15 November 2009

» Home » Republika » Infrastruktur Sebagai Panglima

Infrastruktur Sebagai Panglima

Marwan Ja'far
(Anggota Komisi V DPR RI)

Infrastruktur adalah primadona rembug nasional. Pembangunan infrastruktur menjadi prioritas utama dan pertama untuk pembangunan ekonomi lima tahun ke depan.

Semua pihak tentunya menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap kesungguhan pemerintah, yang menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai salah satu rekomendasi utama dari National Summit yang baru saja selesai pemerintah gelar pada 29-31 Oktober 2009.
Tampaknya, baik pemerintah maupun para pemangku kepentingan lain di Indonesia telah memiliki pemahaman yang sama bahwa hambatan utama dari pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya saing, dan pengurangan kemiskinan terletak di sektor infrastruktur.

Kita memang punya masalah serius dalam bidang infrastruktur. Rekomendasi National Summit sendiri dengan jelas menunjukkan bahwa infrastruktur adalah kunci investasi dan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Sebab, jika jalan, pelabuhan, bandara, dan telekomunikasi beres, dipastikan akan ada kelancaran barang dan jasa sehingga bisa meningkatkan industri.

Terlebih, secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi (Kwik Kian Gie, 2002). Sementara itu, dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah.

Peran infrastruktur demikian banyak dan besar bagi pertumbuhan ekonomi sebuah negara sehingga dalam sebuah studi yang dilakukan di Amerika Serikat (Aschauer, 1989 dan Munnell, 1990) menggambarkan bahwa tingkat pengembalian investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi mencapai 60 persen (Suyono Dikun, 2003).

Sedangkan, menurut studi dari World Bank (1994), elastisitas PDB (Produk Domestik Bruto) terhadap infrastruktur di suatu negara adalah berkisar antara 0,07 sampai dengan 0,44.

National Summit sendiri merupakan terobosan baru dari pemerintah untuk mendapatkan input dari stakeholders secara langsung untuk bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, serta hukum dan reformasi birokrasi, memperluas ownership dari program pemerintah, dan menyukseskan program pembangunan lima tahun ke depan.

Menurut hemat penulis, dari sekian banyak rekomendasi rembug nasional, infrastruktur adalah prioritas pertama yang harus segera diimplementasikan oleh pemerintah. Rekomendasi rembug nasional terkait sektor infrastruktur sendiri menyebutkan bahwa hal mendesak, yang diperlukan dalam pembangunan infrastruktur adalah (1) pentingnya perppu untuk pengadaan tanah, (2) pengelolaan dana BLU (badan layanan umum), (3) perbaikan skema kerja sama pendanaan pemerintah dan swasta, serta (4) pengadaan Lembaga Pembiayaan Infrastruktur.

Keempat rekomendasi tersebut dapat dibaca sebagai jalan keluar atas problem dan hambatan infrastruktur selama ini. Namun, penulis mencoba memberikan sejumlah catatan atas rekomendasi National Summit tersebut demi mewujudkan akselerasi pembangunan infrastruktur nasional.

Pertama, landasan hukum pengadaan dan pembebasan tanah. Harus diakui bahwa pembangunan infrastruktur yang menjadi fondasi utama untuk perbaikan iklim investasi di Indonesia, memerlukan terobosan landasan hukum. Hal ini dimaksudkan sebagai solusi pengatasan permasalahan klasik infrastruktur, yakni masalah kendala pengadaan tanah.

Langkah paling mendesak adalah dengan merevisi peraturan dan beberapa peraturan perundangan yang ada. Meskipun sudah lahir UU No 38/2004 tentang pengadaan lahan untuk kepentungan umum, Peraturan Pemerintah No 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, Peraturan Presiden No 36/2005 jo Perpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang juga telah dilengkapi Peraturan Kepala BPN No 3/2007, ataupun UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, namun proses pangadaan lahan untuk pembangunan infrastruktur masih berjalan lamban dan berlarut-larut.

