Selama ini banyak anggota Polri mengklaim diri sudah melindungi masyarakat secara langsung. Padahal pada sisi yang lain ada oknum polisi yang melindungi bandar narkoba dan kejahatan lainnya dengan meminta imbalan.
Di tengah episode Baratayudha antara Polri vs KPK, ada yang mesti direnungkan oleh para petinggi Polri. Citra polisi masih kelam di mata masyarakat. Argumennya sederhana saja, meski pengadilan belum memutuskan Bibit-Candra ada di pihak yang benar atau sebaliknya, toh masyarakat seakan sudah yakin bahwa polisi salah. Apalagi petinggi Polri terkesan begitu arogan dengan perumpamaan hewan.
Dalam dunia marketing, citra adalah modal yang berharga untuk pemasaran. Sehebat apapun mutu sebuah produk, namun jika sudah dicitrakan jelek di mata masyarakat, maka produk itu tidak akan laku. Dan masalah citra itu juga tidak begitu saja berkembang dalam ‘’suasana di ruang hampa’’ atau ‘’ahistoris’’, namun tetap dapat dirunut ke belakang.
Demikian pula dengan citra kepolisian. Meski hanya sebagian kecil saja oknum polisi yang menjadi ‘’penjahat berseragam’’ (yang suka menjadi backing kejahatan hingga membuat dia kaya raya), namun toh masyarakat sudah terlanjur menyamaratakan. Padahal ribuan polisi lainnya sangat santun, jujur dan hidup dalam kondisi yang memprihatinkan.
Ada satu anekdot terkenal berkaitan dengan sosok polisi. Alkisah ada seorang anak berumur tujuh tahun korban tsunami di Aceh yang telah kehilangan orang tua dan saudaranya. Ia lantas mengadukan nasibnya kepada Tuhan dengan jalan menulis surat yang intinya minta dikirimi uang ratusan juta rupiah untuk membeli rumah. Karena Pak Pos melihat surat aneh yang ditujukan kepada Tuhan, ia lantas melaporkan ke polisi. Di sana ada seorang polisi yang baik hati dan tersentuh melihat penderitaan anak itu.
Gaji yang sudah mepet itu pun akhirnya sebagian disumbangkan dan diantarkan sendiri untuk diberikan kepada anak tersebut sambil berkata: ‘’Nak, suratmu dibalas Tuhan dan ini ada uang dari Tuhan itu namun hanya sekadarnya saja, dan maaf tidak dapat untuk membeli rumah’’. Setelah polisi yang baik hati itu pergi, seseorang yang mengurusi penampungan anak-anak korban tsunami itu berkomentar singkat: ‘’Dasar polisi, uang untuk anak yatim sedikit saja masih dikurangi juga!’’ Itulah nasib polisi, meski pada dasarnya ia baik hati, namun karena korps sering mendapat citra negatif, maka ia menjadi korban juga.
Tiga Reformasi Polri Reformasi di tubuh Polri telah berjalan cukup lama, dan selama ini ada tiga aspek yang terus dilakukan, yakni dari aspek struktural, instrumental dan aspek kultural. Untuk aspek struktural tampaknya sudah tidak ada masalah, karena polisi kini telah dipisahkan dengan TNI, demikian pula di tingkat instrumental. Namun untuk aspek kultural, masih memerlukan waktu yang sangat panjang.
Dalam aspek kultural, Polda Jateng sudah mencanangkan Policing with Love, yakni upaya mengubah kultur polisi yang tadinya keras menjadi polisi yang tegas namun humanis. Polisi adalah aparat negara yang juga memiliki tugas yang kompleks. Tidak saja sebagai penegak hukum dan ketertiban, pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat, namun juga harus mampu menegakkan nilai-nilai demokrasi.
Gagasan polisi yang tegas dan humanis tampaknya dilandasi oleh fakta bahwa dalam ajaran agama apa pun, nilai cinta kasih menduduki anak tangga yang paling atas. Karena para polisi juga beragama, maka mestinya untuk menginternalisasikan nilai-nilai cinta kasih dalam tugas keseharian tidaklah terlalu sulit.
Polisi bekerja tidak cukup hanya dengan bekal ‘’kasih sayang’’, namun tentu harus dibarengi dengan profesionalitas. Ukuran prestasi seorang polisi bukan berapa banyak orang jahat yang mampu ia tangkap dan dipenjarakan, namun seberapa jauh ia mampu memelihara dan menjaga ketertiban hukum. Bermutu atau tidak seorang polisi sangat ditentukan oleh seberapa baik sikap dan seberapa tinggi profesionalismenya. Dalam pendidian di kepolisian dikenal sifat jiwa ksatria.
