Novel Ali menulis artikel di Harian Suara Merdeka (Kamis, 12/11/2009) yang menekankan bahwa penegakan hukum tidak boleh berdasarkan tekanan publik karena yang dituntut adalah kepastian (hukum). Menurutnya antara opini publik dan kepastian hukum adalah dua hal berbeda sehingga harus dipisahkan. Dan, mengingat dalam sebuah proses hukum adalah kepastian, maka opini publik seperti yang terjadi pada saat ini harus dianggap di luar kerangka penegakan hukum.
Novel Ali, barangkali hanya ingin menguatkan (semoga saya salah dalam hal ini) apa yang selalu ditekankan Kadiv Humas Mabes Polri bahwa tidak ada tekanan publik khususnya dalam penanganan kasus Chandra M Hamzah dan Bibit Somad Riyanto. Sebab proses hukum menurutnya didasarkan fakta. Namun, di sisi lain tindakan penangguhan penanganan tersebut diakuinya dalam rangka mengakomodasi suara (tekanan?) publik.
Secara normatif memang tidak ada salahnya dengan pendapat Novel Ali tersebut. Namun, dalam penegakan hukum secara das Sein sesungguhnya opini publik tidak sama sekali dikesampingkan.
Lihatlah pemberian hak kepada Kejaksaan Agung untuk menghentikan penuntutan selain karena bukti yang tidak cukup ketika sebuah kasus ternyata berlawanan dengan rasa keadilan masyarakat luas atau kepentingan umum. Berdasarkan hal itu, maka opini untuk menghilangkan sama sekali dalam opini publik hanya wacana yang dihembuskan oleh orang-orang yang dalam kasus ini berada di belakang Pemerintah.
Tidak hanya di level Kejaksaan, di level pengadilan bahkan secara praktis meskipun tidak banyak, namun dapat ditemukan. Saya kemukakan sebuah contoh. Ketika belum lama berlalu konflik antaretnis di sebuah daerah di Kalimantan terjadi pembunuhan.
Korbannya adalah etnis yang ketika kerusuhan berlangsung dalam rangka mencari pembenaran yang terstigmakan sedemikian jeleknya. Ketika si pembunuh diajukan ke pengadilan masyarakat seetnis dengannya melakukan tekanan, termasuk ketika sampai divonis bersalah orang-orang yang seetnis dengan korban akan diserbu.
Dan, entah karena adanya tekanan itu atau (semoga memang karena buktinya tidak kuat) si pembunuh bebas secara mutlak dan tidak ada upaya jaksa untuk mengajukan banding. Padahal mantan terdakwa tersebut jelas membunuh.
Adanya fakta itu sebenarnya menguatkan bahwa opini masyarakat sebenarnya tidak pernah bisa dihilangkan sama sekali dari penegakan hukum meskipun tidak semua opini bisa dijadikan landasan penegakan.
Dalam kajian politik antara rumor dan fakta adalah dua hal yang sama menariknya untuk dikaji. Jika rumor tinggi biasanya kepastikan hukumnya akan rendah. Sebaliknya jika rumor rendah biasanya kepastikan hukumnya tinggi. Dan, dalam konteks kasus yang sekarang, rumor sudah begitu tinggi, karena memang rasa ketidakpercayaan kepada Polisi dan Jaksa sudah begitu rendahnya.
Akibatnya, sekuat apa pun upaya Polri untuk melakukan serangan balik dianggap oleh masyarakat hanya dianggap pembelaan diri samata bukan dalam rangka menunjukkan profesionalitas dan integritasnya (amanah) karena sesuai rekaman yang diputar di Mahkamah Konsitusi jelas menunjukkan kedua sifat itu ketika menjadi tonggah tinggi atau rendahnya kepastian hukum begitu jelas terjadi.
Jika menurut Novel Ali harus bertumpu kepada kepastian hukum, bagaimana bisa itu diterima oleh publik orang-orang yang semestinya dengan penuh integritas dan profesionalitas mengawal kepastikan hukum itu justru mengaburkannya. Jadi, jangan menyalahkan kenapa opini publik begitu kuat sehingga mengesankan kepastian hukum dikesampingkan.
Sebenarnya, kepercayaan kepada masyarakat terhadap kepastian hukum akan cepat pulih jika dalam menghadapi kasus saat ini pihak Polri khususnya bertindak cepat dengan menunjukkan sikap integritas dan profesionalitasnya dengan salah satunya memberhentikan Susno Duaji.
