13 November 2009

» Home » Media Indonesia » Diskusi Panel Ahi Media Group Pemberantasan Mafia dan Pemerataan Ekonomi

Diskusi Panel Ahi Media Group Pemberantasan Mafia dan Pemerataan Ekonomi

DIMASUKKANNYA pemberantasan mafia hukum dalam agenda kerja 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono merupakan langkah yang sangat tepat. Hal itu menunjukkan bahwa SBY-Boediono beserta jajarannya sudah menyerap dengan baik tema dan persoalan yang sedang riil berlangsung di masyarakat.

Begitulah wacana yang mengemuka dalam diskusi panel ahli Media Group tentang Analisis 100 Hari SBY-Boediono di Grand Studio Metro TV, Jakarta, Selasa (10/11). Para ahli yang terlibat dalam panel diskusi tersebut adalah Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Firmanzah, pakar lingkungan dari IPB Surjono Hadi Sutjahjo, pakar perminyakan ITB Rudi Rubiandini, pakar ekonomi pertanian Unila Bustanul Arifin, dan Andy Agung Prihatna dari Litbang Media Group. Ada empat sektor yang dibahas dalam panel tersebut, yakni lingkungan hidup, energi, ekonomi, dan pertanian.
Dalam pandangan Firmanzah, pertumbuhan iklim investasi memang sangat bergantung pada kepastian hukum. Persoalannya tinggal bagaimana penerapan dan pengawasannya ke depan. Selain kepastian hukum, pertumbuhan ekonomi pun harus terus dijaga, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Untuk mencapai itu, pemerintah harus menggenjot perekonomian yang merata dan berkeadilan. Daerah penyumbang produk domestik bruto (PDB) nasional masih terlalu terpusat di Pulau Jawa dan Sumatra yang menyumbang PDB 80%. Sumbangan dari Pulau Jawa bahkan mencapai 52% dari total PDB. Jika hal tersebut tidak diperbaiki, jurang antara daerah dan pusat akan terus melebar.

Untuk mencapai pemerataan, pemerintah harus dapat menggenjot sektor riil dan mendorong pengembangan sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Setiap daerah harus diberi ruang lebih untuk mengembangkan produk-produk andalan masing-masing.

Untuk itu, Firmanzah mengemukakan, sektor pembiayaan dari perbankan dan fiskal harus diperkuat. Porsi penyerapan stimulus fiskal perlu ditingkatkan. Pasalnya, saat ini stimulus baru mencapai 62% dan hanya menjangkau 700 ribu jiwa. Padahal, idealnya ada 1,3 juta jiwa yang terjangkau stimulus tersebut.

Jika semua hal tersebut dapat terealisasi, Firmanzah memproyeksikan penerimaan devisa dari ekspor nasional tahun depan dapat tumbuh 3%-4%, atau mencakup 6% dari total PDB.

Ketahanan pangan
Di sektor ketahanan pangan, Bustanul Arifin membawa konsep pengembangan yang mengutamakan empat aspek penting, yakni produksi bahan, perluasan akses masyarakat miskin terhadap pangan, stabilitas harga, dan pemanfaatan. Selama ini, konsep pemerintah akan sektor pangan masih terjebak pada aspek produksi, yakni terbatas pada persoalan menggenjot produksi semaksimal mungkin, dan masih mengabaikan aspek lainnya.

Itu membawa dampak yang sangat dirasakan oleh kaum petani, yakni meski terjadi swasembada pangan, petani tetap saja susah untuk sejahtera. Keberpihakan pemerintah kepada para petani, lanjut Bustanul, sangat penting karena sebagian besar petani Indonesia adalah petani guram atau petani yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare.

Menurut dia, keseimbangan terhadap keempat aspek ketahanan pangan amat penting. Apalagi permintaan kebutuhan pangan nasional terus menunjukkan tren meningkat. Bustanul memproyeksikan kenaikan kebutuhan pangan itu mencapai 4,7% per tahun. Angka tersebut jauh melebihi angka rata-rata laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang sekitar 1,4% per tahun.

Gambaran itu menunjukkan betapa diversifikasi pangan turut berperan penting dalam memperkukuh ketahanan pangan nasional. Sebagai bagian dari perluasan akses masyarakat, laju pertumbuhan penduduk dapat diimbangi dengan kapasitas produksi pangan dalam negeri.

Hal yang tak kalah penting lainnya adalah stabilitas harga. Pemerintah harus terus berupaya menjaga adanya keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan jumlah pasokan di pasar. Harga-harga bahan kebutuhan pokok harus dijaga agar tidak melambung hingga melampaui daya beli masyarakat.

Kecukupan energi
Sementara itu, di bidang energi, Rudi Rubiandini melihat program prioritas pemerintah masih terlalu muluk-muluk. Ia mencontohkan program percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 megawatt, yang menurutnya merupakan program terintegrasi, yang untuk mempercepatnya tidak semudah membalik telapak tangan.

Selain pembangunan pembangkit, pemerintah harus tetap mempertahankan suplai pasokan energi. Percuma jika euforia pembangunan sampai melupakan sokongan energi. Apalagi, tukas Rudi, kini PLN sedang terseok-seok. BUMN penyedia listrik itu sedang mendapat sorotan tajam dari masyarakat, terutama industri dan rumah tangga yang menderita kerugian akibat pemadaman listrik secara bergilir.

Hasil riset Media Group pun menabalkan pendapat tersebut. Sebanyak 56,2% masyarakat tidak yakin pemerintah mampu memetakan kekurangan dan ketersediaan listrik di seluruh provinsi. Margin antara keyakinan dan kepuasan terhadap kecukupan energi listrik pun justru meningkat. Angkanya naik 11,6%, yakni dari -9,0% pada survei per 30 Oktober menjadi -0,6% pada 7 November lalu.

Untuk memperbesar rasio elektrifikasi dan meningkatkan pasokan listrik, dia mendorong pemerintah untuk mulai mengutamakan penggunaan energi baru terbarukan.(Anindityo Wicaksono/X-10)


Opini Media Indonesia  13 November 2009