PENYAMPAIAN pandangan politik yang sangat tajam terhadap Golkar Jateng dengan sangat nylekit dimuat pada harian ini (Suara Merdeka, 28/10). Saya amati logika yang dipakai adalah parameter Tri Sukses Pemilu (gagal Pilgub, gagal Pileg dan gagal Pilpres). Sebab itulah, ada upaya kekuatan golongan untuk lenyapkan Bambang Sadono, sang incumbent.
Apa artinya semua ini bagi warga Golkar Jateng? Golkar secara de jure berubah, atau telah mereformasi diri secara fisik dari tahun 1998. Tetapi bagaimana mentransformasikan apa yang de jure itu menjadi de facto. Sesungguhnya, Golkar belum konsisten dengan program yang dijalankan sebagaimana dalam sumpah golkar, yang terdiri dari lima butir, disebut Pancabhakti.
Yang dijadikan parameter selama ini hanya persoalan kalah menang Pemilu adalah keliru. Karena itu sifatnya terlalu umum dan terjadi di seluruh seantero Nusantara. Dengan begitu, dalam pandangan sosiologis, kecepatan perubahan Golkar Jateng, tidak jauh berbeda dengan daerah lain.
Sumpah Golkar
Singkat kata, apa yang das Sollen menjadi das Sein, masih diputar balik seenak perut oleh pengurus teras pada umumnya. Lebih menggigit lagi, Golkar gagal dalam perubahan untuk memenuhi janji dalam Pancabhakti, atau sebut saja ”Sumpah Golkar” pada tataran operasional dan implementasional belum menetes kepada rakyat.
Tetesan gizi hanya tertampung di saku elite partai yang nota bene ketua-ketua DPD, yang menerima siraman gizi akan mengucapkan terima kasih yang memberi. Namun ekses nagatifnya akan melahirkan sikap individulaistik. Artinya, mereka tidak peduli dengan gagasan, pendapat dan program partai selama ia mimpin.
Dengan begitu, maka sumpah Golkar/ ikrar Golkar/ janji Golkar dalam Pancabahkti secara sosiologis menjadi janji politik lebih dipengaruhi faktor politik gaya lama yang belum berubah. Bukan alasan kondisi ekonomi menjadi faktor dalam melaksanakan janji dalam Panca Bhakti. Oleh karena karen itu, upaya Golkar untuk tidak distigma, Golkar pengarang slogan, pakar slogan, segudang slogan, Golkar gudang slogan, dan terkini menjadikan suara Golkar, suara rakyat sebagai tema sentral musda.
Maka, perubahan substansial dilakukan adalah sebagai berikut: Juklak-I/DPP/GOLKAR/X/2009 tentang Penyelenggaraan Musda Partai Golkar se-Indonesia dipandang keharusan bagi Golkar Jateng untuk perlu terobosan dan pelopor perubahan, dalam hal rekrutmen politik menuju rekstrukturisasi organisasi sebagai syarat mutlak atau ciri khas partai modrn, adalah; bahwa ketua terpilih, memilih personalia pengurus pleno, harus memperhatikan persyaratan sebagaimana disebutkan.
Memiliki PD2LT, serta tidak terlibat praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Oleh karena itu, baik BS ataupun WS, jika salah satu terpilih sebagai ketua. Maka juklak tersebut menjadi dasar dan pertimbangan, terutama yang all clear. Artinya, kalau ingin membenahi partai Golkar, maka harus dimulai dari rekrutmen politik yang jelas.
Pragmatis
Membersihkan orang-orang yang tidak clear yang mengutamakan onani politik dan bermental pragmatis politik gaya lama, atau lebih populer dengan budaya politik dagang sapi yang masih banyak bercokol di tubuh Golkar sekarang.
Itu salah satu bentuk perubahan dan gagal dilakukan oleh Golkar selama ini. Terlalu banyak stok slogan yang belum dilaksanakan secara nyata, maka tidak berlebihan, bila kita kutip kata-kata bapak retorika Cicero, Good men speak well.
Lima butir sumpah Golkar, jika dikupas lebih dalam, sesungguhnya merupakan roh dari apa yang kerap digembar-gemborkan oleh petinggi beringin itu. Inilah cerminan kegagalan kita yang sebenarnya, kalau ada upaya untuk lenyapkan BS karena alasan gagal dalam Pemilu. Benar atau salah Itu sangat sederhana, dan sangat keliru.
Dan tidak ada akuntabilitas publik di situ. Pernyataan demikian, bukan pernyataan misi konkret. Dan amat salah, jika sekarang ada yang mengatakan perubahan di tubuh Golkar, hanya pergantian ketua lama kepada ketua baru, gara-gara gagal dalam mengelola Pemilu. Oleh karena itu, biar tidak dicap Golkar Jateng buruk, kader-kader Jateng janganlah berdiam diri, sudah waktunya angkat bicara.
Hai kader-kader Golkar Jateng, bicaralah. Jangan bengong kaya kambing congek, dan katakan dengan lantang, bahwa tokoh Golkar, gagal bertekad bulat melaksanakan amanat penderitaan rakya untuk membangun masyarakat adil, makmur, aman, tertib dan sentausa, Katakanlah, Tokoh Golkar sudah mengutamakan kerja keras, jujur dan bertanggungjawab dalam melaksanakan pembaharuan dan pembangunan. Ah itu mah bukan sumpah Golkar, tapi slogan, kita tidak hanya disuruh hapal, malah sekalian disuruh minum. (80)
—Suradi Al Karim, Wakil Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Banyumas
Wacana Suara Merdeka 28 November 2009