03 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Pengkhianatan Otoritas Publik

Pengkhianatan Otoritas Publik

DRAMA cicak vs buaya telah memasuki babak akhir dengan dibebaskannya Chandra M Hamzah-Bibit Samad Riyanto (cicak) dari perkara yang membelit mereka, Kejagung akan menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) guna menghentikan penuntutan keduanya.


Fenomena yang menarik adalah pertarungan cicak dengan buaya tersebut tidak murni mengandalkan kekuatan yang dimiliki , artinya tidak mesti buaya menang dan tidak mesti pula cicak kalah. Ada faktor-faktor eksternal yang lebih menentukan yaitu objektivitas nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan, dan ternyata itu yang menentukan kemenangan, harus diingat bahwa peradilan adalah ajang reinforcing social values.

Setidaknya drama pada akhir tahun 2009 ini menyadarkan kepada kita bahwa logika hukum bukan logika adu kekuatan, bukan logika kerakusan, dan bukan logika kepastian/prosedur kaku, tetapi hukum adalah lebih sarat dengan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kemanfaatan.

Logika hukum juga menuntut orang-orangnya untuk berdedikasi, amat sulit mendapatkan kepercayaan masyarakat ketika di sana banyak rekayasa, kecurangan, mafia dan sebagainya. Ada pepatah yang mengatakan di mana airnya kotor maka di situ airnya keruh (wien water deert, die water keert), dan jangan harap orang mau meminumnya.

Kata korupsi tidak asing lagi dan segala akibatnya bisa kita rasakan bersama, yaitu merusak pembangunan yang berkesinambungan, kualitas kehidupan, kepercayaan dan respek masyarakat, merusak (mengeksploitasi) sumber daya nonfisik. Karena itu, kita sepakat korupsi adalah musuh terbesar bangsa saat ini.

Sayang tidak mudah untuk melawan korupsi, semangat saja tidak cukup tanpa diimbangi visi yang kuat untuk melawannya, baik di tingkat legislasi, eksekusi, dan yudikasi. Pasalnya korupsi adalah ”sosok” kuat, pelakunya biasanya punya jabatan tinggi, punya status sosial terhormat, kemampuan antisipasi yang bagus termasuk menyewa pengacara yang andal sehingga kejahatan ini nyatanya sulit dibuktikan (low visibility).

Menghadapi korupsi dengan kemampuannya yang luar biasa itu tentu dibutuhkan kemampuan aparat yang andal pula. Keandalan bukan saja dari aspek teknis  dan aspek etis tetapi juga instrumen yang membatasinya (official limitation). Kasus Bibit-Chandra bukan dalam domain teknis dan etis tetapi lebih pada masalah batasan kewenangan/limitasi.

Otoritas publik ada pada aparat penegak hukum untuk melawan korupsi yang jelas-jelas merugikan rakyat, bangsa dan negara. UUTPK tahun 1999 dan UU KPK tahun 2002 harus dibaca sebagai semangat/kemauan  luar biasa untuk memerangi korupsi. Juga harapan seluruh rakyat Indonesia.

Jadi, yang ditunggu masyarakat adalah hasil guna memberantas korupsi, bukan ribut-ribut soal cara menggunakan instrumen (kewenangan), egoisme kelembagaan, merasa benar sendiri yang pada akhirnya justru yang paling tertawa adalah para koruptor, makelar kasus (markus) dan teman-temannya. Sungguh bodoh kita ini. Inilah pengkhianatan otoritas publik dan bentuk wahid dari keteledoran kolektif penegakan hukum.

Crime control model (CCM) sebagai sebuah solusi mengacu pada teori peradilan pidana yang menekankan pada upaya mengurangi kejahatan dalam masyarakat melalui peningkatan kewenangan polisi dan kejaksaan (aparat). Pola ini dikatakan sebagai affirmative model karena menekankan pada eksistensi penggunaan kewenangan aparat (existence and exercise of official power).

Proses peradilan/acara dalam CCM menitikberatkan pada peningkatan kualitas aparat dalam menemukan fakta dengan cara melakukan sedikit pembatasan terhadap proses administrasi dalam pencarian fakta. Oleh karena itu dikatakan oleh HL Packer bahwa restrictions on administrative fact finding is a consistent theme in the development of the crime control model.
Perlu Diperluas Dengan demikian kekuasaan aparat harus diperluas untuk membuatnya lebih mudah untuk menyelidiki, menangkap, memburu, menahan, dan menghukum. Teknis hukum yang membelenggu pun harus dihapuskan.

