Khaeron Sirin
(Dosen Institut Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran (PTIQ), Jakarta)
Lebih dari dua ratus ilmuwan dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi Islam se-Indonesia turut ambil bagian dalam The Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-9 yang bertempat di Surakarta, 2-5 November 2009. Perhelatan akbar yang mengambil tema ''Merumuskan Kembali Kajian Keislaman di Indonesia'' itu juga dihadiri oleh guru besar dari perwakilan perguruan tinggi di Timur Tengah, seperti Lebanon dan Mesir.
Sesuai temanya, ACIS kali ini diharapkan bisa merumuskan kembali kajian keislaman yang tepat dan sesuai dengan situasi bangsa saat ini, sekaligus bisa menjadi momen kebangkitan kajian Islam dalam menemukan formulasinya yang tepat bagi pengembangan keilmuan, sehingga bisa memberikan kontribusi nyata dalam memecahkan problem-problem kemanusiaan, khususnya di Indonesia.
Beberapa Tantangan
Selama berlangsungnya ACIS ke-9, setidaknya ada tiga kenyataan atau persoalan besar yang mengemuka terkait dengan kajian Islam (Islamic studies) di Indonesia. Pertama, kurang jelasnya hubungan kajian Islam dengan persoalan kemanusiaan. Hal ini disebabkan kajian Islam selama ini hanya memfokuskan pada aspek kognitif-doktrinal (pengetahuan-doktrin), dan sangat kurang memberikan perhatian pada aspek afektif (sikap) dan psikomotorik (perilaku). Terlepasnya hubungan kajian Islam dengan persoalan kemanusiaan dan kebangsaan dalam rentang waktu yang begitu lama menyebabkan hilangnya arti penting dari kajian Islam itu sendiri sehingga muncul anggapan bahwa kajian Islam di Indonesia kurang berhasil dalam misinya untuk menyelesaikan persoalan kemanusiaan.
Kedua, terjadinya penurunan arti penting dan kualitas dari kajian Islam itu sendiri. Di tengah masyarakat kita, telah berkembang anggapan bahwa kajian Islam adalah hal yang mudah. Mereka beranggapan bahwa untuk mempelajari Islam dapat dilakukan secara autodidak, berbeda dengan ilmu pengetahuan alam, seperti fisika, kimia, dan biologi. Dengan membaca buku-buku keislaman atau mendengarkan ceramah agama, orang dapat memahami ajaran Islam dengan baik. Persepsi seperti ini telah mengurangi animo masyarakat untuk mempelajari kajian Islam. Menganggap ringan kajian Islam pada akhirnya mengakibatkan mental umat Islam Indonesia mengalami kemunduran, karena hal itu telah memperlemah keinginan umat dan mengurangi minat masyarakat untuk mempelajari ajaran Islam karena manfaatnya tidak dapat dirasakan secara langsung, tidak seperti ilmu-ilmu yang lain (umum).
Ketiga, berubahnya kecenderungan masyarakat untuk lebih mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang bersifat realistis dan konkret ataupun yang bersifat 'commodity oriented' ketimbang mempejalari ilmu pengetahuan yang bersifat abstrak. Dengan demikian, kajian Islam yang lebih dipersepsikan sebagai ilmu pengetahuan yang abstrak menjadi sepi peminat dan terpinggirkan.
Ketiga, tantangan atau kenyataan tersebut di atas diakibatkan kajian Islam selama ini dalam sejarahnya lebih didominasi oleh pendekatan kajian normatif-doktrinal yang lebih mengedepankan dimensi legal formal Islam (fikih) dan teologis. Hal ini memunculkan kecenderungan kajian Islam yang sangat skriptual--yang menurut Azyumardi Azra--sebagai akibat dominannya pengaruh paradigma kajian Islam yang dikembangkan di sejumlah perguruan tinggi Islam Timur Tengah. Akibatnya, kajian Islam cenderung stagnan dan lebih merupakan refleksi romantisme akan masa kejayaan umat Islam masa lalu, seperti terjadi pada abad pertengahan. Lebih dari itu, kajian Islam cenderung menerapkan pendekatan apologetik untuk menjustifikasi kebenaran Islam atas agama-agama lain--yang terkadang--dengan menafikan dinamika sosial dan kemanusiaan masa kini.
