17 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Mengurai Ngapak-ngapak Tegalan

Mengurai Ngapak-ngapak Tegalan

KERESAHAN budayawan Ahmad Tohari dari Banyumas dan Yono Daryono dari Tegal terkait ancaman kepunahan bahasa Jawa dialek Tegalan dan Banyumasan cukup beralasan, sebagaimana juga diberitakan Suara Merdeka, beberapa waktu lalu.

Ahmad Tohari mengungkapkan soal keengganan keluarga muda menggunakan bahasa dialek Banyumasan dengan alasan karena malu.


Tapi, Yono Daryono, berpandangan berbeda. Keengganan keluarga muda menggunakan bahasa Tegalan lebih disebabkan faktor pendidikan yang memiliki peran besar daripada sekadar malu.  

Tulisan ini bukan bermaksud menghadapkan dua perspekstif tersebut mengingat masing-masing memiliki konteks berbeda. Kendati bahasa Tegalan dan Banyumasan memiliki latar belakang sejarah dan ciri yang sama.

Seperti bahasa Banyumasan, bahasa dialek Tegalan disebut ngapak-ngapak. Karena bercirikan dominasi penggunaan vokal A dan jika mengucap konsonan K sangat jelas. Bahasa Tegalan digunakan masyarakat di pantai utara (pantura) Jawa Tengah bagian barat, meliputi Kota dan Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Pemalang. 

Pada hematnya, budaya merupakan faktor utama yang membedakan dua diskursus yang dikemukakan Ahmad Tohari dan Yono Daryono. Doktor Nurcholish Madjid semasa hayatnya mendikotomikan budaya atas budaya pesisir dan budaya pedalaman. Masyarakat Tegal dan sekitarnya cenderung berbudaya pesisir.

Ciri utama karakter masyarakat budaya pesisir lebih terbuka dan mudah menerima unsur-unsur dari luar. Sedangkan budaya pedalaman cenderung tertutup.

Terkait dengan bahasa, kondisi itu menjadikan bahasa Tegalan banyak mendapat pengaruh bahasa dari daerah lain.

Contoh, kata belih yang berarti tidak adalah sama yang digunakan dalam bahasa Cirebonan. Orang Tegal juga menggunakan kata bahola, yang berarti zaman dahulu adalah digunakan pula dalam bahasa Sunda, bahela.

Dari pemikiran itu, perasaan malu bukan merupakan penyebab utama bagi ancaman kepunahan bahasa Tegalan. Bahkan di kalangan anak muda di Tegal dengan kreatif melahirkan kata-kata baru yang memperkaya perbendaharaan bahasa Tegalan. Seperti, kata yanu, kata lain dari inyong yang berarti saya.  

Selain sifat terbuka, masyarakat berkultur pesisir tidak fanatik terhadap hal-hal yang bersifat feodalistik. Sifat yang kental dengan pola-pola hierarki atau kastanisasi. Kultur  masyarakat pesisir lebih demokratis dan menjunjung kesetaraan. 

Relevan dengan pendapat Ahmad Tohari, bahasa ngapak-ngapak merupakan turunan asli bahasa Jawa Kuno.

Sedangkan bahasa Jawa wetan yang didominasi vokal O adalah bahasa anyar yang berkembang seiring pendekatan kekuasaan, khususnya kerajaan Mataram. Sehingga lahirlah bahasa yang mengenal tingkatan; ngoko, krama, dan krama inggil. 
Tidak Malu Diakui, di Tegal terutama kalangan muda tidak fasih menggunakan bahasa krama atau krama inggil. Namun, masyarakat Tegal tidak akan malu menggunakan bahasa daerah sendiri.

Apalagi secara historis bahasa Tegalan tergolong bahasa kaum proletar, kaum bawah. Sesuai realita, di Jakarta orang Tegal dikenal usaha warteg atau tukang bajaj yang identik kaum proletar. 

Kalaupun terjadi keenganan menggunakan bahasa Tegal lebih karena hal struktural, seperti melalui kebijakan di bidang pendidikan.

Yang merasa malu menggunakan bahasa Tegalan ngapak-ngapak sebagaimana terjadi di Banyumas, yaitu kaum urban priayi. Kaum terpelajar dari daerah Solo, Yogyakarta dan sekitarnya. 

Fakta empiris menunjukkan, era 1980-an pemerintah menerapkan pendidikan ikatan dinas. Banyak lulusan diploma keguruan dari Universitas Sebelas Maret Solo ditempatkan di Tegal dan sekitarnya sebagai guru. Di sektor kesehatan, perawat dan dokter atau di sektor pelayanan publik lainnya.  

Melalui proses sosialisasi banyak yang ketemu jodoh dan kini sudah beranak-pinak. Mereka tinggal di kompleks-kompleks perumahan, ibu kota kecamatan dan kota-kota kabupaten. Kelompok itulah yang malu berbahasa dialek Tegalan. Tapi, di pelosok-pelosok pedesaan, penduduk asli Tegal relatif tetap setia menggunakan bahasa ibunya.

Masih menyangkut pendidikan, melihat Pasal 33 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, posisi bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional sangat lemah. Yakni, hanya dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.

Sementara keterampilan atau alat peraga berupa teknologi modern kebanyakan menggunakan bahasa Indonesia, bahkan baha asing.

Selain bahasa pengantar, adalah kurikulum. Ada pelajaran muatan lokal bahasa Jawa. Nyatanya, di samping tenaga pengajar banyak berlatar belakang berbahasa Jawa Solo atau Yogyakarta, literatur atau buku-buku yang digunakan bukan berdialek Tegalan.

Maka, peseta didik ketika menghadapi pelajaran bahasa Jawa masih menanyakan kata demi kata yang tidak dimengerti. Misal, kata pagebluk, babagan,  atau mbanjur.

Dengan memetakan perbedaan konteks sebagai akar permasalahan diharapkan dapat diambil langkah-langkah solutif. Otonomi daerah di antara salah satu celah yang bisa digunakan untuk mempertahankan bahasa Tegalan.  (10)

– Sumarno, asal Tegal, Sekretaris Persatuan Guru Swasta (PGS) Provinsi Banten
Opini Suara Merdeka 17 November 2009