Korupsi sudah sangat mengganggu, sudah sangat sistematis, sudah cukup banyak memakan ìkorbanî aparat hukum sendiri, sehingga dengan prioritas CCM berharap pada kuasa pemerintah untuk melindungi masyarakat, dengan didasarkan pada sebuah proposisi the repression of criminal conduct is by far the important function to be performed by the criminal process.

Itulah mengapa setiap upaya yang dapat mengkerdilkan upaya melawan korupsi akan dianggap musuh rakyat. Rakyat tidak membenci kepolisian tidak juga kejaksaan tetapi membenci upaya yang dianggap dapat menggagalkan pemberantasan korupsi, karena memberantas korupsi adalah semangat rakyat.
Artinya apa? Manakala dijumpai langkah-langkah dalam rangka memberantas korupsi yang ternyata melanggar ketentuan aturan yang ada, dengan catatan itu sebagai upaya yang sangat bermanfaat untuk mengungkap korupsi, mafia peradilan, dan sebagainya, maka itu harus diposisikan sebagai alasan penghapus sifat melawan hukumnya perbuatan. Hal itu dapat berlindung di balik menjalankan ketentuan UU (Pasal 50 KUHP) atau ajaran sifat melawan mukum materiil dalam fungsi yang negatif.

Alasan penghentian penuntutan  Bibit-Chandra memberikan pelajaran, yaitu secara sosiologis adanya suasana kebatinan yang membuat perkara tersebut tidak layak diajukan ke pengadilan karena lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Selain itu untuk menjaga keterpaduan serta harmonisasi lembaga penegak hukum dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi sebagai asas doktrinal dalam hukum pidana.

Masyarakat memandang perbuatan yang dilakukan Bibit dan Chandra tidak layak dipertanggungjawabkan karena perbuatan yang dilakukan dalam rangka melakukan terobosan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.î (SM, 1 Desember 2009)

Alasan itu jelas merupakan pertimbangan materiil/ substantif yang digunakan untuk mengesampingkan sifat melawan hukumnya perbuatan menurut UU (Pasal 12 Ayat 1 (a) UU No 30/2002 tentang KPK). Kita dapat belajar bahwa berhukum harus memperhatikan kelayakan masyarakat, berhukum memang harus menggali, mengikuti, dan memahami perasaan hukum masyarakatnya, karena hukum untuk masyarakat. Kita juga belajar langkah-langkah  terobosan boleh dilakukan untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Itu semua adalah bentuk dukungan masyarakat terhadap upaya memberantas korupsi.  Masyarakat  sedang sangat sensitif dalam masalah ini, paling tidak terhadap dua hal, pertama: korupsi dan kedua: mafia peradilan. Mereka masih sangat baik karena tetap memilih cara-cara legitimate dalam bereaksi, tinggal kepekaan kita untuk memahami kemauannya yang harus ditingkatkan.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Tifatul Sembiring mengatakan, terhadap kewenangan penyadapan harus dilakukan satu pintu dan sangat terbatas. Ia mencontohkan, di Australia dan Korea,  penyadapan dilakukan oleh law full interception,  yaitu lembaga semacam Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo). Jadi, kalau Polri, Kejagung, KPK ,atau Badan Intelijen Negara (BIN) ingin melakukan penyadapan, mereka harus order ke Depkominfo. Kemudian dikeluarkan surat untuk melakukan penyadapan.

Langkah penyadapan yang dianggap pintu masuk untuk mengungkap korupsi seperti pada kasus Al Amin Nasution dan Artalita Suryani, itu sebenarnya karena ada penyadapan yang dilakukan KPK, begitu pula penyadapan terhadap Anggodo untuk mengungkap mafia peradilan, ketika itu harus dibatasi tentu cukup berisiko dengan badai perlawanan masyarakat.

Pengaturan penyadapan oleh lembaga penegak hukum dinilai sebagai langkah mundur dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menyusul wacana pemerintah untuk menerbitkan ketentuan tersebut. Justru penyadapan yang dilakukan selama ini berhasil membongkar kasus-kasus korupsi. (10)

— Kuat Puji Prayitno SH MHum, dosen Fakultas Hukum Unsoed
Wacana Suara Merdeka 3 Desember 2009