13 November 2009

» Home » Media Indonesia » Tragedi atau Komedi

Tragedi atau Komedi

KITA kehabisan kata-kata untuk mengekspresikan rasa kesal atau sesal tentang skandal nasional terkait dengan mafia hukum sekarang ini. Selama beberapa minggu dipertontonkan kejanggalan sikap sekelompok elite birokrasi atas sejumlah kasus yang bukan hanya mencakup berbagai jenis korupsi besar, melainkan juga melibatkan masalah seks dan pembunuhan. Untaian cerita yang terkesan mengada-ada membuat Dr Komaruddin Hidayat, anggota Tim 8, menyebutnya mirip cerita Agatha Christie, novelis Inggris (1890-1976) yang terkenal di kalangan penggemar novel di seluruh dunia. Kisah-kisah kriminalnya penuh misteri. Skandal nasional yang sedang terjadi di negeri ini, dan yang sampai saat ini belum jelas bagaimana akhir ceritanya, dianggap mirip karya Agatha Christie. Mudah-mudahan sejarah akan mencatat skandal ini hanya sebagai episode kecil dalam drama kehidupan kita sebagai suatu bangsa.
Kita bisa juga menganalogikan skandal nasional ini dengan pertunjukan drama Yunani berbentuk tragedi atau komedi--dapat disebut tragedi, atau komedi yang tragis. Tragis karena banyak orang tidak bersalah menjadi korban. Disebut komedi karena tokoh-tokoh besar tidak segan mempertontonkan diri dengan perbuatan naif yang tidak masuk akal. Maka agar kita tidak terlalu serius sehingga menjadi kasar dan brutal, lebih baik kita menanggapinya dengan sedikit humor. Rasa humor bisa menjadi sumber toleransi demi menjaga keseimbangan perasaan. Rasa humor juga membantu mengingatkan bahwa kita ini manusia biasa, penuh salah, penuh dosa. Menurut filsuf Yunani Plato (427-374 SM), "Tuhan sajalah yang harus ditanggapi secara serius. Manusia hendaknya ditanggapi dengan rasa humor."

Solusi mengatasi kegusaran
Ungkapan tersebut sekadar usaha untuk meredakan suasana amarah kita bersama. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentu menyadari benar kegusaran masyarakat dan keruwetan hukum dalam penanganan kasus ini. Maka dibentuklah Tim 8 untuk pencarian fakta yang diharapkan bisa melihat perkara ini secara jernih. Kebuntuan dalam proses hukum tersebut memang harus cepat diatasi. Terpilihlah delapan tokoh yang selama ini dianggap terjaga kenetralan, integritas, maupun kejujurannya.

Pernyataan gusar yang ditunjukkan lewat dunia maya dan demo yang marak di mana-mana membutuhkan pengamatan dan penanganan yang bijaksana. Selama yang kecewa dan marah jumlahnya tidak seberapa, tidak perlu dicemaskan dampaknya terhadap sistem politik yang ada. Tetapi kekecewaan yang terus-menerus dan meluas ke mana-mana bisa menjadi akar penentangan terhadap orde politik yang ada. Dalam keadaan demikian, sikap demokratis kadang-kadang mengalami degenerasi dan bisa berubah menjadi sikap ekstrem yang otoriter. Ini yang perlu disadari dan diwaspadai semua pihak. Sejarah modern di mana-mana, termasuk di negeri kita, menunjukkan pada awalnya benih-benih otoriter tidak tampak. Awalnya mungkin saja dimulai dari proses yang sah dalam kerangka pemerintahan demokratis.

Daisaku Ikeda, budayawan dan ahli didik Jepang (1928-...), dalam buku dialog dengan sejarawan Inggris Toynbee (alm) terbitan 1976, menyatakan gerakan Nazi semula diawali partai reaksioner kecil sayap kanan yang memanfaatkan pemilihan demokratis untuk menggapai kekuasaan. Minoritas yang terdiri dari golongan miskin tidak mungkin bisa mengambil kekuasaan. Tetapi, kelas menengah bawah yang merasa tertekan bisa menjadi kekuatan eksplosif. Di Jerman kekuatan seperti itulah yang mendorong Hitler mengambil kekuasaan pada 1930-an. Lahirlah fasisme Jerman waktu itu.

Tentu tidak ada di antara kita yang menginginkan kegusaran masyarakat yang merebak sekarang mendorong tumbuhnya sikap otoriter.

Namun demi ketertiban dan keamanan, bukan mustahil kalau ada pikiran bahwa 'the end justifies the means'. Banyak kalangan politik yang beranggapan cara demikian tidak terelakkan, seperti yang dicontohkan oleh kaum fasis. Namun, bukankah proses mencapai tujuan harus sesuai dengan tujuan akhir yang ingin dicapai? Dalam hal kita tentunya: demokrasi atau kerakyatan yang dilandasi falsafah bangsa. Maka ajakan 'Ganyang Mafia Hukum' mengandung pesan, proses hukum jangan hanya demi kepentingan sekelompok orang. Proses hukum harus sesuai dengan asas demokrasi.

