Sorotan ini menyeruak di tengah gonjang-ganjing masyarakat yang melihat indikasi polisi melakukan kriminalisasi terhadap pejabat (nonaktif) KPK, Bibit dan Chandra. Terungkapnya rekaman pembicaraan antara Anggodo dengan beberapa petinggi polisi, yang diduga sebagai upaya rekayasa terhadap proses hukum, telah mengebiri dan mengaborsi alasan keberadaan cita-cita polisi. Inilah bukti nyata bahwa lembaga Polri perlu dibenahi.
Gonjang-ganjing polisi menjadi perdebatan penting saat terjadi konflik kepentingan antara masyarakat dan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik. Peristiwa itu tidak menggembirakan jika dilihat dari upaya membangun polisi profesional. Terlebih dalam upaya reformasi, memisahkan Polri dari struktur, kultur, dan konten TNI masih merupakan bayang-bayang ketimbang realitas.
Kini masyarakat sedang menggugat Polri. Gugatan itu patut mendapat perhatian serius jika Polri benar-benar hendak mereformasi diri dan tidak ingin dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Tanpa keseriusan dalam melaksanakan reformasi kelembagaan, citra dan reputasi Polri akan kian terpuruk. Citra polisi tidak bisa dicapai hanya dengan menunjukkan prestasi kerja saja, perubahan kelembagaan merupakan syarat utama.
Dari hari ke hari, tantangan yang dihadapi Polri kian bervariasi dan kompleks. Kultur polisi lama yang represif, arogan, eksklusif, dan merasa paling benar tidak layak lagi untuk digunakan. Norma-norma demokrasi, seperti kesetaraan, keadilan, independen, dan transparan, harus menjadi pedoman kerja Polri sehari-hari.
Reformasi Polri dimulai sejak dipisahkannya organisasi kepolisian dari lingkungan militer berdasarkan TAP MPR No VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Polri dari TNI dan TAP MPR No VII Tahun 2000 tentang Peran Polri dan TNI.
Selanjutnya Polri menyusun Buku Biru Reformasi Menuju Polri yang Profesional, yang berisi rumusan perubahan dari aspek struktural, meliputi perubahan posisi kepolisian dalam ketatanegaraan, bentuk organisasi, susunan, dan kedudukan. Aspek instrumental meliputi perubahan filosofi, doktrin, fungsi, kewenangan, dan kompetensi. Aspek kultural meliputi perubahan sistem perekrutan, pendidikan, anggaran, kepegawaian, manajemen, dan operasional kepolisian.
Dalam proses reformasi, elite politik telah mendudukkan otonomi kepolisian secara luas, seperti menempatkan Polri di bawah Presiden, struktur kepolisian terpusat, mandiri dalam sistem penyidikan tindak pidana, mandiri dalam sistem kepegawaian, mandiri dalam sistem anggaran. Hal ini mencerminkan Polri sebagai bagian rezim kekuasaan yang menjauhkan diri dari kapasitas kontrol masyarakat.
Reformasi Polri seharusnya ditentukan bagaimana meletakkan lembaga kepolisian dalam negara demokrasi yang berbasis kekuatan masyarakat sipil. Secara normatif, fungsi kepolisian dapat ditetapkan sebagai: (1) penegak hukum, (2) penjaga ketertiban dan keamanan, dan (3) pelayan publik. Ketiga fungsi itu belum menggambarkan sesuatu, kecuali wilayah kerja yang perlu diisi berbagai konsep dalam konteks fungsionalisasi. Melihat kiprah elite politik itu, ada kekhawatiran ketiga fungsi kepolisian tersebut terisi oleh aspek-aspek yang tidak terkait upaya membangun kepolisian yang profesional.
Pengamatan ini tidak bermaksud untuk tidak menghargai kemajuan dan upaya yang telah dilakukan Polri dalam memperbaiki lembaga, tetapi upaya itu menunjukkan kemandirian polisi belum cukup saat bekerja berdasarkan konsepsi otonomi dan konsepsi jati diri dalam ruang negara yang masih melibatkan polisi sebagai instrumen kekuasaan.
Konsep reformasi Polri sendiri sebenarnya masih ada ketidakjelasan dalam: pertama, paradigma Polri terkait sistem keamanan dalam negeri selaras Undang-Undang Pertahanan Nomor 3 Tahun 2002, UU Pemerintahan No 32/ 2004, dan UU TNI No 34/2004.
Kedua, netralitas Polri dalam posisinya di bawah Presiden selaku kepala pemerintahan.
Ketiga, hubungan secara sistemik antara Polri dan PPNS, serta satuan-satuan pengamanan lainnya.
Keempat, bisnis polisi melalui yayasan Polri.
Kelima, lembaga eksternal pengawas aktivitas anggota Polri dalam melaksanakan tugas sehari-hari.
Implementasi reformasi Polri juga cenderung bersifat konvensional. Hal ini dapat dilihat dari: pertama, pelaksanaannya dari atas ke bawah, di mana satuan wilayah sekadar sebagai pelaksana kebijakan.
Kedua, tidak disertai ruang bagi satuan bawah untuk melakukan inovasi.
Ketiga, tidak disertai penghargaan dan hukuman.
Keempat, tidak disertai jaminan bahwa setiap pergantian pimpinan tidak akan terjadi perubahan kebijakan yang ditetapkan oleh pemimpin sebelumnya.
Dari gambaran singkat itu, tindak lanjut pemisahan Polri dari TNI tampak masih tidak jelas. Kebutuhan politik praktis seperti mengabaikan aspek mendasar dalam melakukan pembaruan lembaga kepolisian secara keseluruhan. Pemisahan Polri dari TNI yang semula diharapkan mampu mengubah polisi yang militeristik menjadi polisi sipil yang independen tampak menjadi paradoks dengan realitas politik. Bahkan, ada kekhawatiran pemisahan itu menjadi pintu masuk bagi penampilan politis kekuasaan transisi dari krisis legitimasi sosial yang hingga kini masih dihadapi (Widjojanto, 1999).
Dari uraian itu, dalam reformasi Polri sebenarnya tidak sekadar menyangkut masalah teknis, tetapi juga menyangkut masalah strategis, yaitu (1) mendudukkan fungsionalisasi kepolisian dalam sistem ketatanegaraan, (2) membenahi dan mengembangkan profesionalisme kepolisian, dan (3) membangun lembaga independen yang kuat untuk mengawasi pelaksanaan tugas polisi sehari-hari di seluruh wilayah tugasnya.
Tanpa melakukan perubahan mendasar dengan dukungan pemerintah, Polri, dan masyarakat, reformasi Polri dapat diprediksi akan berjalan di tempat.
Opini Kompas 16 November 2009