M Hilaly Basya
(Staf Pengajar di Universitas Muhammadiyah Jakarta)
Dalam sambutan acara Syukuran Satu Abad Muhammadiyah di Jakarta, Din Syamsuddin mengatakan bahwa pada usia 100 tahun ini Muhammadiyah bertekad untuk melakukan pembaruan tahap kedua, yaitu dengan melakukan transformasi gerakan untuk menawarkan pemikiran-pemikiran alternatif (24/11).
Berdasarkan kalender Hijriyah, pada 8 Dzulhijjah 1430 (25 November 2009), Muhammadiyah akan memasuki usia 100 tahun. Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan pada 1330 Hijriyah atau 18 November 1912 Masehi. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, dari awal perkembangannya Muhammadiyah menaruh perhatian pada upaya modernisasi. Eksistensi Indonesia modern saat ini sedikit banyak dipengaruhi oleh kiprah Muhammadiyah.
Tentu saja, sebagai organisasi Islam terbesar dengan banyak cendekiawan dan aktivis terlibat di dalamnya, Muhammadiyah mengalami perkembangan yang dinamis. Secara umum, gerakan Muhammadiyah dikategorikan modern (Deliar Noer, 1980). Hal ini di antaranya ditandai oleh banyaknya lembaga modern, seperti rumah sakit, sekolah, universitas, dan bank yang dikembangkan dan dikelola oleh Muhammadiyah. Namun di sisi lain, sebagaimana dijelaskan oleh Azyumardi Azra (1999), Muhammadiyah kurang responsif pada isu-isu kontemporer yang berkaitan dengan ekonomi, sosial, dan politik.
Rutinitas dalam mengelola lembaga-lembaga modern bisa jadi merupakan salah satu faktor penyebabnya. Dalam persepsi masyarakat umum, Muhammadiyah lebih peduli pada masalah-masalah ritual. Hal ini diindikasikan dari fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih, yang sebagian besar berkaitan dengan isu bid'ah dan pemurnian Islam.
Pada dasarnya, seperti dijelaskan oleh Syamsul Anwar (ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah), Muhammadiyah memiliki dua agenda, yaitu pemurnian dan pembaruan.
Pada masa kepemimpinan Kiai Haji Ahmad Dahlan, Muhammadiyah lebih tanggap terhadap masalah-masalah sosial, seperti pendidikan dan ekonomi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada awalnya Muhammadiyah lebih menekankan pembaruan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, Muhammadiyah menaruh perhatian lebih pada isu pemurnian. Kecenderungan pada pemurnian ini tidak bisa dipisahkan dari pengaruh gerakan Wahabi, yang merasuk ke masyarakat Islam Indonesia pada 1930-an. Ajaran Wahabi menarik perhatian para aktivis Muhammadiyah.
Terlepas adanya dinamika pemikiran di dalamnya, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi signifikan dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara bangsa modern. Sebagai gerakan modernis, sejak awal Muhammadiyah menyediakan pendidikan modern bagi umat Islam. Ini menunjukkan bahwa pendekatan kultural dipandang oleh Muhammadiyah sebagai prasyarat terwujudnya Indonesia modern.
Karakter Muhammadiyah yang menyuguhkan keindonesiaan, keislaman, dan kemodernan dapat dilihat visi dan misi Muhammadiyah. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-33 di tahun 1956, tiga pemimpin Muhammadiyah, yakni KH Fakih Usman, Prof KHM Faried Ma'ruf, dan Dr Hamka merumuskan konsep Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, dan kemudian dijadikan visi Muhammadiyah. Konsep ini menekankan pendidikan masyarakat dan pendekatan kultural yang berorientasi pada terwujudnya masyarakat yang berakhlak mulia dalam naungan Pancasila.
Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dinilai sebagai fondasi dari negara Indonesia yang berharkat dan bermartabat. Visi ini juga dipertegas dengan peran para cendekiawan Muhammadiyah dalam meredam semangat sektarianisme yang menguat pada era reformasi.
Kini di usianya yang ke-100 tahun, sesungguhnya Muhammadiyah ditantang dengan sisi lain dari modernisasi. Muhammadiyah harus melibatkan diri dan menyuarakan dampak pembangunan yang tidak manusiawi.
Pembangunan yang dilakukan negara-negara maju, misalnya, dinilai lebih berorientasi pada keuntungan kelas sosial tertentu, dan cenderung memarjinalisasi yang lainnya. Hal ini juga berdampak pada kondisi internal kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia.
Tanggung jawab Muhammadiyah terhadap kehidupan publik merupakan bagian penting dari substansi keberagamaan yang dikembangkan Muhammadiyah. Karena itu, kiprah Muhammadiyah akan dilihat oleh bangsa ini dari sejauh mana kepeduliannya terhadap persoalan sosial akibat modernisasi yang terjadi di Indonesia.
Surat Al-Maun, yang menggambarkan bahwa seorang Muslim yang tidak peduli dengan problem sosial di lingkungannya, dinyatakan oleh Alquran sebagai orang yang melalaikan shalat, bahkan pendusta agama, yang selama ini menjadi prinsip perjuangan Muhammadiyah harus senantiasa direvitalisasi, demi menjaga relevansi semangat pembaruan Muhammadiyah itu sendiri.
Penting untuk dicatat bahwa peran Muhammadiyah dan organisasi serupa di Indonesia akan mempengaruhi masa depan Indonesia modern. Oleh karena itu, Muhammadiyah harus selalu mengevaluasi kembali dan mereformasi posisinya agar mampu mendukung bangsa menuju masyarakat yang berharkat dan bermartabat.
Opini Republika 28 November 2009
27 November 2009
Muhammadiyah dan Indonesia Modern
Thank You!