03 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Sepak Bola Aja Gagal Maning

Sepak Bola Aja Gagal Maning

ADA ledekan melekat pada Persatuan Sepak Bola Kota Tegal (Persegal) yang dipelesetkan menjadi Persatuan Sepak Bola Gagal Lagi.

”Persegal donge aja gagal maning (seharusnya jangan gagal lagi-Red),” kata salah seorang suporter klub itu, diamini yang lain..


Guyonan ini dilontarkan justru ketika klub sepak bola di Kota Bahari tersebut terjungkal bukan dalam pertandingan di lapangan melainkan “kalah” karena tidak mampu menghidupi diri.

Masalah dana yang membelit klub itu mengganjal laju sliding-nya di Divisi IIIB Jawa-Bali di Surabaya. Laju perkumpulan tersebut terganjal dan sehingga harus mengaku kalah tanpa bertanding. Akibatnya klub tersebut mendapat sanksi dari PSSI.

Ada sementara orang mengatakan bahwa kejayaan sepak bola Tegal sebagai industri cuma menjadi romatika. Pada tahun 70-an kota Tegal pernah memiliki klub bagus seperti Indonesia Muda, 

PLN, Banteng Muda, POP, dan Persegal yang selalu mengobati kerinduan publik sepak bola Tegal dengan kalender pertandingan dan lawatan bertanding ke luar daerah.

Saat ini masyarakat Tegal jangan harap bisa menonton klub-klub bermain, kehidupan klub semacam Persegal nyaris mati karena kekurangan dana.

Dalam Divisi III Regional Jawa Tengah pertandingan yang dilakukan Persegal banyak dilaksanakan di luar kota atau tandang. Hal ini terjadi karena di Tegal tidak ada lapangan yang memenuhi syarat sesuai ketentuan PSSI.

Stadion Yos Sudarso yang merupakan stadion kebanggaan masyarakat Tegal pun belum memenuhi standar sesuai ketentuan dari PSSI. Antara lain tidak adanya pagar dalam yang memisahkan antara pemain dan penonton.

Pada  tahun 2009 Persegal sebetulnya lolos dari Divisi III Regional Jawa Tengah ke Divisi III Jawa, namun kesebelasan Kota Bahari harus menelan pil pahit tidak dapat mengikuti putaran kompetisi itu di Surabaya karena keterbatasan anggaran.
Klub sepak bola itu harus rela untuk mengundurkan diri dari putaran kompetisi tersebut.

Hal ini berakibat mereka gagal masuk ke Divisi III Jawa, dan  harus menanggung akibat menerima sanksi dari Pengda PSSI Jateng dan Pengurus Pusat PSSI.
Minimnya Anggaran Lantas apa penyebabnya mati surinya klub yang dulu pernah harum namanya itu? Minimnya anggaran ditengarai sebagai salah satu penyebab mati surinya klub tersebut. Setiap tahun klub itu mendapat kucuran dana Rp 40 juta dari KONI.

Namun pengurus mengatakan jumlah itu kurang memadai untuk menghidupi klub yang harus mengikuti kompetisi regional ataupun kegiatan penunjang lain seperti pembinaan, mengadakan kompetisi lokal dalam rangka mencari bibit-bibit pemain dan sebagainya. Pengurus klub berpendapat alokasi dana itu jauh dari memadai.

Sebagai gambaran untuk satu kali pertandingan tandang, tim itu berangkat dengan jumlah personel 20-an orang. Untuk biaya transpor dan makan dianggarkan Rp 7 juta atau Rp 9 juta jika harus bertanding di kota yang lokasinya agak jauh. Belum lagi biaya untuk membayar penginapan.

Saat ini, bisa dibilang Persegal masih hidup karena hanya ditopang oleh semangat, belum bicara secara profesional, apalagi membayangkan pemainnya mendapat gaji per bulan dalam jumlah cukup.

Saat ini pemain hanya mendapatkan honor bila klubnya bertanding, besaran yang diterima pun masih di bawah standar. Istilahnya hanya sekadar uang jamu.

Permasalahan lain adalah absennya Persegal dalam mengikuti kompetisi Divisi III Jawa karena kekurangan dana, berbuntut dengan larinya pemain ke tim kabupaten atau kota lain.

Pengurus pun tidak mampu mencegah karena mereka menyadari bakat dan karier pemain tidak dapat berkembang jika terus bergabung di klub daerah tersebut.

Karena itu, saat sekarang diperlukan mimpi untuk dapat membangkitkan kembali klub tersebut. Cita-cita ke arah sana harus dianalogikan sebagai sebuah mimpi dengan suatu materi yang sulit untuk dijangkau, namun masih terlihat, paling tidak kita masih bisa membayangkan hidupnya kembali klub tersebut.

Selayaknya demikian, untuk memimpikan kembali kebangkitannya maka klub tersebut harus dipersonifikasikan sebagai sebuah materi yang terlihat atau terbayangkan.

Keputusan rasional yang dilakukan oleh pengurus  untuk mengubah mimpi demi membangun kemajuan sudah dilakukan melalui pemain-pemain muda di bawah usia 16 tahun. Tahun 2010 mereka membidik Piala Suratin.

Memang butuh waktu relatif lama untuk membangkitkan kembali klub kebanggaan warga Tegal itu, dan bisa saja merupakan sebuah pencapaian yang melelahkan.

Selain itu,  butuh keberanian yang rasional untuk membangun industri olahraga itu agar kembali berkibar. Misalnya dengan melibatkan sponsor untuk membantu menghidupkan kembali klub itu sehingga tidak gagal maning (lagi-Red). (10)

— Tomi, staf Bagian Humas dan Protokol Kota Tegal
Wacana Suara Merdeka 3 Desember 2009