Jika kita mengamini pernyataan penyair Inggris itu, ungkapan berikut perlu disebut. ”Kemalangan terbesar manusia adalah saat tidak mampu—atau tidak mau—bersyukur”. Di tengah kerumunan masalah yang hadir silih berganti, kemampuan—dan kemauan—bersyukur melahirkan kekuatan dan daya hidup bagi manusia.
Namun, rasanya tidak ada alasan untuk mensyukuri Indonesia sebulan terakhir yang karut-marut didera krisis adab dan keadilan. Alih-alih bersyukur, kita justru cemas dan mengumpat. Bagaimana mungkin Indonesia menjadi surga bagi koruptor, makelar kasus, dan mafia hukum? Ulah mereka melumpuhkan penegakan hukum, mengaburkan hakikat keadilan, menjatuhkan martabat bangsa, bahkan mengancam keselamatan negara.
Tidak adakah yang patut disyukuri dari situasi Indonesia sebulan terakhir ini? Jawabnya, ”Ada!” Ada empat alasan kita mensyukuri Indonesia.
Pertama, kita telah dicerahkan dan diyakinkan, persoalan terbesar bangsa ini adalah korupsi. Empat puluhan tahun lalu, Bung Hatta berkata, korupsi telah menjadi bagian ”budaya” kita. Padahal, kata Raymond William (1958), culture is ordinary. Korupsi memang sudah mendarah daging sehingga batas antara korupsi dan bukan korupsi menjadi kabur. Kita kehilangan kepekaan dan mati rasa. Maka kecerahan dan keyakinan ini perlu dihidupi dan dibiakkan agar kian luas menjangkiti masyarakat.
Kedua, kita mendapatkan momentum emas untuk memerangi korupsi. Selama ini korupsi memang telah dihinakan sebagai kejahatan luar biasa. Namun, pemberantasan korupsi masih biasa-biasa saja karena tiadanya momentum. Selain tersedia momentum, masyarakat umum— yang selama ini tanpa sadar turut menyuburkan korupsi—sedang dalam soliditas dan komitmen bersama membasmi korupsi. Masyarakat makin sadar, korupsi menjadi musuh kesejahteraan, biang kemelaratan. Momentum dan dukungan masyarakat seyogianya segera dikelola untuk memberantas korupsi, bahkan mereformasi hukum.
Ketiga, kita sungguh menikmati kemerdekaan pers. Sebulan terakhir ini, media massa cetak, elektronik, dan maya secara kolektif-massif berhasil mengerucutkan isu korupsi. Perhatian masyarakat tergiring dan kesadaran kritis terbangun. Meminjam istilah Edwin Emery (The Press and America: An Interpretative History of Journalism, 1962), pers Indonesia berhasil mengobarkan kecerdasan. Pers Indonesia juga sukses menjalankan fungsi kendali sosial serta menjadi pilar keempat demokrasi yang berdiri tegak sejajar dengan kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Kemerdekaan pers itu—apalagi—lalu bersinergi dengan kejernihan analitis para akademisi.
Keempat, kita menyaksikan hadirnya era keterbukaan. Beberapa lembaga negara telah (berani) membuka diri. Langkah Mahkamah Konstitusi dan Komisi III DPR yang mengizinkan media publik menyiarkan langsung sidang/rapat mereka, misalnya, layak diapresiasi. Lembaga-lembaga itu tidak sekadar memenuhi akuntabilitas publik, tetapi juga menjalankan pendidikan politik kepada masyarakat dan mewujudkan alasan meng-ada (raison d’etre) mereka sebagai lembaga peradaban.
Cukupkah hanya bersyukur? Jika segala sesuatu memang buruk, bersyukur saja bukan jalan bijaksana. Mensyukuri kegagalan atau kehinaan mencerminkan kebebalan dan ketakberdayaan. Pada gilirannya kebebalan dan ketakberdayaan menjadi napas hidup kegagalan dan kehinaan yang lebih besar.
Mengiringi rasa syukur itu, bagaimanapun masalah-masalah besar tetap merisaukan. Persoalan warga sehari-hari seperti kemiskinan, pengangguran, penggusuran, putus sekolah, mahalnya biaya berobat, gizi buruk, krisis listrik dan energi perlu segera ditangani.
Menghadapi situasi semacam itu, Jakob Oetama (Bersyukur dan Menggugat Diri, 2009) menawarkan solusi. Rasa syukur perlu dilanjutkan dengan bertanya diri, menggugat diri, serta membangun kemauan untuk bangkit mewujudkan tujuan Indonesia Merdeka, yakni membangun perikehidupan seluruh warga yang sejahtera, makmur, adil, damai, bersilaturahim.
Tawaran Jakob Oetama mungkin masih samar-samar, sebagaimana pernyataan Presiden Yudhoyono menyikapi rekomendasi Tim 8 tentang penanganan kasus Bibit-Chandra. Namun, yang samar-samar itu akan menjadi jelas jika kita semua—tidak hanya Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK—masing-masing bertanya dan menggugat diri. Apakah kita telah menjadi bagian dari penyelesai(an) masalah, atau justru biang pembuat masalah? Apakah kita telah membangun kemauan—dan bertindak nyata—untuk bangkit mewujudkan tujuan Indonesia Merdeka, atau lebih suka bersembunyi dalam kungkungan egoisme dan ketidakpedulian?
Indonesia merupakan sebuah proyek besar yang tidak akan pernah berakhir. Meminjam ungkapan Oscar Wilde, Indonesia hanyalah lompatan dari satu masalah ke masalah lain. Namun, kesadaran akan adanya masalah perlu disyukuri sebab—kata para psikolog—merasa tidak bermasalah sebenarnya justru sebuah masalah.
Menunaikan panggilan sejarah itu, selain bersyukur, menggugat diri, dan membangun kemauan, kita pun perlu ugahari menyadari sebagai bangsa pembelajar. Kita harus terus belajar berdemokrasi, memberantas korupsi, menghormati hukum, hidup adil, damai, dan bersilaturahim. Melalui jalan itulah kita menemukan masa depan Indonesia.
P ARI SUBAGYO
opini Kompas 28 November 2009