17 November 2009

» Home » Kompas » Komitmen, Bukan Hanya Pidato

Komitmen, Bukan Hanya Pidato

Beberapa kali rilis Transparansi Internasional Indonesia, bahwa institusi kepolisian, kejaksaan, dan partai politik sebagai lembaga terkorup, hari-hari ini kian terbukti. Kecuali Partai Hati Nurani Rakyat, tak satu pun parpol lain yang mengecam kriminalisasi sistematis terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.
Mengapa dan ke mana arah kasus ini bergulir?
Alih-alih mengecam tindak kriminalisasi atas KPK yang bertentangan dengan akal sehat, parpol di DPR justru memberi panggung kepada kepolisian untuk membela diri. Komisi III DPR yang mengundang Kepala Polri dan jajarannya bahkan berpihak kepada absurditas proses penegakan hukum yang dilakukan institusi kepolisian. Karena itu, wajar jika sejumlah kalangan menyindir DPR tak lebih sebagai ”humas” kepolisian yang mencoba melawan aspirasi rakyat dan rasa keadilan masyarakat.


Rekaman rekayasa upaya kriminalisasi KPK yang jelas dan diperdengarkan berjam-jam di Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu seolah tidak ada artinya. Hati rakyat yang terluka oleh pembebasan Anggodo Widjojo kian teriris ketika ternyata sikap politisi parpol setali tiga uang dengan unsur kepolisian dan kejaksaan yang memperdagangkan keadilan atas nama proses hukum. Mengapa?
Masa bulan madu
Pada umumnya parpol kita tidak memiliki komitmen pemberantasan korupsi. Kerja sama, aliansi, dan koalisi antarparpol lebih diikat oleh kepentingan jangka pendek yang bersifat transaksional-kolutif ketimbang persamaan ideologis dan program di antara mereka.
Studi Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel (2009), menggarisbawahi, kerja sama dan koalisi antarparpol lebih diikat kepentingan bersama untuk mengamankan sumber-sumber keuangan bagi mereka sendiri ketimbang kepentingan rakyat. Tak mengejutkan apabila parpol di DPR juga ”geram” terhadap KPK yang mengadili dan bahkan mengirim rekan-rekan mereka sesama politisi ke penjara.
Di sisi lain, saat ini adalah masa ”bulan madu” antara parpol dan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah memperoleh jatah kursi menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, parpol-parpol koalisi yang mendominasi DPR merasa tidak enak berseberangan dengan sikap Presiden Yudhoyono yang cenderung membenarkan langkah-langkah absurd penegakan hukum oleh institusi kepolisian. Karena itu, tidak mustahil tesis Ambardi tentang politik kartel berlaku pula dalam konteks relasi dan persamaan sikap antara parpol di DPR dan Presiden Yudhoyono.
Realitas politik yang berlangsung dewasa ini benar-benar merupakan ironi bagi negeri kita yang memberikan kepercayaan kembali kepada Yudhoyono. Betapa tidak, janji-janji manis pemilu yang dipidatokan dengan penuh retorika masih begitu segar dalam memori kita. Pakta integritas para elite politik bahkan belum kering ditandatangani.
Namun, tampaknya perburuan rente dan kekuasaan telah menjadi berhala baru bagi para elite politik sehingga apa pun suara publik cenderung dipandang sebagai nonfaktor dalam politik yang amat keruh dan konspiratif dewasa ini.
Ongkos politik
Namun, yang dilupakan para elite politik adalah bahwa gumpalan kekecewaan dan hati publik yang terluka hampir selalu ada batasnya. Gelombang dukungan publik atas Bibit-Chandra—dua unsur pimpinan KPK nonaktif yang akhirnya dibebaskan—yang melampaui satu juta orang di jejaring sosial Facebook, misalnya, tak bisa dipandang sekadar virtual belaka. Begitu pula aksi protes yang masih marak di sejumlah daerah merefleksikan begitu besar harapan masyarakat akan tegaknya keadilan, integritas pejabat publik, dan pemerintahan yang bersih.
Salah satu biaya politik yang harus dibayar bangsa ini adalah terus melembaganya ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga negara, institusi peradilan, dan para penyelenggara negara. Akumulasi ketidakpercayaan publik tidak bisa dianggap sepele. Jika tidak dikelola secara cerdas dan tepat, kekecewaan dan ketidakpercayaan bisa berujung apatisme masyarakat terhadap apa pun yang dilakukan negara dan atau pemerintah.
Biaya politik lebih besar harus ditanggung negeri kita jika semua ini berujung pada ketidakpercayaan terhadap Presiden Yudhoyono. Masyarakat memang tidak memiliki mekanisme langsung untuk mencabut mandat politik yang diberikan kepada Yudhoyono.
Namun, suatu pembangkangan sipil dan politik yang terorganisasi dan semakin terkonsolidasi tidak mustahil muncul beberapa waktu ke depan jika Presiden masih menyikapi tindak kriminalisasi atas rasa keadilan masyarakat ini secara normatif belaka.
Bukan pidato
Karena itu, sebelum ongkos politik lebih besar ditanggung negeri ini, berbagai kalangan mengetuk hati nurani Presiden Yudhoyono agar mengambil tindakan politik yang tegas, cerdas, dan tepat untuk menyelamatkan bangsa dari pemangsaan oleh para koruptor. Apabila ada indikasi ”bias” dalam proses hukum yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan, seperti ditemukan oleh Tim Pencari Fakta, Presiden tentu wajib mencampuri dan meluruskannya.
Sama sekali tidak benar jika Presiden selaku atasan langsung kepolisian dan kejaksaan membiarkan semua absurditas ini terus berlangsung atas nama ”proses hukum”. Yang tak boleh diintervensi oleh Presiden adalah proses hukum yang sedang berada di wilayah yudikatif, mulai dari pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Kita semua berharap, Presiden Yudhoyono tak sekadar pintar membangun citra untuk diri sendiri, tetapi juga memiliki komitmen besar dalam melawan konspirasi busuk koruptor dan para pejabat tak bertanggung jawab.
Sangat jelas, yang ditunggu rakyat bukan sekadar komitmen yang dipidatokan berapi-api, tetapi tindakan nyata.
Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI
Opini Kompas 17 November 2009