17 November 2009

» Home » Kompas » Penolakan Ekstradisi atas Thaksin

Penolakan Ekstradisi atas Thaksin

Phnom Penh menolak tegas permohonan ekstradisi Thailand atas Thaksin Shinawatra, Rabu (11/11/2009). Penolakan ini tidak mengejutkan. Sebelumnya Pemerintah Kamboja berulang kali menegaskan akan menolak setiap permohonan ekstradisi Thaksin.
Permohonan ekstradisi atas Thaksin terkait tindak pidana yang dilakukan. Namun, Phnom Penh melihatnya berbeda. Kamboja beranggapan, tuduhan Thailand terhadap Thaksin tidak beralasan. Kamboja berpendapat, pengambilalihan kekuasaan oleh militer terhadap pemerintah sah 2006 yang saat itu dipegang Thaksin adalah kudeta militer. Kamboja beranggapan, Thaksin adalah korban politik.


Di mata Thailand, penolakan ekstradisi dipandang sebagai campur tangan urusan dalam negeri. Thaksin di mata Bangkok adalah buron dari proses hukum dan putusan pengadilan. Pengadilan Thailand telah menjatuhkan hukuman dua tahun untuk kasus penyuapan dan konflik kepentingan dalam bisnisnya di bidang properti.
Di mata Kamboja, mantan pemimpin Thailand ini adalah ”aset” negara. Berpengalaman dan ahli di bidang ekonomi, Thaksin yang diangkat sebagai penasihat pribadi Hun Sen dan penasihat ekonomi Kamboja adalah ”aset” penting pembangunan ekonomi Kamboja.
Selama ini, konflik kedua negara seolah tidak pernah selesai. Sejak tahun 1960-an saat kedua negara bertikai soal batas wilayah darat dan maritim hingga status wihara suci Preah Vihear yang ada di perbatasan kedua negara.
Kini dengan adanya penolakan ekstradisi dan keputusan Phnom Penh untuk mengangkat Thaksin sebagai penasihat ekonominya membuat hubungan kedua negara kian panas.
Perjanjian Ekstradisi 1991
Dari segi hukum internasional, sebenarnya Thailand memiliki dasar hukum kuat untuk meminta Kamboja mengekstradisi Thaksin. Menurut hukum nasional Thailand, Thaksin dianggap buron dan sudah dijatuhi hukuman penjara.
Permohonan ini diperkuat perjanjian bilateral kedua negara di bidang ekstradisi. Perjanjian bilateral ekstradisi Thailand-Kamboja ditandatangani 1991 (The Treaty between the Kingdom of Cambodia and the Kingdom of Thailand on Extradition). Perjanjian ekstradisi meletakkan kewajiban hukum kedua negara untuk memberi perhatian lebih atas permohonan atau respons ekstradisi di antara kedua negara.
Posisi Kamboja menolak permohonan ekstradisi juga tidak seluruhnya keliru. Meski ada perjanjian ekstradisi, bukan berarti secara otomatis permohonan tersebut wajib atau harus dipenuhi.
Ada alasan yang sudah menjadi hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk menolak permohonan ekstradisi. Alasan itu, antara lain, yang bersangkutan tersangkut kejahatan politik; alasan HAM; jika diekstradisi yang bersangkutan dikhawatirkan akan dihukum mati, tuntutan kedaluwarsa, dan lain- lain.
Berdasarkan Pasal 3 Perjanjian Ekstradisi 1991, salah satu negara dapat menolak permohonan ekstradisi apabila pelanggaran kejahatan yang dilakukannya dilatarbelakangi alasan politis. Pasal ini ini mencerminkan prinsip ekstradisi yang lahir dari hukum kebiasaan internasional.
Keputusan ekstradisi juga merupakan diskresi atau wewenang penuh pemerintah negara termohon (eksekutif). Apakah negara akan mengabulkan atau menolaknya. Sistem hukum suatu negara ada juga yang mensyaratkan persetujuan atau keputusan pengadilan (yudikatif) dari negara itu.
Kasus yang mirip permohonan ekstradisi Thaksin adalah ekstradisi mantan Presiden Peru Alberto Fujimori. Permohonan Peru kepada Cile untuk mengekstradisi Fujimori tidak begitu berkendala. Alasannya, pengadilan Cile melihat dakwaan terhadap Fujimori murni didasarkan pelanggaran korupsi dan pelanggaran HAM.
Prinsip ASEAN
Penolakan ekstradisi Phnom Penh diharapkan tidak menjadi alasan yang memperburuk hubungan kedua negara. Faktor Thaksin seharusnya diletakkan pada posisi tersendiri. Kedua negara harus menyisihkan isu ekstradisi sebagai isu yang memperburuk hubungan kedua negara. Kedua negara harus melihat hubungan kedua negara yang telah lama bertikai ini dalam perspektif luas.
Kedua negara perlu menyadari, pertikaian tak henti ini sama sekali tidak memperbaiki situasi dan kondisi kedua negara dari sisi ekonomi, sosial, maupun politik. Kedua negara harus menyelesaikan masalah ini dan mencari solusi permanen.
Momen pertemuan ASEAN- Amerika Serikat yang lalu seharusnya menjadi kesempatan penting bagi kedua negara untuk bertemu. Dan forum ASEAN tampaknya tepat bagi kedua negara untuk mencari solusi tuntas. Prinsip-prinsip dasar ASEAN, seperti penyelesaian sengketa secara damai yang digariskan dalam Bali Concord 1976 dan penghormatan terhadap prinsip nonintervensi, masih amat relevan. Prinsip-prinsip itu penting dan cocok diangkat kedua negara untuk menyelesaikan hubungan secara bilateral dan damai.
Huala Adolf Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung
Opini Kompas 17 November 2009