Paparan di atas menggambarkan bahwa ketersediaan sejumlah produk hukum tersebut dirasakan masih belum mencukupi. Sehingga, keberadaan payung hukum setingkat undang-undang yang dapat memayungi kepentingan berbagai pihak secara adil dan bijaksana, menjadi mendesak diterbitkan.

Kemudian, hambatan lain proyek-proyek infrastruktur juga datang dari peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Banyak sekali perda yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi ataupun kabupaten/kota, yang bertabrakan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Artinya, masih banyaknya peraturan yang tidak sinkron tersebut menjadi kendala masuknya investor.

Karena itu, perpu pengadaan tanah yang direkomendasikan oleh National Summit dapat dinilai sebagai jawaban atas pelbagai permasalahan tersebut. Di sinilah perpu tentang pengadaan tanah harus diletakkan dalam kerangka perbaikan regulasi secara menyeluruh dari semua peraturan perundang-undangan yang ada, tentang pengadaan dan pemanfaatan tanah atau lahan.

Selain itu, masalah penyediaan lahan, kerapkali bukan sekadar adanya payung hukum semata, melainkan juga berbaur dengan unsur lain, seperti korupsi, percaloan, spekulan, dan profiteering yang tidak dapat dibenarkan secara moral dan hukum. Begitu rencana pembangunan prasarana publik muncul, tanah-tanah di lokasi proyek melambung tinggi dan segera berpindah tangan ke agen-agen atau calo tanah.

Karena itu, perpu pengadaan tanah juga harus diproyeksikan untuk menyelesaikan masalah-masalah seperti di atas. Perpu tersebut juga harus mampu mengatasi praktik profiteering dan spekulasi lahan, karena praktik ini jelas-jelas menghambat pembangunan infrastruktur untuk kepentingan masyarakat luas (kepentingan nasional).

Selain menerbitkan perpu pengadaan tanah, menurut penulis, sudah sepatutnya jika pemerintah segera mengajukan revisi Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) No 5 Tahun 1960.

Sebab, akar masalah pembebasan lahan ada di UU ini. Melalui revisi UU Agraria inilah, pemerintah dapat memasukkan usulan untuk memangkas prosedur pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan pembangunan infrastruktur, karena aturan yang ada sangat panjang dan berbelit. Prosedur pencabutan hak tanah untuk kepentingan negara harus dipersingkat, jika perlu mandatnya dialihkan kepada menteri atau lembaga khusus. Ini penting, sebab proses pembebasan lahan ini sudah menghambat pembangunan infrastruktur, terutama jalan tol dalam lima tahun terakhir.

Revisi UU PA juga akan memberikan jaminan kepada pemerintah bahwa di satu sisi pembebasan lahan tidak akan melanggar hak rakyat atas tanah, sementara di sisi lain pengadaan tanah juga tidak akan menghambat pembangunan infrastruktur secara keseluruhan.

Kedua, masalah pendanaan. Persoalan utama yang dihadapi bangsa Indonesia dalam pembangunan infrastruktur adalah pendanaan. Sampai hari ini, pendanaan menjadi hambatan terbesar yang dihadapi pemerintah dalam membangun proyek-proyek infrastruktur di dalam negeri.

Setiap tahunnya, diperlukan Rp 35 triliun untuk membangun dan memelihara jalan, sementara alokasi anggaran pemerintah hanya sebesar Rp 17 triliun.

Kondisi ini membuat pemerintah harus memilih proyek-proyek infrastruktur yang dinilai sangat prioritas keberadaannya. Menurut perhitungan Bappenas (2009), kebutuhan investasi infrastruktur periode 2010-2014 mencapai Rp 1.429 triliun.

Dari jumlah itu, pemerintah hanya bisa memenuhi 30 persen kebutuhan investasi, sedangkan 70 persen lainnya dari swasta. Nilai investasi itu diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi lima hingga tujuh persen per tahun.


Opini Republika 14 November 2009