Kepedulian pada kepentingan rakyat
Dalam rangka HUT ke-10 Habibie Center, Prof Dr BJ Habibie di depan kelompok wartawan senior baru-baru ini mengatakan yang paling jauh dari kita adalah 'masa lalu'. Yang dia maksudkan, kita tidak mungkin kembali ke masa yang sudah lewat. Kita harus melihat ke depan dan bersiap diri untuk itu. Pak Habibie benar. Terus mendambakan keagungan masa silam yang sudah hilang, atau sebaliknya menyesali kesalahan masa lalu secara tidak berkesudahan, tidak akan ada gunanya.

Namun, tidak ada salahnya kalau kita mempelajari gejala-gejala yang berkembang di waktu lalu untuk mengambil pelajaran demi masa depan. Misalnya, kemelut KPK-Polri jelas harus segera kita lupakan. Dua lembaga itu, maupun kejaksaan, telah memberi gambaran tentang jaringan kerja sama mereka. Mereka pun menunjukkan betapa keras mereka menjaga kesetiakawanan dan harga diri lembaga masing-masing. Sayangnya dalam perkara ini yang terkesan terabaikan adalah perasaan rakyat--rakyat yang selama ini kepentingannya juga dijaga oleh lembaga-lembaga hukum yang bersangkutan. Rakyat pun jauh di dalam lubuk hatinya tahu, bagaimana mungkin ketertiban, keamanan, dan keadilan bisa terjaga tanpa eksistensi lembaga-lembaga penegak hukum. Lembaga-lembaga itu tentu akan tetap mereka cintai dan dambakan eksistensi maupun wibawanya. Hanya, oknum-oknum yang salah harap diganti.

Dalam hal DPR, rakyat kaget dan kecewa terhadap bagaimana DPR yang belum seumur jagung itu bersikap dalam kemelut ini. Nyata benar keberpihakannya dalam gelar pendapat dengan Polri. Tepuk tangan membahana bukankah terlalu cepat diberikan sebelum didapat pembuktian tuntas siapa benar dan siapa salah? Sikap demonstratif itu bukan hanya menunjukkan tidak adanya empati bagi rakyat yang diwakilinya, melainkan juga tidak ada kepekaan terhadap jalannya proses perkara. DPR, khususnya Komisi III, secara telanjang menunjukkan jati dirinya. Kesan tentang itu rasanya akan jauh lebih lama tertanam dalam pikiran masyarakat daripada ekspose oleh para petinggi Polri sendiri dalam forum yang sama.

Namun, di mana sebenarnya posisi para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam konstelasi pemerintahan demokrasi? Menurut pelajaran ilmu politik yang dijabarkan GA Jacobsen dan MH Lipman, terdapat banyak penafsiran mengenai tugas dan kewajiban anggota dewan. 1) Salah satu teori mengatakan tugas utamanya adalah mewakili para konstituennya dan dalam rangka itu dia mempunyai komitmen untuk menjalankan instruksi dan keinginan konstituen serta menjaga kepentingan mereka. 2) Teori lain mengatakan dia adalah abdi negara dan harus bertindak sebagai wakil seluruh warga negara. Dia harus meninggalkan kepentingan-kepentingan primordial. Karena dia memiliki lebih banyak kesempatan mendapatkan informasi dari pada konstituennya, demi kepentingan konstituen maupun negara dia harus mempunyai penilaian yang independen. 3) Konsep terakhir tentang anggota dewan, dia harus berkonsultasi dan bertindak sesuai dengan kebijakan partainya. Program besar partai harus lebih diutamakan dari pada keyakinan pribadi maupun kepentingan sementara para konstituennya.

Dalam praktik, anggota DPR diharapkan menyesuaikan diri dengan yang disebutkan dalam ketiga teori itu. Dia mungkin tidak akan terpilih lagi jika mengabaikan keinginan para konstituennya mengenai hal-hal yang dianggap penting oleh mayoritas. Karena menyadari tidak mungkin melayani kemauan politik mereka semua, dia akan membantu mereka dalam hubungannya dengan pemerintahan. Tetapi, dia mungkin akan digantikan kandidat lain bila dia tidak mengerti apa dampak terakhir segenap kebijakan politik dan tidak bersikap sebagai negarawan dalam menghadapi problem-problem negara. Setelah mematuhi itu semua, toh dia akan jatuh juga bersama partainya bila dia tidak ikut mendukung partai. Ketiga teori itu bersifat fundamental dalam skema tugas anggota perwakilan rakyat.

Program 100 hari
Bagaimana kemelut skandal nasional ini akan berakhir? Kita tidak mampu menerka atau mereka-reka. Presiden telah menetapkan reformasi di bidang hukum sebagai prioritas program 100 hari kabinet baru. Untuk menegaskannya telah dicanangkan gerakan GM--Ganyang Mafia Hukum. Bahkan telah ditetapkan Kotak Pos 9949, Jakarta 10000, untuk menyalurkan pengaduan rakyat yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap penegakan hukum. Maka 'coute que coute' usaha apa pun tentu akan dilakukan agar skandal nasional ini cepat berhenti. Sebelum 100 hari?

Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 13 November 2009