17 November 2009

» Home » Republika » Menata Ulang Basis Produksi Pangan

Menata Ulang Basis Produksi Pangan

Oleh Khudori (penulis buku Ironi Negeri Beras )


Salah satu persoalan besar bangsa ini di masa depan adalah bagaimana menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi perut semua warganya. Jika program keluarga berencana berhasil, pada 2030 penduduk Indonesia mencapai 425 juta jiwa. Agar semua perut kenyang dibutuhkan 59 juta ton beras. Karena luas tanam padi sekarang 11,6 juta hektare, pada saat itu diperlukan tambahan luas tanam baru sebesar 11,8 juta hektare.
Ini pekerjaan mahaberat.
Dewasa ini lahan pertanian kian sempit dan kelelahan. Keuntungan usaha tani di level  on farm belum menjanjikan, produktivitas padi melandai, diversifikasi pangan gagal, jumlah penduduk semakin banyak, sementara akibat deraan kemiskinan konversi lahan pertanian berlangsung kian massif. Rentang 1992-2002, laju tahunan konversi lahan baru 110 ribu hektare, lalu melonjak jadi 145 ribu hektare per tahun, bahkan menurut data Deptan (Anton Apriyantono, 2008) mencapai 187 ribu hektare/tahun.

Bagaimana terus meningkatkan produksi pangan di saat pestisida mencemari sungai, danau, dan air tanah? Bagaimana menggenjot produksi pada saat erosi genetika demikian intensif, salinitas mencemari sawah dan hanya tersedia sedikit air irigasi? Bisakah produksi pangan didongkrak ketika air irigasi yang tersedia menurun 40-60 persen dalam 35 tahun ke depan? Belum lagi penyimpangan cuaca akibat pemanasan global yang membuat usaha tani kian sulit dikendalikan. Masih sanggupkah memberi makan?

Salah satu indikator penting untuk melihat kesanggupan memberi makan bisa didekati dari indeks luas panen per kapita. Dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara, indeks luasan panen per kapita di Indonesia termasuk yang terkecil, hanya 531 m2 per kapita, setara dengan Filipina (516) dan sedikit lebih luas dari Malaysia (315). Berbeda dengan Indonesia, Filipina dan Malaysia adalah pengimpor pangan reguler. Sedangkan negara-negara pengekspor pangan memiliki indeks luasan panen per kapita cukup besar: Vietnam 929 m2/kapita, Myanmar 1.285 m2/kapita, dan Thailand 1.606 m2/kapita.

Sudah tentu indeks luasan panen per kapita bukan semata-mata penentu besarnya produksi pangan. Luasan panen yang agak sempit dapat dikompensasi oleh produktivitas yang tinggi. Tapi, besarnya indeks luasan panen per kapita memberikan indikasi masih terdapat potensi peningkatan produksi, apabila produktivitas belum mencapai optimal.

Yang terjadi di Indonesia, indeks luasan panen per kapita kecil dengan produktivitas tinggi. Artinya, lahan kita sudah jenuh dan hampir semua teknologi sudah diadopsi. Padi, misalnya. Dilihat dari sudut pandang teknologi produksi, apa yang dihasilkan petani saat ini di beberapa sentra padi bisa dikatakan sudah mendekati batas frontier yang bisa dicapai di lapangan. Satu kajian menarik yang dilakukan oleh Mahbub Hossain dan Narciso dari International Rice Research Institute (2002) terlihat, rata-rata produktivitas usaha tani padi di lahan irigasi di Indonesia sudah mencapai 6,4 ton/hektare, ini kedua tertinggi di Asia Timur dan Asia Tenggara setelah Cina (7,6 ton/hektare). Potensi peningkatan produktivitas hanya sekitar 0,5-1,0 ton/hektare dengan  input yang kian mahal.

