15 November 2009

» Home » Republika » Implikasi Kasus Century Gate

Implikasi Kasus Century Gate

Farhat Abbas
(Advokat)

Bola api Bank Century (BC) kini terus menyeruak. Sebagian publik telanjur tahu dan memahami kemudian geram atas kasus ini. Sikap ini berangkat dari indikasi kuat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 4/2008, yang berkorelasi integral terhadap keluarnya dana talangan (bail out) sebesar Rp 6,76 triliun oleh pemerintah, melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Jika menganalisis perppu tersebut, kita akan bertanda tanya besar motif di balik penyelamatan BC. Secara terbuka dan simplistis, pemerintah menyampaikan dana talangan ke BC dalam kerangka mencegah efek domino krisis keuangan yang bisa berdampak sistemis. Berangkat dari data jumlah nasabah BC yang mencapai sekitar 65 ribu orang dengan total nilai Rp 2 miliar ke bawah mencapai Rp 5,2 triliun dan total dana pihak III sebesar Rp 9,5 triliun, hal ini menurut Menteri Keuangan dinilai berdampak sistemis. Karena itu, perlu penanganan segera.

Kita perlu mencatat, jumlah nasabah BC tersebut hanya berkisar 0,1 persen dari total nasabah perbankan di Indonesia. Sedangkan total dana pihak III sekitar Rp 9,5 triliun itu pun hanya sekitar 1 persen dari total simpanan masyarakat di seluruh bank Indonesia ini. Sementara, total asetnya yang hanya sekitar Rp 15 triliun itu pun tak lebih dari 0,75 persen dari total aset bank yang ada di Tanah Air ini. Secara komparatif pun kita jumpai ada sekitar 35 bank yang sedang 'sekarat'. Mengapa hanya BC yang diperhatikan. Diskriminatif dan mendorong publik kian bertanya-tanya: Ada kepentingan apa?

Dari data mikro BC itu, kita dapat menyimpulkan, BC sesungguhnya bank kecil. Konsekuensinya, ia mudah terkena dampak dari krisis keuangan global yang terjadi saat itu.

Tapi, apakah yang menimpa bank kecil BC sebagai bank gagal pasti akan berefek domino? Banyak pihak meragukan, apalagi kewajiban antarbanknya hanya sekitar Rp 750 miliar. Lebih dari itu, jumlah cabang BC tidak semasif Bank Mandiri, BRI, ataupun BCA. Dampak kegagalan BC terhadap arus transaksi masyarakat relatif minim.

Dari lemahnya landasan ukuran dampak sistemis itu, Perppu No 4/2008 tak hanya menjadikannya lemah, tapi mengandung persoalan serius.

Seperti yang kita saksikan, atas dasar perppu itu, pemerintah membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang keanggotaannya terdiri atas Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur Indonesia selaku anggota (Bab III Pasal 5). KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis (Pasal 6). Melalui lembaga KSSK dan karena BC mengajukan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) kepada Bank Indonesia, BC melalui LPS mendapatkan kucuran likuditas (Bab IV Pasal 11 Ayat 3). Yang fantastis adalah nilainya mencapai Rp 6,76 triliun, bukan Rp 1,3 triliun sebagaimana yang disepakati DPR karena landasannya untuk kepentingan nasabah, bukan pemilik bank.

Mengapa terjadi pembengkakan? Konon, atas nama rasio kecukupan modal 8 persen akan diperlukan suntikan Rp 2,66 triliun. Dan, LPS justru menyuntik Rp 2,78 triliun agar CAR-nya mencapai 10 persen. Jika memang itu yang menjadi pertimbangan, harusnya dana talangan itu Rp 4,01 triliun, bukan Rp 6,76 triliun. Lalu, untuk dan atas nama apa Rp 2,75 triliun itu? Di sisi lain, jika dana talangan itu juga demi kepentingan nasabah BC, mengapa sebagian besar nasabahnya masih menjerit, bahkan beberapa di antara mereka bunuh diri sebagai akibat keputusasaannya? Dua pertanyaan ini cukup pas untuk melihat sinyalemen yang tak beres. Pembengkakan itu mengandung indikasi konspiratif pengambil kebijakan (penguasa) dengan kepentingan pemilik bank.

Sementara itu, tercium juga sikap memprioritaskan nasabah kelas kakap, antara lain, Boedi Sampoerna yang menempatkan dananya di atas Rp 2 triliun. Yang perlu kita persoalkan adalah ketentuan LPS yang menjamin dana nasabah yang nilainya Rp 2 miliar ke bawah. Maka, tidaklah berlebihan jika sebagian publik mempertanyakan, mengapa dana Boedi Sampoerna yang lepas dari kewajiban LPS itu bisa cair? Ada apa di balik pemprioritasan itu? Adakah konsesi yang dipaksakan dan Sampoerna rela daripada raib atau hanya kembali sekitar 10 persen?

Kini, Perppu No 4/2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan telah terbit, ditetapkan di Jakarta pada 15 Oktober 2008, ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Yang menarik untuk kita cermati adalah Ketentuan Lain-lain (Bab VIII Pasal 29) yang menegaskan Menteri Keuangan, Gubernur Indonesia, dan atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Perppu itu tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan kewenangan sebagaimana Perppu ini.

Ketentuan ini merupakan upaya pembendungan secara hukum bagi kepentingan pribadi para pengambil kebijakan atas lahirnya Perppu No 4/2008. Penguasa dan tim perumusnya menyadari kontroversi yang bakal muncul. Bahkan, potensi gugatan bagi rezim Jilid II ini.

Namun, satu hal yang tak bisa dipandang sebelah mata adalah lahirnya perppu tersebut merupakan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan sempitnya, bukan rakyat. Itulah sebabnya, para perumus perppu terutama Gubernur BI (saat itu Boediono), Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan penanda tangan harus bertanggung jawab secara hukum. Perlu digugat lebih jauh. Persoalannya, Mahkamah Agung (MA) yang kini masih menangani perppu pun beberapa waktu lalu menilai bahwa Perppu No 4/2008 tentang KSSK tidak keliru.

Dengan mencermati peta kekuatan politik di parlemen dan pintu hukum yang sudah ditutup rapat itu, adakah celah bagi gerakan sosial-politik yang bersifat moral? Di atas kertas, pemerintahan saat ini punya legitimasi cukup kuat.

Perolehan suara di atas 60 persen dalam pemilu kepresidenan menjadi indikator bahwa masyarakat luas tidak akan mendukung gerakan pelengseran SBY-Boediono, apalagi mayoritas tidak mengetahui persis duduk perkara BC dan perppu yang tendensius itu.

Opini Republika 14 November 2009