13 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Mengurusi Aliran Sesat

Mengurusi Aliran Sesat

Majelis Ulama Islam (MUI) Kudus menetapkan aliran Sabdo Kusumo di Desa Kauman, Kecamatan Kota sebagai sesat karena melafalkan syahadat yang berbeda, yaitu Asyhadu anlaa ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Sabdo Kusumo rasulullah (SM, 12/11/09). Kata Muhammad diganti dengan Sabdo Kusumo, yang jelas-jelas mengandaikan rasul baru. Ketidaklaziman ini tentu dengan mudah mendorong pihak berwenang untuk mengambil tindakan agar keresahan sosial tak meruyak.

Ada dua hal penting yang perlu ditelusuri dari peristiwa di atas, yaitu kemapanan ajaran agama dan stabilitas sosial. Islam telah mengandaikan dasar-dasar normatif yang jelas berkait dengan kredo. Muhammad dianggap nabi terakhir. Jika ada aliran yang menyatakan ada nabi baru, maka otoritas agama segera meminta diusut dan menuntut aparat untuk mengambil tindakan agar tidak menimbulkan gejolak sosial. Pembiaran aliran yang dianggat sesat ini dikhawatirkan menimbulkan tindakan kekerasan.


Sejatinya, aliran sesat bukan fenomena baru. Sejak zaman awal Islam di Nusantara, kelompok-kelompok yang menyimpang ini telah hadir sebagai otokritik terhadap praktik keagamaan pada waktu itu. Segelintir penganutnya tidak menemukan kedamaian dari agama yang dirayakan oleh penguasa dan pengawalnya. Tentu, pihak berwenang dengan mudah menumpas gerakan sempalan ini sembari menabalkan dirinya telah memelihara ajaran suci. Tapi, benarkah?

Menemukan Pemicu Saifullah Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Timur, berkomentar bahwa pemicu tumbuhnya aliran sesat karena faktor pendidikan rendah dan kesulitan ekonomi, yakni dengan merujuk pada kasus Santriloka (Detik, 31/10/09). Gus Aan, sang pendiri aliran yang berbasis di Mojokerto ini, tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang meyakinkan, demikian pula pengikut ajarannya adalah orang kebanyakan yang secara ekonomi lemah. Meskipun dua faktor ini bukan merupakan variabel mutlak, namun ekonomi dan pendidikan memegang posisi penting dalam membentuk kesadaran agama seseorang, bahkan lebih jauh lagi, politik, sosial dan kebudayaan.

Mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal itu menawarkan jalan keluar dari kusut masai ini dengan mendorong pesantren untuk meningkatkan bimbingan keagamaan dan mengefektifkan peran pemerintah dalam mengembangkan perekonomian masyarakat. Tampak secara tersirat pernyataan ini bisa ditafsirkan bahwa praktik sesat itu muncul disebabkan pengawal agama gagal memberikan pemahaman yang bisa diterima oleh khalayak dan masa yang sama kegagalan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dalam bidang sandang-pangan, papan, pendidikan dan kesehatan.

Jadi, tindakan keras yang dilakukan pihak berwenang adalah tidak adil karena kesalahan itu tidak sepenuhnya ditanggung oleh kelompok yang mengamalkan ajaran baru yang dianggap telah menyimpang. Jika orang pintar dan orang kaya yang menduduki jabatan elite di agama dan pemerintahan membiarkan aliran sesat dihakimi oleh massa, maka sejatinya mereka menutupi kelemahannya karena tidak mampu menjalankan amanah dan tanggungjawab mengurus umat. Adalah zalim menghukum mereka yang lemah, sementara mereka yang memanggul amanah tak dihukum karena gagal menunaikan tugasnya.

Tugas Bersama Dari kenyataan sederhana di atas, masalah aliran sesat tidak semata-mata berkait dengan ajaran normatif, tetapi juga berkait dengan kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Mengurai benang kusut ini tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pendekatan keagamaan an sich hanya akan menimbulkan benturan dan penolakan dari kelompok terkait. Upaya Departemen Agama Kudus untuk meminta keterangan Sabdo Kusumo adalah langkah bijak agar tercipta dialog antara pemegang otoritas dan masyarakat. Menekan Sabdo Kusumo dengan keras hanya akan mengurangi wibawa, karena kelompok semacam ini sebenarnya tidak mendapat dukungan masyarakat luas dan lemah secara politik dan ekonomi.

Justeru para agamawan sepatutnya mendorong ajaran-ajaran progresif Kitab Suci berkait dengan pembelaan terhadap kaum dhuafa (miskin miskin), baik ekonomi maupun pengetahuan, untuk mendapatkan perhatian semua pihak. Tentu instrumen ajaran yang layak mendapatkan pertimbangan adalah pemberdayaan zakat. Sayangnya, fungsi sosial dari rukun Islam yang ketiga ini tidak berjalan secara maksimal karena tidak diurus secara profesional. Oleh karena itu, tugas seperti ini seharusnya melibatkan kelompok-kelompok lain, seperti ekonom, dan ilmuwan sosial. Kesadaran semacam ini penting untuk menumbuhkan semangat kebersamaan dan mengelak menimpakan kesalahan pada satu kelompok.

Secara psikologis, para pengikut ajaran sesat menemukan kedekatan emosional dengan ajaran baru karena pemimpinnya bisa duduk bersama mereka. Interaksi semacam ini tentu menimbulkan hubungan batin yang mendalam karena secara fisik mereka berada dalam satu tempat, berbeda dengan kebanyakan para pemimpin keagamaan yang terlalu sibuk dengan dunia panggung dan tradisi feodalisme yang menghalangi hubungan akrab dengan orang kebanyakan. Selagi para pemimpin keagamaan menempatkan dirinya sebagai raja di tengah-tengah kehidupan sehari-hari masyarakat, maka umat yang terabaikan itu akan mencari pemimpin yang mau mendengar kegundahan mereka tanpa harus direcoki dengan hierarki. (80)

—Ahmad Sahidah, PhD, postdoctoral research fellow di Universitas Sains Malaysia
Opini Suara Merdeka-Jum'at, 13 Nopember 2009