Dalam waktu dekat berharap ada teknologi baru semanjur revolusi hijau rasanya mustahil. Tanpa penambahan lahan baru buat pangan, kita akan jadi bangsa ayam broiler, bangsa pengimpor pangan. Perluasan areal budi daya pangan harus dilakukan. Potensi untuk melakukan itu masih terbuka. Dari total luasan daratan Indonesia sebesar 191 juta hektare, sebagian besar (66,15 persen) merupakan kawasan hutan, sedangkan untuk pertanian dengan berbagai kondisi agroekologi sebesar 36,35 juta hektare (18,72 persen). Menurut Puslitbangtanak (2001), potensi luas lahan basah mencapai 24,5 juta hektare atau lebih tiga kali lipat luas sawah saat ini. Potensi pengembangan tanaman pangan semusim di lahan kering masih 25,3 juta hektare, sedangkan untuk tanaman perkebunan seluas 50,9 juta hektare. Potensi-potensi ini sesuai data BPN (2001): berdasarkan indeks rata-rata nasional penggunaan kawasan budi daya masih tersisa 57,74 persen kawasan budi daya berupa hutan.

Selama 400 tahun terakhir, evolusi pembangunan selalu dibimbing oleh jiwa yang meniadakan petani atau warga sebagai subjek pembangunan. Premis dasar kebijakan yang diyakini adalah usaha besar memiliki kapasitas lebih tinggi dari petani. Makanya, meskipun potensi kawasan budi daya berupa hutan masih cukup luas untuk basis produksi pangan lahan tersebut tidak diberikan ke petani, pekebun, warga pinggir hutan, atau kaum marjinal lainnya. Sebaliknya, berpuluh-puluh juta hektare hutan diserahkan pada pengusaha dan konglomerat dalam bentuk aneka konsesi dengan lama puluhan tahun: Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), atau eksploitasi tambang di hutan lindung.

Apa hasilnya? Data Departemen Kehutanan menunjukkan, sekitar 59 juta hektare dari 120 juta hektare hutan asli Indonesia habis. Laju deforestasi meningkat: dari 1,6 juta hektare/tahun (1985-1997), 2,1 juta/tahun (1997-2000), dan menjadi 2,8 juta/tahun (2001-2005). Kerugian negara mencapai Rp 30 triliun/tahun. Hutan telah dieksploitasi sejak 1970-an, tetapi itu tidak membuat masyarakat lokal dan kita semua kaya. Eksploitasi itu hanya menguntungkan segelintir pengusaha dan konglomerat. Sebaliknya, kita semua, terutama masyarakat lokal, telah merasakan dampak buruknya.

Pembukaan tambang di hutan, misalnya, akan menimbukan kerusakan permanen. Aktivitas penambangan memiliki daya musnah luar biasa. Tidak saja pada kawasan yang dibuka, tapi juga di kawasan hilir yang ditempati oleh komunitas-komunitas masyarakat. Nilai kerugian yang terjadi jauh lebih besar ketimbang keuntungan jangka pendek yang didapat. Ironisnya, aktivitas ini diizinkan pemerintah lewat PP No 2/2008. Padahal, UU No 41/1999 tentang Kehutanan melarang aktivitas tambang di hutan lindung.

Dengan PP ini perusahaan diizinkan membuka tambang di hutan lindung dengan tarif supermurah: Rp 1,2-3 juta per hektare/tahun. Karena tak ada klausul khusus buat 13 perusahaan, PP ini berpotensi merusak 11,4 juta hektare hutan lindung konsesi 158 perusahaan tambang lain. Penetapan kawasan hutan sebagai hutan lindung tentu tidak main-main karena berfungsi sebagai bagian ekosistem yang melindungi kehidupan manusia, bukan untuk tambang duit.

Kawasan hutan lindung tak bisa disubstitusi. Jangankan hutan lindung hancur, sekali hutan produksi hancur, kita segera menuai bencana. Orientasi yang keliru ini mesti diubah. HPH, HTI, atau tambang di hutan lindung harus dihentikan. Kawasan hutan telantar dan kebun-kebun tanpa izin mesti diubah untuk basis produksi pangan untuk digarap petani dan masyarakat lokal. Jika perusahaan tambang boleh, tentu mereka tak dilarang. Mana yang boleh dan mana yang dilarang ini akan menentukan kepentingan siapa yang didahulukan, dan kepentingan siapa yang dikorbankan. Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu II harus mewujudkannya. Hanya dengan cara ini, indeks luas tanam per kapita dan kesanggupan memberi makan akan membaik.

Opini Republika 17 November 2009