Namun, upaya itu sepertinya tidak ada. Bahkan, Presiden yang merupakan pemegang kekuasaan hukum administrasi tertinggi diam seribu bahasa dan melemparkan tanggung jawab kepada Tim 8. Ini menunjukkan bahwa upaya untuk mengembalikan secara cepat upaya penegakan kepastian hukum memang tidak sepenuh hati, karena yang mengemuka justru kepentingan politik pihak tertentu yang mungkin bisa terseret oleh kasus ini.
Peran Kompolnas
Selain masyarakat berharap ketegasan Presiden dan jiwa besar pejabat Polri, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bisa menjadi tumpuan harapan. Namun, lembaga ini sepertinya tidak pernah terdengar. Bahkan, menghadapi penangkapan Syeh Puji yang dinilai begitu represif lembaga itu meskipun sudah mendapatkan laporan, namun tidak terdengar sikapnya. Atau, bisa jadi telah melakukan, namun tidak didengar oleh petinggi Poliri.
Berkaitan dengan sikap acuhnya petinggi Polri (Kapolri) khususnya berkaitan dengan kasus Bibit-Chandra dan dugaan keterlibatan Susno Duaji pernah dikemukan oleh seorang anggota Kompolnas dalam wawancara dengan sebuah harian di Ibu Kota Jakarta. Ia telah meminta agar Susno Duaji diberhentikan karena menurut dugaannya bersangkutan tersangkut. Namun, Kapolri yang terkenal dengan inisial BHD itu tidak mendengarkan sarannya.
Ini menunjukkan bahwa Kompolnas oleh Polri dianggap sebagai lembaga pelengkap saja, karena Undang-Undang no 2 tahun 2002 mengamanatkannya.
Padahal Undang-Undang no 2 tahun 2002 tentang Polri dan Perpres No 17 tahun 2005 tentang Kompolnas telah memberikan tugas kepada institusi itu sebagai berikut: (1) Membantu Presiden menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia, (2) memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
Di samping itu lembaga itu juga mempunyai kewenang (pertama) mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Polri, pengembangan sumber daya manusia Polri, dan pengembangan sarana dan prasarana Polri. Kedua, memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Polri yang profesional dan mandiri. Ketiga, menerima saran dan keluhan masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikan kepada Presiden.
Keluhan adalah pengaduan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang dugaan korupsi, pelayanan yang buruk, perlakuan diskriminasi dan penggunaan diskresi yang keliru.
Jika menyangkut kewenangan terkait dengan internal Polri dan kaitannya dengan Presiden paling tidak Kompolnas harus terlihat di poin tiga tersebut. Dan, dalam poin tiga itu jelas Kompolnas harus aktif dalam rangka menjadikan Polri sebagai penegak hukum yang profesional dan amanah. Namun, dalam hal ini pun tidak terdengar. Bisa jadi wewenang itu dijalankan, namun seperti dalam kasus sebelumnya juga diabaikan.
Kita memang heran jika lembaga seperti Kompolnas bisa diabaikan sarannya yang menurut peraturan ia juga pembantu Presiden. Dengan kata lain, apa yang disarankan atas otoritas Presiden dan kepala negara semestinya mencermati hal itu. Namun, di sisi lain saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Polri yang telah mengabaikan saran anggota Kompolnas. Sebab lembaga itu meskipun disebutkan di bawah Presiden, tetapi secara psikologis di bawah Polri. Lihatlah cara penjaringan calon anggotanya selain yang dijabat secara ex officio oleh Menkopolhukam, Menkumham, dan Mendagri.
Di samping, mereka yang terjaring juga berasal dari anggota Polri yang sudah pensiun. Melihat pola penjaringan seperti itu, sangat logis jika kemudian orang-orang di luar yang secara ex officio itu tidak bisa berbuat banyak.
Sementara mereka yang karena jabatannya sudah sangat sibuk dengan tugas jabatannya sendiri. Keadaan ini perlu direnungkan oleh semua pihak termasuk oleh anggota Kompolnas sendiri. Jika sarannya selama ini tidak banyak dihiraukan, maka ajukan saran kepada Presiden guna lebih memperkuat perannya. Atau, jika dianggap sebagai pelengkap saja, berhenti saja. Itu lebih terhormat daripada menambah beban anggaran negara. (80)
— Dr Mahmudi Asyari, pemerhati masalah sosial dan politik.
Wacana Suara Merdeka 16 November 2009