Kekuasaan yang berkembang biak, menggurita, menjadi kekuatan amat dominan, pada saat bersamaan sebenarnya juga sebuah kekuatan lupa. Ia tidak hanya sebuah kekuatan yang memaksa pihak lain atau publik lupa pada kerakusan kuasa yang dimiliki. Tetapi, lebih utama ia lupa pada ideal-ideal yang dulu berhasil mendapuknya ke singgasana; lupa untuk apa dan demi siapa ia berkuasa; dan lebih utama, ia lupa apa kekuasaan itu.
Gejala psikologis kekuasaan atau sindrom kekuatan lupa ini sebenarnya bisa ditemui di banyak tempat dan waktu dalam sejarah peradaban manusia. Juga kita menemukannya di negeri sendiri. Bahkan pada beberapa dekade mutakhir. Di berbagai rezim pemerintahan saling berganti, pascakemerdekaan diproklamasikan.
Bagaimana pejabat publik yang pernah atau sedang berkuasa di republik ini lupa pada makna kekuasaan yang dipegangnya. Kekuasaan tak lain adalah amanah, yang dipercayakan kepadanya untuk masa yang temporer. Apa pun tanggung jawab atau hak yang ada pada titipan itu berlaku sepanjang memegang amanah itu. Untuk itu, mereka—pemegang amanah kekuasaan itu—telah disumpah.
Namun, kita menjadi saksi, bagaimana sumpah itu dikhianati, kekuasaan berubah menjadi kekuatan untuk lupa. Entah dalam kondisi apa pun, dengan cara apa pun, mereka berusaha menggenggam erat kekuasaan itu; mempertahankannya betapapun amanah itu sudah tidak didapatnya lagi, titipan sudah ditagih oleh moralitas pemilik asli. Penguasa melihat kekuasaan tidak lagi sebagai sebuah kepercayaan, tetapi sebagai kekayaan, sebagai harta (milik) yang harus dibela mati-matian.
Saat itu, sebenarnya adab dari kekuasaan, budaya dalam politik, telah binasa. Ketika seseorang lupa, ia kehilangan hak dan kepercayaan pada kekuasaan, tetapi bergeming tanpa sungkan, rasa malu, atau kepatutan, orang itu tak lagi memiliki atau mewakili etos dan etik yang menjadi dasar budaya atau adab politik. Ia juga melanggar nilai-nilai utama yang menggerakkan founding fathers menegakkan dan memperjuangkan negeri ini.
Pada episode mutakhir kekuasaan di negeri ini, saat korupsi menjerat banyak petinggi, pejabat, atau abdi negara di berbagai institusi terhormat (KPK, kepolisian, dan kejaksaan), kita tidak hanya prihatin pada segala lupa yang mereka pertontonkan. Kita sedih, bagaimana kita—pemilik kepentingan sesungguhnya—diabaikan dengan aneka retorika, dengan bermacam permainan yang melukai kemuliaan hukum, etika, dan etos yang seharusnya menjaga martabat dan harga diri sebagai bangsa.
Kiranya perlu dipertimbangkan, amanah yang telah diberikan untuk sebuah kekuasaan, sebenarnya bukan sekadar sebuah perangkat hukum, berupa undang-undang dalam berbagai tingkatan, apalagi upaya politik—yang tampaknya normal—untuk mempertahankan kekuasaan. Tentu saja, upaya politik itu justru mencederai moralitas utama, nilai-nilai kultural yang seharusnya ada dan dibangun oleh sebuah sistem hukum.
Lebih dari itu, apalah arti kekuasaan cq pemerintahan (sebesar apa pun) jika ia hanya menjadi sirkulasi kepentingan dari para elitenya ketimbang kepentingan dan nurani publik yang terus terluka dan dikhianati. Pemerintahan seperti itu, betapapun memaksa mendesakkan sel-sel kekuasaannya dengan cara apa pun ke berbagai lembaga inti yang merepresentasi publik (entah itu badan perwakilan, institusi negara, hingga lembaga swasta/bisnis atau swadaya masyarakat), sehingga suara publik terbungkam, sebenarnya tengah menumbuhkan bom waktu dengan daya ledak yang kian tinggi.
Dari segala informasi, baik yang telah terbuka maupun masih tersimpan, di seputar perselingkuhan para petinggi lembaga-lembaga penegak hukum plus para bulus yang mampu mengendalikan kasus, kita tahu, kini masalah tidak lagi pada kasus korupsi yang diinisiasi PT Masaro. Persoalan telah tenggelam pada rusak dan tidak berjalannya mekanisme hukum formal, pada sistem pemaknaan simbol-simbol (budaya) hukum di negeri kita.
Masalah di dasar genangan air keruh tata kenegaraan ini, apakah tidak menjadi refleksi dari sektor-sektor kenegaraan lain, seperti ekonomi, politik, militer, dan sebagainya? Tidakkah ia menjadi keprihatinan yang menggiriskan para pemangku kepentingan utama kekuasaan, cq pemerintah, sebagai obligor utama konstitusi? Bila hal ini tidak terjadi, tidak menjadi inspirasi dan isi dari aneka kebijakan pemerintah berikutnya, kita harus mafhum, negara ini sebenarnya tidak tengah bergerak ke depan. Ia tengah berinvolusi sambil berlari mundur, menemui sumbu bom waktunya sendiri.
Dan pemerintahan yang lupa akan melihat betapa sumbu itu sedang menyala dan merambat, tanpa ada yang mampu mencegahnya. Kecuali pemerintahan memotong sumbu itu; memotong arus perusakan kultur dari kekuasaan itu sendiri. Atau sebuah hukum alam akan bicara seperti diisyaratkan awal tulisan ini: kekuasaan yang lupa akan dijatuhkan oleh siapa pun yang dulu memberi kekuasaan. Entah ia rakyat atau aneka kepentingan besar yang ada di luarnya.
Opini Kompas 28 November 2009