Seorang polisi harus memiliki sikap dan jiwa ksatria. Sikap jiwa ksatria meliputi seberapa jauh komitmen para polisi terhadap profesinya, tingkat ketaatan dan kepatuhan kepada atasan, tanggungjawab, sikap percaya diri, kedisiplinan, loyalitas, dedikasi, dan sebagainya. Sikap ini merupakan modal penting seorang polisi karena ini merupakan pondasi sikap mental. Tanpa sikap-sikap tersebut di atas, sehebat, secerdas dan seprofesional apa pun seorang polisi, tidak akan ada gunanya.
Setelah aspek jiwa ksatria, adalah aspek kearifan harus dimiliki oleh para anggota polisi. Aspek kearifan ini juga merupakan pondasi sikap mental yang penting karena menyangkut sikap religius dan kemampuan menjalin hubungan dengan atasan, bawahan, dan masyarakat. Keterampilan seorang polisi menjalin hubungan baik dengan berbagai pihak tersebut mutlak diperlukan untuk menjalankan tugas sehari-hari karena tugas utama seorang polisi adalah melayani masyarakat dan ikut memecahkan persoalan masyarakat. Tanpa hubungan yang baik sikap yang lainnya juga tidak akan berarti.
Selanjutnya aspek profesionalitas jelas merupakan aspek yang sangat penting artinya bagi seorang polisi. Kalau aspek jiwa ksatria dan aspek kearifan merupakan pondasi sikap mental, maka aspek profesional lebih cenderung ke arah keterampilan psikomotorik. Seorang polisi harus mampu dan terampil dalam menegakkan hukum dengan menerapkan pendekatan akademis dan disiplin ilmu yang ditekuninya.
Tingkat keterampilan yang bersifat psikomotorik, keterampilan manajemen dan administrasi, keterampilan penginderaan dini, dan sebagainya. Di samping itu untuk meningkatkan profesionalisme, motivasi seorang polisi dalam menambah pengetahuan dan membaca buku juga penting artinya dalam menunjang pekerjaan dan tugas sehari-hari.
Jangan Jadi Buaya Keberadaan Polri di tengah-tengah masyarakat mutlak diperlukan selama masyarakat belum mampu mewujudkan ketertiban umum. UU kepolisian no 2 tahun 2002 menyebutkan peran polri sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, serta pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Sebagai aparat penegak hukum menurut
Sadjiono (2008) dengan mendekatkan pada konsep hukum administrasi, norma dasar perilaku penegak hukum menjadi syarat tegaknya hukum, antara lain norma dasar sikap melayani dan tepercaya meliputi kejujuran, kesederhanaan, kecermatan atau kehati-hatian dan keterbukaan. Sebagai figur pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, maka setiap kiprah dan tindakan anggota polri harus dijiwai semangat dan sifat kepribadian seorang penolong.
Selama ini banyak anggota Polri mengklaim diri sudah melindungi masyarakat secara langsung. Misalnya menjaga ketertiban dan keamanan, menyeberangkan jalan, ikut mendorong mobil mogok, membantu dalam bencana alam, tugas pengayom. Padahal pada sisi yang lain ada oknum polisi yang melindungi bandar narkoba dan kejahatan lainnya dengan meminta imbalan. Perbuatan ini jelas akibatnya melebihi teroris karena merusak masa depan bangsa. Apalagi jika kasus rekaman Anggodo itu benar bahwa ada oknum petinggi Polri melakukan tindakan tersebut, maka kiamat negeri ini sudah dekat karena negara ‘’dimakan’’ bersama-sama dengan penjahat. Kalau di pusat sudah demikian, apalagi di daerah, karena ‘’teladan’’ dari atasan.
Karenanya jika sekarang masyarakat marah terhadap Polri, pasti bukan karena insitusinya yang jelek, namun karena ulah oknum, termasuk salah satu petinggi yang mengakui bahwa dirinya ‘’buaya’’. Padahal buaya itu berkonotasi jelek. Sejarah menunjukkan bahwa kemarahan yang terus-menerus dipendam, akan menjadi people power. Sejarah telah membuktikannya. (80)
—Saratri Wilonoyudho, penerima penghargaan dari Kapolda Jawa Tengah atas tulisannya tentang Polri.
Opini Suara Merdeka 13 November 2009