17 November 2009

» Home » Solo Pos » Ironi rencana kenaikan TDL

Ironi rencana kenaikan TDL

Lagi-lagi, pemerintah akan menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Meski belum mengungkapkan nilai kenaikan namun pemerintah memastikan hal itu akan diberlakukan pada 2010.

Alasan yang dipergunakan juga terdengar klise, kenaikan TDL dilakukan untuk menutupi kekurangan anggaran subsidi listrik tahun depan yang mencapai Rp 20 triliun. Direktur Listrik dan Pemanfaatan Energi, J Purwono, menyatakan tahun depan subsidi seharusnya Rp 58 triliun tapi yang disetujui cuma Rp 38 triliun. Jadi, ada bolong Rp 20 triliun (SOLOPOS, 10/11).


Rencana kenaikan TDL sungguh sangat ironis. Sebab, pemadaman demi pemadaman, masih saja terjadi. Tengok saja, sejumlah pengusaha Jepang yang bernaung di bawah Grup Industri Kansai telah menyampaikan keluhan soal pemadaman listrik belakangan ini kepada Menteri Perindustrian.

Bisa dibayangkan mata rantai produksi hingga jadwal penyelesaian dan pengiriman barang menjadi amburadul karena terkendala pasokan listrik. Sayangnya, kebijakan kontroversial (rencana kenaikan TDL) PLN tidak hanya sampai di situ. PLN juga telah menaikkan tarif untuk pemasangan baru bagi pelanggannya. Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar mengatakan tarif baru ini bersifat pilihan bagi pelanggan yang ingin mempercepat proses penyambungan baru.

Pelayanan mengecewakan
Kita memang tak habis pikir dengan ulah perusahaan berpelat merah yang satu ini. Bukannya memperbaiki kualitas pelayanannya yang sangat mengecewakan itu, PLN malah menambah penderitaan rakyat dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kontroversial. Maka tak salah, jika mayoritas pelanggan akan menolak setiap kebijakan PLN yang berencana menaikkan tarif tersebut, sebab tidak dibarengi oleh peningkatan kualitas.
Hal mengherankan kita adalah mengapa tarif listrik Indonesia ternyata demikian mahal dibanding negara sekawasan? Misalnya, golongan R-1 ternyata harus membayar US$5,8 sen per kWh, tetangga Vietnam hanya mengenakan tarif US$5,2 sen per kWh. Untuk pelanggan golongan R-2 (2.200-6.600 VA) PLN memasang tarif US$6,3 sen per kWh. Tetapi, negeri jiran Malaysia hanya membayar US$6,2 sen. Bahkan, Thailand hanya mematok US$6 sen per kWh.

Berbagai macam restrukturisasi sudah dilakukan PLN. Pergantian manajemen bahkan dilakukan sejak Maret 2008. Berbagai program pun dilakukan. Misalnya, menekan susut daya (losses), mengurangi subsidi dan mencegah pemadaman sistematik. Meski begitu, berita menggembirakan belum terdengar.
Untuk mengurangi subsidi ini, beberapa proyek PLTU program 10 ribu MW sudah bisa dipastikan fire-on pada akhir tahun ini setelah beberapa kali mundur. Tiga PLTU, masing-masing PLTU Labuhan, PLTU Rembang, dan PLTU Indramayu akan berkontribusi dalam sistem listrik interkoneksi Jawa-Bali.

Meminjam Faisal Basri (2009), krisis listrik tak akan separah sekarang jika pembangkit yang ada beroperasi optimal. Kuncinya, keberlanjutan pasokan energi primer yang murah (gas dan batu bara), pemanfaatan pembangkit swasta, serta pemeliharaan pembangkit dan jaringan transmisi/distribusi.
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berhasil meningkatkan porsi pembangkit dengan gas dan batu bara sehingga selama semester I-2009 bisa menghemat Rp 9,38 triliun. Potensi penghematan masih besar. PLTGU Tambak Lorok, misalnya, belum beroperasi optimal karena pemerintah tak kunjung menuntaskan pengaturan pasokan gas. Jangan sampai untuk mengamankan kepentingan kelompok bisnis swasta tertentu pemerintah mengorbankan PLN dan rakyat.

Yang juga bisa cepat ditangani pemerintah adalah mengamankan pasokan listrik dari PLTGU Tanjung Priok dan Muara Karang. Kedua pembangkit ini butuh tambahan pasokan gas, tetapi sampai saat ini belum ada kata putus dari Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara. Kalau pengikatan dengan sesama badan usaha milik negara saja tak kunjung tuntas, bisa dibayangkan rumitnya perundingan antara PT PLN dan independent power plants (IPP).
Kita berharap pemerintah jangan gegabah dan tetap memperhitungkan berbagai aspek sebelum menyetujui permintaan PLN, meski DPR sudah menyalakan lampu hijau. Di sisi lain, bagaimana memahami kesulitan PLN yang sangat tergantung pada subsidi pemerintah sehingga secara perusahaan membutuhkan kecerdasan tersendiri dalam meningkatkan kinerja agar tidak redup terus. Tantangan manajemen PLN ke depan semakin berat menyusul disahkannya UU Kelistrikan. Sebagai konsekuensi lahirnya regulasi baru tersebut, pengelola PLN dituntut lebih kreatif. Kalau selama ini, perusahaan itu hanya melenggang sendiri, kini bakal menghadapi pesaing.

PLN juga dituntut bisa mencari alternatif sumber energi yang lebih murah dan terbarukan. Indonesia masih memiliki cadangan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan seperti air: 75,674 MW, angin: 450 Mwe, matahari: 9,630 Gwe, dan biomassa: 49.8 Mwe yang belum didayagunakan secara optimal.
Maka, tidak ada kata lain bagi PLN selain sebuah ultimatum untuk memperbaiki terlebih dahulu pelayanan kepada pelanggan, barulah kemudian meminta opsi untuk menaikkan tarif dasar listrik seperti yang diinginkan PLN. Tanpa perbaikan pelayanan, maka kenaikan TDL mustahil disetujui oleh seluruh pelanggan.

Indriyani, Mahasiswi STMIK Duta Bangsa Solo

Gagasan Mahasiswa-Selasa 17 November 2009