Indonesia bukan negara komunis, yang medianya menjadi alat pemerintah, menjadi seruling yang berkuasa.

Minggu lalu, dalam rangka seminar Politik & Ekonomi Indonesia 2010, yang diselenggarakan Media Group, pentingnya peran media massa dalam pembangunan disinggung dalam keynote speech Menko Polhukam Djoko Suyanto. Dalam bincang-bincang sebelum seminar, keinginan agar media massa lebih sadar akan peran menumbuhkan rasa kebangsaan juga disampaikan oleh Ketua Partai Demokrat Hayono Isman. Kami berterima kasih mendapat saran dan diingatkan.

Heterogenitas orang-orang media

Kami orang media tidak homogen. Konsep mengenai peran orang media tidak mutlak sama, sekalipun kami menyadari tugas utama sama: memberi gambaran tentang keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya bangsa. Prioritas adalah mengawal demokrasi supaya selamat. Dalam penelaahan mengenai banyak hal, mungkin saja nuansa penyampaian berbeda-beda karena pembelajaran, pendidikan, dan pengalaman hidup masing-masing berbeda-beda. Kami juga akui, ada saja di antara kami yang ceroboh, tidak siap, dan senang sensasi. Karena itu, media massa selalu terbuka untuk kritik dan saran.

Namun, umumnya wartawan sadar benar bahwa tanggung jawab terhadap publik luar biasa besar. Untuk itu, wartawan umumnya berusaha berpengetahuan luas, objektif, dan jujur karena publik menuntutnya agar cepat membuat penilaian dan kesimpulan supaya menghasilkan produk-produk bermutu, terkini, dan tepercaya. Wartawan juga sadar bahwa apa yang disampaikan bisa berdampak terhadap kehidupan dan penghidupan ribuan atau bahkan jutaan orang. Tugas tersebut kedengaran mahabesar dan rasanya memang demikian. Karena itu, kami terus-menerus merangkum sebanyak mungkin pengetahuan dan mempertajam keterampilan. Jangan sampai ketinggalan atau kalah cepat daripada yang lain-lain. Kami pasti merasa gagal kalau yang sampai ke publik bukan berita terbaru dan yang itu-itu saja. Betapa sering publik berkata, "Aku bosan."

Mengail dalam banjir informasi

Dalam era informasi dan reformasi, yang mencemplungkan masyarakat dalam banjir informasi yang datang dari berbagai arah dari luar maupun dalam negeri, perangkat apa yang bisa dipakai publik untuk melindungi diri dari informasi yang berdampak negatif?

Pertama hendaknya dinilai jenis informasi dan dari mana datangnya. Kedua, hendaknya dinilai masyarakat penerima informasi yang kemampuannya menyerap informasi berbeda-beda, sesuai pendidikan dan pengalaman masing-masing. Philip Kotler dalam Social Marketing menyatakan masyarakat menafsirkan informasi sesuai keyakinan dan nilai-nilai yang dianutnya. Ada juga kelompok yang secara kronis tidak reseptif terhadap informasi karena minimnya pengetahuan. Respons terhadap informasi meningkat kala dia merasa pesan yang disampaikan melibat kepentingannya, atau sesuai dengan sikapnya. Masyarakat cenderung menolak informasi yang bertentangan dengan pendapatnya. Sebaliknya dia cenderung menerima informasi yang mengenakkan perasaan. Tidak mustahil yang diserap hanya yang bersifat hiburan, yang mungkin merangsang naluri rendah, sekalipun itu hanya bagian kecil dari paket yang padat informasi dan edukasi.

Dr Juwono Sudarsono, ahli ilmu politik yang juga sarjana komunikasi, pernah mengutip World Monitor 1990 yang menyatakan masyarakat yang kenyang informasi dan edukasi belum tentu masyarakat yang produktif. Di penerbitan itu dipaparkan tentang sebuah organisasi di Amerika Action for Children Television, yang waktu itu berusaha agar Kongres Amerika mengikhtiarkan pembaruan dalam program-program televisi supaya bersih dari siaran-siaran yang sebenarnya diperuntukkan khusus bagi orang dewasa, tetapi ditonton pula oleh anak-anak. Ikhtiar itu juga dijalankan dalam rangka meningkatkan daya saing Amerika menghadapi perekonomian Jepang, Korea Selatan, dan Jerman. Karena televisi adalah salah satu media pendidikan yang paling efisien dan cost effective, organisasi itu menginginkan agar anak-anak Amerika pun dididik dan didayagunakan dalam arti luas, yakni memahami tempat dan kedudukan Amerika sebagai kekuatan ekonomi dunia. Dengan kata lain, orientasi televisi Amerika pada umumnya harus diarahkan bukan terutama pada hiburan, melainkan pada fungsinya yang utama, yakni mencerdaskan masyarakatnya.

Bahwa media diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat agaknya umum sepakat. Betapa besar peran pengelola di belakang media, umum pun mengerti. Budayawan Dr Soedjatmoko (alm) pernah mengatakan, dan kami kutip, "Terkembangnya masyarakat informasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia sendiri, telah mengakibatkan perubahan sosial yang demikian pesat dan mendalam sehingga melampaui kemampuan penyesuaian kebanyakan lembaga, termasuk berbagai sistem politik dunia. Juga suatu negara pejabat menjadi usang karena peningkatan kecerdasan dan kompleksitas masyarakatnya sendiri."

Berapa tinggi tingkat kecerdasan masyarakat Indonesia dalam menghadapi kompleksitas sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya yang berkembang tanpa henti? Itu ditentukan oleh sistem pendidikan formal maupun informal, maupun kemampuan kita memilih dan menyerap informasi. Terutama itu terpulang pada perjuangan dan ketekunan para ahli didik dan mereka-mereka yang mengorganisasi informasi. Peran kalangan wartawan dan lembaga-lembaga media di belakangnya jangan diabaikan.

Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 11 Desember 2009