15 November 2009

» Home » Kedaulatan Rakyat » Rendra dan Negeri Koruptor

Rendra dan Negeri Koruptor

Jumat Kliwon, 13 November 2009 genap 100 hari meninggalnya penyair, dramawan, budayawan kondang WS Rendra menghadap Sang Khalik. Seluruh hidupnya diabdikan untuk seni dan budaya Indonesia. Tanggal tersebut berdekatan dengan Hari Pahlawan, dan WS Rendra, kata Putu Wijaya adalah pahlawan orang miskin karena gigih memperjuangkan hak-hak kaum tertindas dan fakir miskin. Pada masa Orde Lama, ia dikejar-kejar Lekra dan pada masa Orde Baru dikejar-kejar aparat penguasa. Ia tetap tegar dan konsisten. Berkali-kali ia masuk sel tahanan karena daya kritisnya yang dituangkan dalam karya-karyanya  dinilai mengancam penguasa.


Herbert Marcuse dalam bukunya The Aesthetic Dimension (1979: 32-3) mengatakan, seni (termasuk sastra) tidak dapat mengubah dunia, tetapi seni dapat menyumbang dengan mengubah kesadaran dan menggerakkan manusia yang dapat mengubah dunia. Pandangan tersebut menunjukkan bahwa yang dapat melakukan perubahan adalah manusia. Seni merupakan salah satu bidang kehidupan yang berpotensi menggerakkan manusia untuk melakukan perubahan. Barangkali itulah yang dirasa mengancam penguasa saat itu.
Seni (sastra) merupakan produk kreatif manusia, di samping humor dan diskaveri (Koesler, 1964). Karya seni dihasilkan melalui kecanggihan imaginasi seniman yang memiliki daya simpati, kekaguman, dan ketragisan. Imajinasi yang jujur, penuh simpati, kekaguman atau ketragisan tersebut menghasilkan karya seni yang berjiwa. Seni dengan karakter tersebut memiliki daya dan sanggup mengubah, menggerakkan dan menjiwai manusia untuk melakukan perubahan. Semuanya dimungkinkan terjadi jika karya seni tersebut dinikmati dan sampai kepada masyarakat. Pesan seni (khususnya sastra) akan sampai kepada masyarakat jika dibaca. Dalam masyarakat dengan tradisi lisan dapat disampaikan dengan cara dibacakan atau diadaptasi menjadi seni pertunjukan yang memadukan unsur verbal dan nonverbal.
Kesaksian
Rendra merupakan salah satu seniman yang memiliki kesanggupan mengolah kata menjadi berjiwa. Secara futuristik Rendra menyaksikan situasi yang terjadi pada awal Orde Baru dalam puisi berjudul ‘Kesaksian Tahun 1967’.
//Dunia yang akan kita bina adalah dunia baja/ kaca dan tambang-tambang yang menderu/Bumi bakal tidak lagi perawan/ tergarap dan terbuka/ sebagai lonte yang merdeka/ Mimpi yang kita kejar, mimpi platina berkilatan/Dunia yang kita injak, dunia kemelaratan/ Keadaan yang menyekap kita, rahang serigala yang menganga// 
Semua tampaknya terbukti. Pembangunan (modernisasi) menghasilkan aneka bangunan dengan kerangka baja dan ruang-ruang memamerkan isinya di balik kaca. Tambang-tambang menderu (mesin dan permasalahannya). Hal tersebut mengingatkan novel Ramadhan KH ‘Ladang Perminus’ yang menceritakan korupsi di perusahaan tambang minyak yang namanya Perminus. Ironisnya sang koruptor justru dimakamkan di Taman Makam Pahlawan yang berarti dihargai sebagai seorang pahlawan. Oleh karena itu, ketika diadaptasi menjadi pertunjukan drama, pada akhir pertunjukan dikatakan “Di negeri ini, hanya di negeri ini, seorang koruptor bisa menjadi pahlawan”. Akankah korupsi di bidang pertambangan sampai di pengadilan?
Mengejar mimpi platina yang berkilatan tampak pada simbol sukses yang dalam bentuk fasilitas seperti mobil mewah, rumah mewah, produk asing, dan wisata ke luar negeri. Meskipun demikian kaki tetap menginjak dunia kemelaratan, seperti yang ditampakkan pada data BPS per Maret 2009 berjumlah 14, 15 persen atau 32,53 juta jiwa (Bisnis.vivanews.com, 17/10/09). Jumlah tersebut jika baris berjajar ke samping 20 orang kurang lebih sepanjang Jakarta-Surabaya. 
Hakikat manusia kerja dikemukakan oleh Rendra dalam puisi ‘Sajak Seorang Tua untuk Isterinya’ //Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh./ Hidup adalah untuk mengolah hidup,/ bekerja membalik tanah,/ memasuki rahasia langit dan samodra,/ serta mencipta dan mengukir dunia./ Kita menyandang tugas/kerna tugas adalah tugas/ Bukannya demi sorga atau neraka./ Tetapi demi kehormatan seorang manusia/
Hidup merupakan anugerah istimewa dari Tuhan. Oleh karena itu, Rendra memandang tidak pada tempatnya jika hanya digunakan untuk mengeluh dan mengaduh yang akan menguras energi dan tidak membawa kemajuan. Hidup adalah untuk olah fisik melalui kerja membalik tanah, olah pikir untuk memasuki rahasia langit dan samodra, dan olah rasa keindahan dengan mencipta dan mengukir dunia.
Kerja sebagai hak dan kewajiban yang melekat pada manusia. Hal tersebut dilakukan demi kehormatan seorang manusia. Larik puisi tersebut mengingatkan pada kebijaksanaan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang oleh Pieter Aman dikatakan bertentangan dan tidak menghargai hakikat manusia sebagai makhluk kerja. Pemda Bantul dengan cerdas mengubahnya menjadi bantuan langsung investasi. Sebagai warga negara dan warga dunia, marilah sadar situasi dan menghadapinya secara cerdas dan realistis. Keterpurukan, ketertinggalan, korupsi, ketidakadilan, kemiskinan, kesulitan, penindasan, tidak cukup dihadapi dengan mengeluh dan mengaduh. Memanfaatkan daya fisik, daya pikir, dan daya rasa untuk mengatasi! Kita memilikinya. Lakukan!  q - g
*) Dosen FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa  (UST) Yogya, sedang menempuh S3 Linguistik di UNS.

Kolom Kedaulatan Rakyat 16 November 2009