03 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Demokrasi Offside?

Demokrasi Offside?

Untuk memperkuat hipotesis bahwa demokrasi hidup inheren dalam tiap tradisi di muka bumi, yang menjadi inti buku The Spirit of Democracy, ahli politik Larry Diamond mengumpulkan berbagai survei kecenderungan demokratisasi di berbagai negara. Untuk Indonesia, ia mengutip studi Barometer Asia pada 2006, yang mencatat 64% masyarakat kita menghendaki demokrasi dan di atas 80% menolak kemungkinan elite politik mendobrak demokrasi sekalipun atas nama kepentingan nasional (Diamond, 2008: 1-38).


Data itu membuat kita optimistis. Kenapa? Karena di samping gelisah tentang masa depan hukum dan demokrasi terkait drama Polri, KPK, dan Kejaksaan Agung, ada ketakutan bahwa demokrasi sudah offside, terjebak di kotak salah atau keluar dari aturan. Elite politik dan hukum sulit dipahami. Boleh jadi, mereka pun akan sulit dikontrol. Dengan begitu, demokrasi bisa mati.
Apalagi, kaum elitis dalam ilmu sosial selalu bilang dengan angkuh bahwa demokrasi pasti mati bersama pemimpin mati atau demokrasi akan dikuburkan bersama lembaga politik yang tak berfungsi.
Diamond menenangkan kita bahwa demokrasi hidup bersama rakyat. Ia adalah roh, bukan sekadar prosedur. Demokrasi hakiki bukan sekadar demokrasi elektoral yang mengandaikan ada pemilu sebagai syarat dasar. Demokrasi adalah seperangkat prinsip tentang kehidupan baik, adil, sejahtera, dan manusiawi. Dalam perspektif ini, hidup-mati demokrasi tak ada urusan dengan pemimpin atau lembaga politik.
Kapan pun pemimpin bisa dipilih dan dijatuhkan dan kapan pun lembaga politik bisa dibangun dan dirubuhkan, tetapi rakyat akan tinggal tetap. Rakyat adalah kekuatan kekal dari demokrasi. Maka, hidup atau mati demokrasi sesungguhnya ditentukan oleh rakyat. Dalam perpanjangannya, benar apa yang dibilang Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD ketika menanggapi rekaman dialog Anggodo dkk, bahwa yang melawan arus rakyat akan tergilas.
Hari ini arus rakyat itu mengalir deras. Siapa yang melawan arus itu sama dengan melawan demokrasi. Lihat saja, ketika saluran tersumbat di DPR atau di partai politik, rakyat membuat saluran lain sehingga muncul parlemen Facebook maupun parlemen jalanan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupaya memahami arus itu dengan menabuh genderang perang melawan mafia hukum sebagai agenda 100 hari pertama pemerintahan babak keduanya. Tetapi, akankah genderang seirama dengan tarian rakyat? Inilah tantangan buat pemerintah. Ia harus berdiri di antara KPK, Polri, dan kejaksaan untuk menegakkan keadilan sambil tetap memelihara keyakinan publik tentang 'negara hukum'.
Tentu ini bukan situasi yang sederhana. Di satu sisi, keyakinan publik terhadap penegakan hukum memudar, di lain sisi, pemerintah belum mengambil langkah radikal. Yang ditakutkan, ketidakyakinan terhadap penegakan hukum terkonversi menjadi ketidakyakinan terhadap pemerintah. Apalagi setelah namanya dicatut Anggodo dalam rekaman yang diputar MK, Presiden belum menempuh jalur hukum.
Kita tidak berdoa negara ini hancur, tetapi kita menghendaki pemimpin kita bersih dan berwibawa sehingga kita rindu menghormatinya. Oleh karena itu, dua pihak penting harus memainkan peran dengan benar dalam kasus KPK-Polri-kejaksaan ini.
Pertama, Presiden mengambil sikap yang tegas. Sebagai contoh, Presiden bisa menekan secara politik dengan ancaman pemecatan terhadap Kapolri dan Jaksa Agung apabila tak mampu memborgol para mafia hukum di kedua institusi tersebut dalam sebuah tenggat.
Kedua, DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. DPR mesti menggiring pihak-pihak yang bertikai pada substansi masalah untuk menggali keterangan sedalam-dalamnya dan selengkap-lengkapnya. Setidaknya itu yang diharapkan dari rapat Komisi III dan Polri Kamis (5/11) lalu. Sayangnya, dalam rapat itu DPR bertindak sebagai moderator, seolah-olah mereka adalah pihak ketiga yang tidak memiliki obligasi untuk memecahkan masalah. Bahkan ada kesan kuat, rapat itu dijadikan forum pembelaan diri bagi polri. Padahal, secara normatif, sebagai representasi dari kehendak rakyat, DPR mesti berdiri di fondasi yang sama dengan rakyat, bukan di fondasi kepentingan parsial yang tentu saja berkecamuk dalam kasus ini.
Hari ini, perang melawan mafia hukum adalah perang masyarakat sipil. Bukan perang cecak melawan buaya, melainkan perang rakyat melawan buaya hukum. Maka keberhasilan kelompok sipil mendorong kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam berbagai aksi melawan kriminalisasi terhadap lembaga antikorupsi perlu dicatat dalam buku rekor demokrasi kita. Setidaknya sebagai bukti kemenangan jilid kedua masyarakat sipil, setelah kemenangan 1998, dalam continuum sejarah demokrasi di Indonesia.
Kalau dilihat dari aspek kesadaran politik, kekuatan sipil yang terkonsolidasi dengan baik ini mencerminkan pertumbuhan kesadaran demokratik yang signifikan. Minimal, kita bisa yakin ke depan bahwa rakyat bukan lagi sekadar komoditas elektoral yang suaranya dibeli untuk menghantar pecundang atau mafia ke kursi jabatan. Rakyat sudah sadar posisi sebagai tuan atas kekuasaan.
Kemajuan itu perlu kita rayakan karena terlalu mahal dan kita telah mendapatkannya. Dulu di akhir dekade 1970-an, kelas menengah bertumbuh pesat, tetapi grafik kesadaran politik tidak ikut naik karena kelas menengah tidak bekerja untuk demokratisasi. Itu sebabnya Orde Baru bertahan 32 tahun. Tahun 1998 bisa dihitung sebagai kemenangan pertama. Tetapi sesudah 1998, ada masalah. Kelas menengah makin besar, tetapi konsolidasi kelas untuk demokratisasi belum optimal. Tahun 2009, dalam kasus kriminalisasi KPK, ada indikasi keberhasilan konsolidasi kelas menengah. Dengan demikian dan dalam konteks ini, kita bisa yakin bahwa elite politik kebanyakan terjebak offside, namun demokrasi kita belum offside!

Oleh Boni Hargens, Staf pengajar ilmu politik di Universitas Indonesia; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
Opini Media Indonesia 3 Desember 2009