17 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Kelestarian Adat Demak

Kelestarian Adat Demak

DALAM berbagai pembahasan sejarah Islam Indonesia, kota Demak tak luput dari objek kajian historis.

Kota yang berslogan Kota Wali ini sekitar abad ke-15 memulai denyutnya dengan ditandai runtuhnya kerajaan Hindu-Buddha dan selanjutnya beralih ke kerajaan Islam di Nusantara.

Dari sinilah kemudian tampak peran Walisongo yang menyebarkan Islam dengan metode yang mampu diterima masyarakat, sebelum masuk Islam.


Para wali umumnya menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, dan seni suara suluk sebagai sarana dakwah.

Selain itu, pengaruh Sunan Kalijaga terhadap Demak yang pada waktu itu adalah pusat perkembangan dan kemajuan Islam di Jawa, mampu membawa warisan budaya lokal yang dapat bertahan hingga sekarang.

Berbicara mengenai Demak yang sangat kental dengan kajian historisnya, kota itu juga identik dengan tradisi Garebeg Besar, Kupatan, dan Apitan.

Garebeg Besar merupakan tradisi yang dilaksanakan setiap 10 Zulhijah Menurut versi kalender Hijriah (Arab). Tradisi ini bermaksud untuk merayakan Hari Raya Kurban yang jatuh di Sasi Besar yang sebentar lagi akan tiba menurut versi kalender Jawa.

Untuk itulah sebagian orang menyebut Besaran karena jatuh di bulan Zulhijah (Sasi Besar). Dalam kalender Jawa, perhitungan bulan biasanya dimulai dari bulan Sawal, Apit, Besar, Sura, Safar, Maulud, Bakda Maulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, dan Pasa.

Sedangkan dalam kalender Hijriah (Arab), perhitungan dimulai dari Muharam, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Ulaa, Jumadil Akhir, Rajab, Sakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah.

Perihal Kupatan, banyak masyarakat sekitar Demak seperti Kudus, Pati, dan Jepara juga mengenal tradisi semacam ini. tradisi ini dilaksanakan sepekan setelah datangnya bulan Syawal (Hari Raya ke-8).

Ditandai dengan berkumpul bersama keluarga dan kerabat dengan maksud bersyukur terhadap Tuhan disertai makanan yang khas yaitu kupat (ketupat).

Tradisi kupatan biasanya lebih berkesan jika dilaksanakan di pantai, semisal di pantai Kartini Jepara atau jika orang Demak di Morodemak.
Selain Besaran dan Kupatan ada tradisi yang dinamakan Apitan. Adat ini bisa dikatakan adat yang kurang familiar dibanding tradisi yang sebelumnya telah dibahas.

Alasanya sederhana, bahwa adat ini hanya dilaksanakan di daerah tertentu. Alasan lain yang menyebabkan kurang familiar terutama di kalangan generasi muda saat ini adalah kurangnya publikasi dari para orang tua yang paham seluk beluknya dan belum adanya minat untuk mengenal lebih jauh mengenai adat apitan ini.
Sego Golong Tradisi Apitan kebanyakan diselenggarakan oleh setiap kades di masing-masing desa yang diawali dengan ritual doa bersama seluruh perangkat desa dan warganya dengan menu makanan yang khas dan populer dinamai sego golong.

Dugaan kuat mengapa dinamakan sego golong atau nasi golong sebab nasi ditaruh ditempat yang orang Demak menamainya tampir yang berbentuk bulat (golong).

Nasi golong terdiri dari nasi kuning yang dibentuk tumpeng, diletakkan persis di tengah tampir dan sekitarnya terdapat berbagai macam lauk-pauk seperti telur, ayam (ingkung), ikan teri, tempong dan lainnya.

Tak ketinggalan sayur yang khas yaitu kuluban; sayur yang ditiriskan setelah direbus yang umumnya dibumbui dengan bawang merah, garam, parutan lengkuas, dan parutan kelapa.

Apitan oleh masyarakat Demak juga diwarnai pergelaran wayang. Inilah salah satu bentuk melestarikan adat dan budaya Indonesia pada umumnya.

Sebelum wayang mulai dilakonkan dalang pada malam harinya, biasanya prosesi sedekah bumi dilakukan siang harinya dengan segenap warga, doa bersama, dan makan bersama yang diakhiri dengan pergelaran wayang.

Keunikan dari adat ini tidak ada perbedaan entah itu yang di pesisir, kota, pelosok, atau di daerah perbatasan, hampir semuanya bisa ditemui di wilayah Demak dan belum pernah ditemui di daerah lain.

Meskipun sedekah bumi ada sedikit perbedaan bagi warga pesisir pantai, esensinya tetap sama seperti yang dilakukan di desa lain.

Sudah saatnya masyarakat, khususnya generasi muda, mau mengenal dan menjaga kelestarian adat daerahnya. Minimal, dengan upaya melaksanakan adat saat tiba waktunya. ’’Orang tua’’ yang paham mengenai seluk-beluk suatu adat, alangkah baiknya memberi pemahaman terhadap para generasi muda.

Sungguh disayangkan jika para generasi muda hanya tertarik pada sederet penjual musiman yang berjualan di sekitarnya. Sedangkan unsur yang sebenarnya sangat esensial justru dilewatkan dan dilupakan.

Upaya para kades dan perangkat desa dalam menyelenggarakan setiap tradisi merupakan sebuah sampel bahwa pihak pemerintah sudah cukup peka untuk menjaga keberadaan sebuah tradisi.

Yang lebih penting, upaya ini bukanlah kepentingan pihak-pihak tertentu melainkan kepentingan kita bersama dalam menjaga kelestarian sebuah adat.

Jika muncul persepsi bahwa kebayakan adat tidak ada korelasinya dengan agama maka sangat mudah untuk membuktikan bahwa para wali dalam menyampaikan Islam pun dengan mengolaborasi adat setempat.

Sebuah tradisi tetap terasa luhur apabila terus dianggap luhur oleh para generasinya. Semoga adat akan terus hidup ditengah kesadaran, keinginan, dan kepedulian semua elemen masyarakat. (10)

— Cholifah, warga Demak, pegiat di Kelompok Pecinta Nalar dan Peneliti di Paradigma Institute STAIN Kudus

Wacana Suara Merdeka 18 November 2009