Hari ini, 18 November 2009, Kabupaten Karanganyar genap berusia 92 tahun. Jika menilik ke belakang, secara historis berdirinya Karanganyar tidak bisa dilepaskan dari Mangkunegaran. Pada 18 November 1917, KGPAA Mangkunagoro VII melantik KRT Hardjohasmoro sebagai Bupati Karanganyar pertama.
Di usianya yang ke-92 tahun ini, rupanya tantangan Karanganyar ke depan semakin berat. Persoalan pengangguran dan kemiskinan yang belum teratasi, program pendidikan dan kesehatan murah yang belum terwujud, pelayanan publik yang belum memuaskan (polling di www.karanganyar.go.id), permasalahan penanganan bencana alam, serta pengelolaan sektor industri, pertanian dan pariwisata (Intanpari) yang belum bisa diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, kabar terakhir, kondisi keuangan Karanganyar dalam keadaan kritis. Sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) pada ABPD 2010 pada posisi nol (SOLOPOS, 12/11). Semua itu menjadi PR berat bagi Pemkab Karanganyar ke depan.
Sebenarnya, jika dibandingkan dengan kabupaten lain di Soloraya, Karanganyar merupakan daerah yang paling banyak mempunyai aset wisata. Dari mulai Gunung Lawu, air terjun Grojogan Sewu, wanawisata Gunung Bromo, pemandian air hangat Cumpleng, Candi Cetho, Candi Sukuh, hingga Astana Giri Bangun. Selain itu, masih banyak kawasan yang bisa dijadikan objek wisata antara lain berbagai situs arkeologi, museum, agrowisata, situs purbakala (Watukandang, Giyanti dan Palanggatan), juga waduk buatan sebagai resapan air yang difungsikan juga sebagai wisata pemancingan dan areal perkebunan teh.
Tetapi, pada sektor ini tampaknya juga masih kedodoran untuk menopang pemasukan pendapatan asli daerah (PAD). Hal serupa juga masih dialami di sektor industri dan pertanian yang belum bisa diharapkan untuk mendongkrak peningkatan PAD. Bahkan, ketidaksehatan keuangan ini terjadi sejak diterapkannya otonomi daerah hingga sekarang.
Beberapa survei dan penelitian mengenai analisis penerimaan PAD serta kemandirian keuangan daerah membuktikan bahwa Karanganyar belum bisa mandiri terhadap pelaksanaan otonomi daerah, bila diukur dari rasio kemandirian dan pola hubungannya. Besar rasio kemandirian keuangan daerah adalah 16,422% di era sebelum otonomi daerah dan 9,344% di era selama otonomi daerah.
Berdasarkan nilai tersebut, dapat dikatakan bahwa Karanganyar memiliki ketergantungan finansial yang sangat tinggi terhadap pemerintah pusat dan berpola instruktif karena besar rasio kemandirian keuangan daerah hanya sebesar 0% - 25% (Yuyun Vitaloka, 2005). Kesimpulannya, Pemkab Karanganyar belum siap menghadapi otonomi daerah terutama dalam memanfaatkan pos-pos potensial bagi pemasukan PAD terhadap total pengeluaran daerah.
Ditambah pula, fakta yang cukup memprihatinkan tentang terjadinya polemik pengelolaan aset wisata Tawangmangu antara Pemprov Jateng dengan Pemkab. Ternyata selama ini Karanganyar hanya menerima 10-20% dari total penerimaan. Sampai saat ini belum ada solusi yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Objek wisata ini lebih ideal dikelola oleh Pemkab Karanganyar agar lebih optimal.
Dari tahun ke tahun hampir tidak ada inovasi yang dikembangkan, termasuk untuk melakukan pemugaran dan perbaikan infrastruktur.
Brand image
Dampak negatif yang besar sesungguhnya ada pada image atau citra buruk tentang objek wisata itu di kalangan wisatawan. Orang yang berkunjung ke sana tidak mempunyai kesan mendalam, sehingga tidak timbul keinginan untuk datang kembali.
