Beberapa hari yang lalu, saya terkejut sekaligus tertawa. Gara-garanya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berwacana akan melarang peliputan langsung persidangan oleh stasiun televisi. Sidang Antasari Azhar mengungkap hal-hal berbau ”dewasa” dari kesaksian Rani Juliani.
Sementara sidang DPR kadang mengandung muatan kurang mendidik. Misalnya sidang DPR diwarnai umpatan atau makian atau tindak kekerasan oleh anggota DPR.
Saya baru ngeh sidang DPR ternyata berisi materi yang tidak mendidik. Saya juga terkejut karena kini bertambah lagi lembaga publik yang ikut repot dengan fenomena “gempa politik” yang berpusat pada kasus penahanan dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah. KPI tidak hanya menegur Empat Mata yang kini berganti menjadi Bukan Empat Mata atau tayangan beraroma mistis, namun juga mulai jengah dengan acara siaran langsung sidang DPR yang bisa sampai dini hari menjelang Subuh, atau sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Bukan hanya sidang DPR yang diwacanakan untuk dilarang. Sidang pengadilan termasuk sidang MK juga akan dilarang karena dikhawatirkan akan mempengaruhi opini publik. KPI bergabung dengan beberapa pihak lain yang khawatir kalau-kalau suara jalanan bisa mempengaruhi persidangan. Mungkin mereka khawatir, vonis pengadilan belum diputus tetapi vonis masyarakat lewat Facebook sudah didukung ribuan orang.
Saya tertawa, karena KPI mempersoalkan sidang yang banyak umpatan. Lho, bukankah sinetron kita selama ini isinya umpatan juga, ditambah tangis, sikap sinis, sifat buruk yang berlebihan, sikap sabar dan baik berlebihan, alur yang dipaksakan dan sering kali enggak masuk akal dan enggak ada habisnya alias sambung menyambung enggak ada tamatnya. Mestinya semua sinetron yang mengandung muatan tidak mendidik-dan sayangnya kebanyakan sinetron kita seperti itu- juga dilarang.
Tadinya saya mengira, orang-orang di rumah belakangan tidak lagi sering menonton sinetron karena sudah bosan karena setiap malam menyaksikan cerita yang mbulet dan wajah yang itu-itu saja. Rupanya saya keliru. Acara televisi di rumah memang tidak lagi melulu sinetron, tetapi dipenuhi berita politik seputar kasus Bibit-Chanda. Rupanya, keluarga di rumah menjadi suka karena fenomena politik kita belakangan sinetron banget atau menyerupai lakon sinetron.
Air mata
Tokoh-tokoh protagonis dan antagonis silih berganti muncul, misalnya Anggodo Widjojo (namanya mirip perwira kera yang sakti, Jaya Anggada, anak buat Sang Rama Wijaya), Ari Muladi, Antasari Azhar, Rani Juliani, Wiliardi Wizar, Novarina (istri Wiliardi) dan masih banyak lagi pemeran penting maupun pemeran pembantu lainnya.
Jangan lupa, ada juga bagian kecil dari lakon besar kasus ini, yakni kasus Evan Brimob yang menulis status provokatif di Facebook, yang bahkan mendorong Mabes Polri minta maaf. Di dunia maya, tokoh Evan Brimob ini bahkan mengundang tanggapan di lembar-lembar milis sampai ratusan halaman. Para hacker Indonesia yang memang diakui kualitasnya di tingkat dunia, mengerjain habis-habisan foto Evan yang “ditangkap” dari alamat Facebook-nya.
Kalau dibandingkan dengan sinetron beneran, sinetron politik kita ini tak kalah dalam mengumbar air mata. Tak kurang jenderal polisi pun bisa berurai air mata di sidang DPR, Antasari Azhar menangis tersedu saat mendengar pengakuan Wiliardi, atau Novarina yang menahan tangis saat bercerita tentang kasus yang dialami suaminya. Justru Rani yang tak lagi menangis saat diwawancarai dua reporter televisi yang tengah bersaing ketat, Metro TV dan TV One.
Bahkan kalau dihitung-hitung, sinetron politik kita ini justru lebih baik karena ending-nya susah ditebak. Bukan hanya ending-nya yang susah ditebak, publik juga sulit mencari yang mana tokoh protagonis alias tokoh yang digambarkan berhati mulia, dan mana tokoh antagonis. Apakah tangis Susno Duadji tulus, atau tangis Antasari yang lamis, atau sebaliknya. Apakah Rani selugu itu, ataukah dia menyimpan teka-teki tak terkatakan? Mengapa Wiliardi seberani itu? Dan seterusnya.
Sinetron politik ini juga lebih menarik perhatian. Di kantor-kantor, di kendaraan, di tempat arisan, di pasar, saat makan siang atau sedang rapat kerja, orang ribut memperbincangkan dan sibuk membuat prediksi, melebihi para komentator di televisi. Orang sibuk menduga-duga, ke mana alur cerita drama politik ini. Orang menunggu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera membuat garis kebijakan yang tegas, tetapi yang ditunggu sedang kunjungan kerja ke luar negeri.
Pertanyaan besarnya adalah, siapa sutradara sinetron politik ini? Bagaimana nanti akhir cerita kasus Bibit-Chandra dan kasus Antasari? Apakah akan terjadi people power lagi? Apakah akhir cerita ini by design, dirancang sedemikian rupa atau mengalir sesuai panggilan alam?
Agar drama politik ini berakhir klimaks, marilah kita tutup pembicaraan ini dengan mengumandangkan doa klise ini: ”Ya Tuhan, tunjukkan bahwa yang benar adalah benar… dan tunjukkan yang salah adalah salah…. Amin”. -
Oleh : Suwarmin, Station Manager Radio Star Jogja
Opini Solo Pos 16 November 2009