15 November 2009

» Home » Kedaulatan Rakyat » Mengkritisi ’ Bahasa Jawa Day’ di Sekolah

Mengkritisi ’ Bahasa Jawa Day’ di Sekolah

Setelah beberapa bulan lalu Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X secara resmi meluncurkan Hari Berbahasa Jawa atau ‘Bahasa Jawa Day’ bagi semua aparat pemerintah di lingkungan pemprop dan pemkab/pemkot di seluruh DIY, kini muncul usulan agar Bahasa Jawa Day (BJD) juga diberlakukan di sekolah-sekolah, sejak SD - SLTA, di seluruh DIY. Tujuannya, sebagaimana dikemukakan Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta, sebagai salah satu pihak pengusul, agar generasi muda semakin terbiasa menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari. 

Dengan usulan itu, diharapkan nantinya tidak hanya aparat di jajaran pemprop dan  pemkab/ pemkot seluruh DIY saja yang menerapkan BJD, yakni setiap hari Sabtu, melainkan juga seluruh sekolah di DIY. Bila usulan itu diterima, nantinya setiap hari sekali dalam seminggu, para guru, karyawan sekolah dan semua siswa sekolah harus berbahasa Jawa di lingkungan sekolah masing-masing. Tentu saja bahasa Jawa itu hanya digunakan di luar jam pelajaran. Penyampaian materi pelajaran masih menggunakan bahasa yang biasa digunakan, yakni bahasa Indonesia. Hanya pelajaran bahasa daerah saja yang disampaikan dengan menggunakan bahasa Jawa.
Munculnya ide untuk menerapkan BJD di sekolah sejatinya bukan sesuatu yang baru. Di satu dua SMP negeri di wilayah eks Karesidenan Surakarta (Kab Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri, Klaten, Boyolali, Kota Surakarta), sudah ditemui penerapan BJD. Bahkan penerapan BJD di satu dua SMP negeri di wilayah itu sudah dilangsungkan sebelum Gubernur DIY meluncurkan BJD di lingkugan instansi pemerintah DIY. Oleh karena itu, kalau saat ini sejumlah pejuang bahasa Jawa menginginkan adanya BJD di sekolah-sekolah seluruh DIY, tentunya hal tsb merupakan sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja. Masalahnya sekarang, efektifkah langkah itu untuk menggairahkan kembali pemakaian bahasa Jawa di kalangan generasi muda? Kalau memang bisa efektif, mampukah kebijakan itu sedikit banyak memperbaiki moralitas dan cara beretika generasi muda kita? Jangan-jangan kegiatan itu justru bersifat kontraproduktif: maunya mendapatkan sesuatu yang baik, tetapi justru menyebabkan adanya banyak kehilangan dan ketertinggalan.
Perjalanan Panjang
Munculnya BJD merupakan salah satu tonggak dari perjalanan panjang usaha pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa. Bermula dari Kongres Bahasa Jawa (KBJ) I 1991 di Semarang yang antara lain merekomendasikan pemberlakuan kembali pengajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah di seluruh Jateng, DIY dan Jatim. Sampai KBJ II 1996 di Malang, rekomendasi itu belum diimplementasikan di lapangan. Demikian pula sampai menjelang KBJ III 2001 di Yogyakarta, rekomendasi itu bak rekomendasi tak bertaring. Ini terjadi karena rekomendasi itu tak disertai tindakan nyata di lapangan berupa lobi-lobi ke berbagai pihak, baik kalangan eksekutif maupun legislatif, untuk mendukung pengajaran bahasa Jawa di sekolah dengan dukungan konsep dan anggaran memadai. Penyebab lainnya, suasana sosial politik pasca 1991 sampai menjelang 2001, memang kurang mendukung. Secara umum masyarakat masih dalam suasana Orde Baru, menjelang dan munculnya euforia reformasi.
Barulah pada pasca KBJ III di Yogyakarta (2001), rekomendasi untuk menggalakkan pengajaran bahasa Jawa, menemukan momentumnya. Seiring dengan munculnya kebebasan di berbagai bidang kehidupan, para pejuang bahasa Jawa pun tanpa rikuh (canggung) lagi melakukan lobi sana-sini untuk menggolkan pelaksanaan pengajaran bahasa Jawa.
Perlu Evaluasi
Walaupun usulan BJD dan ide adanya Bulan Bahasa Jawa itu sesuatu yang wajar dan sah, bukan berarti usulan dan ide itu layak untuk diterima begitu saja. Munculnya hal-hal baru yang cenderung berlebihan dalam usaha pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa justru dapat menimbulkan komentar atau anggapan negatif terhadap masyarakat Jawa. Untuk saat ini, yang paling pas untuk dilakukan adalah evaluasi secara saksama dan menyeluruh terhadap berbagai upaya pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa.q -o. (1326-2009).
*) K Sumarsih,  Peminat Masalah Sosial Budaya, Alumnus FIB UGM.

Opini Kedaulatan Rakyat 16 November 2009