Memperingati Hari Pahlawan, dosen Jurusan Ilmu Sejarah UNS, Tundjung W Sutirto menulis PB VI, PB X & OBI yang terlupakan (SOLOPOS, 10/11).
Terlontar kritik bahwa Solo tak mempunyai nama jalan Paku Buwana VI, Paku Buwana X atau OBI Dharmohusodo. Kekecewaan ini beralasan menimbang dari peran ketiga tokoh yang ia sebut memiliki kearifan lokal itu, semasa hidupnya termasuk tokoh yang tidak bisa diabaikan dalam panggung sejarah lokal (Jawa).
Di berbagai tempat, sejarah mencatat, perubahan nama jalan merupakan ritual yang tak bisa ditinggalkan setiap rezim. Izinkan penulis mengutip puisi Sapardi Djoko Damono: Jalan tidak pernah berdusta/apakah ia harus membujur ke selatan atau utara/apakah ia harus berkelok atau lurus saja/apakah ia siap menerimamu/berjalan menyusurinya.
Menarik apa yang disampaikan Sapardi dalam penggalan bait puisinya di atas: jalan tidak pernah berdusta. Siapa yang dusta? Yang berdusta adalah pemakainya. Contohnya, Jl Slamet Riyadi yang tempo doeloe bernama Purwosari Weg begitu melekat dalam ingatan kolektif wong Solo. Namun setelah diubah namanya, orang-orang sepuh “mendustai” memorinya lantaran ikut-ikutan menyebut jalan yang berjarak kurang lebih 6 km ini dengan nama Slamet Riyadi, pejuang kebanggaan Solo.
Nah, dari sini baru bisa kita pahami ide Tundjung yang menyarankan mengapa ketiga tokoh lokal itu perlu diabadikan sebagai nama jalan. Paling tidak, warga terbantu mengingat nama-nama tokoh plus perannya sebab orang tak mampu melepaskan diri dari sebuah jalan. Mereka menyusuri jalan untuk mencari sesuatu yang bersifat kultural maupun konsumtif. Bahkan, kini jalan sudah berubah menjadi ruang publik.
Tapi, jalan dijadikan sebagai alat pengingat akan nama tokoh, tak selamanya mujarab. Hal itu terbukti dari ketokohan Mr Sartono yang diabadikan menjadi nama jalan di Mojosongo.
Banyak masyarakat Solo yang geleng kepala tiada sanggup menjawab saat ditanya siapa sejatinya Mr Sartono dan apakah dia mempunyai keterkaitan dengan Kota Solo. Spontan di kemudian hari terbit kritikan dari pengamat sejarah bahwa pemberian nama Jl Mr Sartono itu mungkin awalnya tidak dibarengi dengan publikasi mengenai sepak terjang sang tokoh.
Indonesia merdeka
Daun kalender menunjuk 5 Agustus 1900. Bayi mungil yang kelak bernama Sartono lahir di dusun kecil di Baturetno, Wonogiri. Daerah itu masuk wilayah Keduwang, salah satu kawedanan Praja Mangkunegaran. Akhir abad XIX, Baturetno dalam Monografi Wonogiri (1960), diriwayatkan watak penduduknya tidak kooperatif yang dilambangkan dalam kalimat “lemah bang gineblekan, belo binatilan”. Artinya, apa yang dikatakan tak ada buktinya. Sukar diperintah, gemar hiburan. Boros dan malas bekerja.
Oleh orangtuanya Sartono dikirim ke Kampung Lor (sebutan wilayah Mangkunegaran) untuk bersekolah di HIS dan MULO di Margoyudan hingga 1916.
Lalu dia melanjutkan studinya ke Recht School di Batavia. Ilmu bagi Sartono ibarat samudra tak bertepi. Ia tak ingin bekerja dulu sebelum menuntaskan pendidikan yang lebih tinggi. Selepas tamat, dia hijrah ke Belanda guna menyabet gelar Meester in de Rechten (Mr). Gelar itu digondolnya tahun 1926. Di Negeri Kincir Angin, pemikiran Sartono kian terbuka luas dan semakin mengerti apa makna dari liberty (kebebasan) yang diidam-idamkan para sahabatnya. Pemikiran dan tujuan perjuangan politik yang menuntut Indonesia merdeka menjadi arus utama yang diperbincangkan dalam saban diskusi di Indonesische Vereeniging.
Kemudian, tersusunlah Manifesto Politik 1925 yang oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo disebut sebagai tonggak sejarah nasional. Pasalnya, Manifesto Politik 1925 meramu dasar-dasar pembangunan bangsa, konsep-konsep bangsa Indonesia, negara nasion Indonesia, dan menetapkan identitas nasional.
Sepulang dari belajarnya, Sartono bersama Sunario dkk mendirikan Jong Indonesia. Bersama Soekarno pula, PNI didirikan di Bandung. Ketika Bung Karno ditangkap Belanda dan diadili dengan tuduhan hendak memberontak, Sartono bertindak sebagai pembela. Dalam buku Di bawah Bendera Revolusi, tertulis di kala masuk bui di Sukamiskin, Soekarno sempat menulis surat kepada Sartono yang berisi keharuan atas perhatian teman-teman yang begitu besar terhadap dirinya yang hendak menjemput beramai-ramai di muka penjara, 31 Desember 1931.
Daradjadi, salah seorang kerabat Mangkunegaran yang ambisius mempersiapkan biografi Sartono, dalam Majalah Sinergi edisi November 2009, menulis yang paling menonjol adalah keaktifan Sartono di BPKNIP untuk membantu jalannya pemerintahan Republik Indonesia yang masih seumur orok merah. Dan, pascaperjuangan revolusi fisik, Sartono tampil menjadi Ketua Parlemen RIS dan Ketua DPR Sementara. Ia ketua DPR yang pertama.
Sebenarnya sikap yang patut diteladani dari dia yaitu saat elite dan artis ramai-ramaii memperebutkan kursi legislatif, Sartono justru menolak manakala dipaksa Soekarno untuk masuk DPRGR. Alasannya, berat untuk menjadi pemimpin jika itu bukan hasil murni pilihan rakyat. “Melakukan suatu hal yang bertentangan dengan prinsip demokrasi, sangat bertentangan dengan hati nurani saya,” tegasnya. Oleh sebab itu, pantas dia disebut demokrat sejati. Pada 1968, Sartono mengembuskan napas terakhir dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Mangkunegaran di Solo.
Berawal dari Baturetno, Solo, Batavia hingga Belanda, Mr Sartono telah mengukir sejarah. Beliau tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ketekunan dan kegigihan ialah salah satu indikator perjuangan, sebuah indikator keprihatinan dalam berjuang untuk sebuah harga diri, harga diri bangsa. -
Oleh : Heri Priyatmoko Kolumnis Solo Tempo Doeloe
Opini Solo Pos 16 November 2009
15 November 2009
Tanggapan untuk Tundjung W Sutirto Melongok ketokohan Mr Sartono
Thank You!