Maka, jika ini terjadi, sungguh merupakan beban berat bagi bidang kehumasan Pemkab Karanganyar untuk bisa memopulerkan Bumi Intapari di mata nasional dan dunia.
Apabila diumpamakan Karanganyar sebagai sebuah merk atau brand, tampaknya di kancah nasional, masyarakat Indonesia belum banyak yang mengenalnya. Apalagi keunggulan kabupaten ini, belum banyak yang mengetahuinya. Hal itu harus bisa dijawab oleh bidang kehumasan Pemkab Karanganyar untuk bisa memainkan peran dan strateginya dalam memopulerkan profil Karanganyar kepada khalayak.
Jika masih muncul pertanyaan-pertanyaan, ”Karanganyar itu letaknya di mana dan yang terkenal apanya”, berarti program branding dan marketing yang telah dilakukan selama ini belum maksimal. Dalam beberapa momentum, mungkin Karanganyar bisa dikenal melalui ajang penghargaan di tingkat nasional yang diwakili oleh Bupati Rina Iriani.
Namun, yang harus dipikirkan ke depan adalah penciptaan dan penguatan brand image Karanganyar itu sendiri yang dilakukan secara sistematis dan masif. Jika kota Solo memiliki slogan The Spirit of Java, Yogyakarta dengan slogan Jogja Never Ending Asia, Jakarta dengan Enjoy Jakarta kemudian Semarang muncul dengan slogan The Beauty of Asia, Lalu, apa slogan Karanganyar? Apakah seperti yang pernah dicanangkan Bupati, yaitu Karanganyar Kota Anthurium? Tetapi dalam perjalanannya, slogan tersebut kurang bisa menghujam, karena tidak didukung dengan program publikasi dan promosi yang sistemik dari semua dinas yang terkait.
Slogan yang dibuat tentu saja harus didampingi dengan visualisasi berupa logo yang mencerminkan identitas, sejarah, budaya dan gaya hidup kota itu. Maka, sudah saatnya jajaran Pemkab Karanganyar merumuskan slogan dan logo sebagai perwujudan kekhasan daerah yang mencerminkan semangat dan cita-cita yang ingin dicapai bersama. Selama ini, publik mengenal Karanganyar dengan hawa udaranya yang dingin dan sejuk, objek wisatanya yang bertebaran di mana-mana, lahan pertanian yang luas, agrowisata, industri serta masyarakatnya yang gemar membudidayakan tanaman hias anthurium. Potensi dan keunggulan-keunggulan tersebut yang seharusnya menjadi inspirasi lahirnya sebuah slogan dan logo yang menjadi impian bersama warga Karanganyar.
Salah satu strategi kehumasan yang bisa diterapkan dalam mengenalkan keunikan daerah adalah melalui penyelenggaraan event dalam berbagai bidang, seperti kesenian, budaya, pariwisata, industri, pertanian, dan perkebunan yang cakupannya nasional bahkan internasional. Target dari kegiatan ini adalah mengundang para pengunjung termasuk para peserta sebanyak-banyaknya dari berbagai daerah. Event ini nantinya menjadi fokus berita atau headline media massa, baik lokal, nasional maupun internasional. Dari sini, harapannya akan merangsang para investor supaya tertarik untuk menanamkan modalnya, baik di sektor pariwisata, industri, maupun pertanian, termasuk pembangunan pusat-pusat perbelanjaan.
Oleh karena itu, sudah saatnya Pemkab Karanganyar bersama-sama dengan anggota Dewan, menyusun program atau agenda yang bersifat branding beserta alokasi anggarannya, untuk bisa membawa Karanganyar go public.
Imam Subkhan Warga Jaten, Karanganyar
Gagasan Solo Pos 18 November 2009
17 November 2009
Memperingati HUT ke-92 Karanganyar Saatnya Bumi Intanpari go public
Thank You!