03 Desember 2009

» Home » Kompas » Ujian Sejarah Jilid II

Ujian Sejarah Jilid II

Di Indonesia, keadilan hanya terlihat di atas awan. Kita sering terbuai untuk meraihnya dari ketinggian, tetapi lupa menanamnya di bumi kenyataan.
Di negeri ini kita sering merasa sudah bekerja keras membangun pemerintahan yang bersih tanpa korupsi. Namun, itu membutuhkan pemimpin negara yang berani. Hampir mustahil suatu bangsa dapat menjumpai keadilan jika terdiam melihat kepemimpinan pemerintahan bergerak sebatas visi, pengetahuan, dan kompetensi tanpa keberanian. Akibatnya, mandat suci negara-hukum tak berdaya dalam menghadapi mafia dan hamba-hamba hukum yang korup.


Saat menerima laporan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah atau Tim 8, Presiden menyatakan kasus ini sebagai ujian sejarah. Juga saat menerima laporan Tim Pencari Fakta Kasus Munir, Presiden menyatakan kasus Munir sebagai ujian sejarah. Apakah kita telah melewati masa kegelapan menuju negeri demokratis, menghormati hukum dan hak asasi manusia?
Ujian sejarah
Benar, ini ujian sejarah, yang tidak berhenti pada penerimaan laporan, tetapi pada tindakan. Pada kasus Bibit-Chandra ditemukan ketidakwajaran dalam proses hukum, tetapi justru terus muncul keraguan. Bahkan, Presiden belum berani memastikan ada sanksi bagi pejabat yang bertanggung jawab atas proses hukum yang dipaksakan. Hal ini mengundang pertanyaan, adakah hubungan kepentingan kuasa dalam rekayasa ini sehingga Presiden ragu memberikan sanksi? Apakah tak percaya kepada tim yang dibentuknya sendiri?
Presiden pernah meminta pihak-pihak yang disebut dalam rekaman Anggodo harus nonaktif dan mengancam untuk menuntut siapa pun yang mencatut namanya. Namun, kenyataannya?
Juga belum terlihat keberanian strategis untuk reformasi institusional dan reposisi personel. Memberantas makelar kasus di semua lembaga penegak hukum tak cukup hanya membuka pengaduan dan gugus tugas baru di bawah kepresidenan, tetapi bagaimana memastikan tindak lanjut atas laporan berbagai lembaga pemantau korupsi, terutama yang dibentuk konstitusi dan undang-undang, seperti Komisi Yudisial, kejaksaan, dan kepolisian. Tanpa tindakan nyata, pembenahan aneka lembaga hukum, termasuk organisasi profesi advokat, hanya menjadi ilusi.
Ujian terdekat
Ujian terdekat adalah apakah Presiden akan mendorong penuntasan kasus korupsi Masaro, Sistem Komunikasi Radio Terpadu Departemen Kehutanan, dan proses hukum atas Kepala Bareskrim Susno Duadji dan Lucas terkait dana Bank Century. Apalagi, perhatian publik kini terfokus pada masalah Bank Century, penyebab polemik cicak-buaya. Bukan sekadar pencairan dana Boedi Sampoerna, tetapi kebijakan pemerintah kepada Bank Century.
Pengambilalihan bank ini pun menjadi skandal. Mengapa?
Pertama, Bank Century merupakan bank kecil. Adanya dampak sistemik seperti disampaikan Bank Indonesia sebenarnya diragukan karena hanya segelintir orang yang kehilangan uang dari penjaminan simpanan LPS hingga Rp 2 miliar.
Kedua, lemahnya pengawasan Bank Indonesia. Audit BPK 2005-2008 menunjukkan Bank Century sering bermasalah. Suntikan dana menjadi skandal karena dana LPS itu sebenarnya untuk mengisi kas Bank Century yang kosong setelah diambil pemilik bank. Andai itu tak terjadi, tak perlu diambil alih karena sudah mendapat pinjaman fasilitas pendanaan jangka pendek Bank Indonesia.
Ketiga, dugaan dana Bank Century untuk kepentingan politik. Ini semua harus dibuktikan kebenarannya.
Apa yang harus dilakukan?
Sebuah negara hukum pasti memuliakan kesetaraan bagi setiap warganya di muka hukum. Tak boleh ada yang kebal hukum. Supremasi hukum harus ditegakkan. Tak ada intervensi. Namun, negara kita belum menjadi negara hukum, masih dalam keadaan tak normal. Hukum berjalan pincang, direkayasa, dikorupsi, dan digembosi oleh hamba-hamba hukum sendiri. Ini adalah ujian berat sejarah.
Diharapkan, Presiden mendorong KPK dan PPATK mengusut penyalahgunaan keuangan negara pada kasus Bank Century. Fokus pertama diarahkan untuk menguji kredibilitas kebijakan dana talangan.
Fokus kedua, menguji apakah dana talangan itu digunakan sesuai kaidah keuangan negara, untuk kepentingan umum atau pribadi/golongan. Sejauh mana uang itu digunakan secara tak bertanggung jawab oleh pihak- pihak luar, Bank Century, aparat hukum, dan kelompok tertentu?
Jika dugaan publik benar, skandal Bank Century adalah contoh bagaimana sistem keuangan kita tak belajar dari pengalaman krisis 1997. Bank bisa ”dirampok” pemiliknya lalu dengan mudah negara mengucurkan dana untuk menalangi kewajiban bank.
Ini semua harus dituntaskan. Kepercayaan dunia kini dipertaruhkan. Kegagalan untuk menyelesaikan akan mempermalukan Indonesia di mata dunia, khususnya dalam melawan korupsi. Yang lebih tidak kita inginkan adalah kegagalan mengatasi ujian sejarah kali ini bisa membawa republik menuju kebangkrutan.
Usman HamidKoordinator Kontras
Opini Kompas 3 Desember 2009