Mengubah Paradigma
Dari pemetaan problem paradigmatik kajian Islam tersebut, kajian Islam saat ini hendaknya melanjutkan apa yang pernah dirintis di awal dekade 1970-an, yaitu lebih mengarah pada kajian Islam yang terkait dengan konteksnya, bersifat sosiokultural, dan menggunakan pendekatan heterogenitas. Pendekatan semacam ini akan memberikan kontribusi terhadap diterapkannya metode pengkajian Islam yang lebih empiris dan akademis, tanpa menegasikan kenyataan Islam sebagai sistem keyakinan dan agama. Paradigma truth claim dalam konteks kemanusiaan secara bertahap harus diubah dan digantikan oleh paradigma berpikir yang lebih toleran, inklusif, dan pluralistik.
Untuk itulah, kajian Islam ke depan hendaknya memerhatikan rumusan-rumusan sebagai berikut: Pertama, mengubah paradigma dikotomi keilmuan yang--oleh Imam Suprayogo, rektor UIN Malang--digambarkan sebagai filsafat 'pohon ilmu', di mana tauhid adalah akarnya, Alquran dan Sunah adalah pohonnya, dan berbagai disiplin ilmu adalah ranting-rantingnya, sehingga kajian Islam tidak lagi sekadar mengkaji ilmu-ilmu agama, tapi juga mencakup ilmu-ilmu umum. Kedua, membenahi metodologi kajian Islam, baik yang menyentuh persoalan normatif-teologis maupun yang bersifat empiris. Dalam hal ini, pengembangan kajian Islam harus sejalan dengan realitas kehidupan umat Islam dan tradisi keislaman, prinsip-prinsip universal keilmuan, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Ketiga, pengembangan metodologi kajian Islam harus diperkuat dengan berbagai disiplin ilmu sosial, budaya, dan humaniora yang relevan, seperti filsafat, sejarah, hermeneutika, bahasa, geografi, dan historiografi.
Peran Perguruan Tinggi
Bagaimanapun, kajian Islam di Indonesia sebenarnya bukanlah tumbuh dan berkembang dari realitas historis yang kosong; ia hadir secara kronologis dalam konteks ruang dan waktu yang jelas, sebagai respons sejarah atas sejumlah persoalan keagamaan yang dialami umat Islam di negeri ini. Sekalipun Indonesia memiliki kedekatan hubungan intelektual dengan tradisi keagamaan di Arab, tidak berarti bahwa Islam Indonesia sekadar replika Islam Arab. Proses transmisi keislaman dari tradisi intelektual Arab ke tradisi intelektual Indonesia berlangsung dalam pola yang sangat dinamis, unik, dan kompleks, sehingga wajah Islam yang berkembang di Indonesia dalam banyak hal bisa berbeda dari wajah Islam Timur Tengah.
Hal ini, misalnya, terbukti dengan adanya proses belajar mengajar yang berlangsung di lembaga pesantren yang mengambil bentuk dan modus operandi cukup unik dan tidak ditemui padanannya di daratan Arab (Timur Tengah). Keunikan lain yang bisa dijumpai dari fenomena atau tradisi pesantren adalah digunakannya bahasa "Arab pegon" (Arab Jawi), yakni gabungan antara bahasa Jawa yang ditulis dengan karakter huruf Arab sebagai sarana memahami sejumlah teks-teks kitab kuning yang berbahasa Arab.
Bahkan dalam forum ACIS lalu, muncul ide di kalangan pembuat kebijakan perguruan tinggi Islam untuk mengembalikan semangat kajian Islam yang lebih komprehensif. Disiplin keilmuan yang dicakup Perguruan Tinggi Islam, semisal IAIN dan UIN, tidak melulu meliputi disiplin ilmu agama semata, tetapi juga ilmu-ilmu umum yang bernuansa keislaman, seperti psikologi, komunikasi, sosiologi, dan antropologi.
Di sinilah, pentingnya peran perguruan tinggi dalam mentransformasikan kajian Islam yang lebih kontekstual sehingga kajian Islam bisa berkembang ke arah yang lebih inklusif, holistik, komprehensif, dan universal yang didasari pemantapan paradigma dan epistemologi keilmuan. Di sini pula, perguruan tinggi Islam akan mampu menjadi pusat kajian Islam, sekaligus tempat bertemunya berbagai aliran pemikiran Islam. Karenanya, di forum ACIS inilah sebenarnya para ilmuwan dan akademisi dituntut bisa memberikan kontribusinya dalam merumuskan pengembangan dan pengelolaan kajian Islam di Indonesia.
Opini Republika 13 November 2009
15 November 2009
Tantangan Kajian Islam
Thank You!