13 November 2009

» Home » Bisnis Indonesia » Infrastructure sharing di industri telekomunikasi Jangan ragu untuk menerbitkan aturan main yang akomodatif

Infrastructure sharing di industri telekomunikasi Jangan ragu untuk menerbitkan aturan main yang akomodatif

Babak baru model bisnis telekomunikasi di Indonesia telah dimulai. Dicapainya kesepakatan antara PT Natrindo Telepon Seluler (Axis) dan PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL) tentang jelajah (roaming) domestik telah menandai era baru ini.

Dengan kesepakatan ini, berarti pelanggan Axis akan dapat dilayani dengan menggunakan jaringan XL, ketika pelanggan berada di wilayah di mana sinyal Axis tidak/belum tersedia di wilayah itu, dan sebaliknya.
Kesepakatan ini merupakan terobosan yang fenomenal, mengingat selama ini belum pernah diterapkan di Indonesia. Di tataran internasional, kesepakatan serupa sudah lama dilakukan, dengan adanya international roaming agreement antaroperator.

Selain dengan pola jelajah, dalam tataran layanan (services) pun juga sudah lama diterapkan di negara lain, yaitu yang dikenal dengan konsep mobile virtual network operator (MVNO).

MVNO memiliki gradasi penerapan yang sangat bervariasi, mulai dari sekadar penjualan jasa telematika yang sederhana, sampai dengan kesepakatan MVNO yang sudah mendekati kesepakatan di level jaringan. Di Indonesia, baik MVNO maupun jelajah domestik antaroperator belum pernah diberlakukan.

Implikasi terhadap industri secara keseluruhan atas kesepakatan ini sangatlah signifikan. Mulai dari aspek internal masing-masing operator maupun aspek lain yang ditinjau dari sisi optimalisasi sumber daya.

Faktor yang menjadi kendala sulitnya kesepakatan semacam ini lebih banyak disebabkan oleh pertimbangan internal masing-masing operator. Secara regulasi di Indonesia, kesepakatan semacam ini memang belum diatur secara khusus dan detail.

Salah satu persyaratan terjadinya kesepakatan ini adalah tercapainya kesepakatan di tingkat bisnis (business deal) yang sifatnya win-win. Hal ini hanya mudah dalam tataran konsep, sementara di tataran implementasi sungguh tidak gampang.

Dari sisi operator, kesepakatan roaming nasional tentu membawa konsekuensi yang serius, terutama bagi operator besar yang memiliki cakupan layanan yang luas, serta jumlah pelanggan yang besar.

Pertama, sejak lahirnya industri ini, daya cakup (coverage) suatu operator telah menjadi value yang sangat penting. Keluasan coverage menjadi faktor utama dan menjadi faktor yang paling bisa "dijual" kepada calon pelanggan.

Kedua, memberikan kesempatan operator lain (kompetitor) untuk memanfaatkan jaringannya, sering diartikan sebagai memfasilitasi kompetitornya. Tentu hal ini tidak cukup masuk akal dari kacamata kompetisi konvensional, terutama di tataran ritel.

Paradigma lama tersebut tampaknya sudah mulai menemukan titik koreksi. Para operator mulai sadar bahwa seiring dengan kematangan industri ini, fokus utama bisnis bukan lagi sekadar 'berperang' di tataran ritel, melainkan sudah harus mulai diarahkan ke bisnis wholesale dan konten serta sistem aplikasi.

Pembangunan infrastruktur yang dilakukan secara masif selama ini telah menguras sumber daya finansial operator. Di sisi lain average revenue per user (ARPU) teleponi dasar semakin hari semakin menurun.

Kondisi ini-mau tidak mau-telah memaksa operator untuk melakukan optimalisasi di sisi pemanfaatan sumber daya. Artinya, kapasitas idle yang dimiliki akan lebih berdaya guna apabila dapat dijual dalam bentuk nonkonvensional.

Salah satu jalan keluarnya adalah dengan menjual kapasitas idle tersebut kepada kompetitor yang membutuhkan cakupan layanan. Baik dalam bentuk MVNO maupun kesepakatan roaming domestik.

Dari sisi yang lain, kesepakatan ini tentunya dapat menjadi salah satu jawaban atas permasalahan alokasi frekuensi selama ini. Dengan cara ini para operator dapat melakukan ekspansi tanpa perlu menambah alokasi frekuensi, yang ketersediaannya memang sudah terbatas.

Manfaat lain yang diperoleh dari kesepakatan ini adalah dihematnya belanja modal (capex). Selama ini, semua operator membangun jaringannya sendiri-sendiri. Akibatnya, di suatu wilayah yang sama telah terpasang berlapis-lapis jaringan yang secara solitaire telah tumpang tindih (overlapping).

Ditinjau dari tingkat okupansinya, tidak semua jaringan yang dibangun itu telah dimanfaatkan secara optimal. Akibat selanjutnya juga menyentuh sampai ke kompetisi di tingkat ritel.

Fenomena perang tarif on-net misalnya, salah satu penyumbangnya adalah adanya kapasitas yang idle ini. Tanpa adanya kapasitas idle, maka operator tidak pernah berani menawarkan harga ritel on-net yang begitu murahnya, sampai lebih rendah dibandingkan cost based-nya, atau bahkan sampai menggratiskan percakapan on-net pada saat-saat tertentu.

Perspektif pelanggan

Dari sisi konsumen, kesepakatan ini tentu saja membawa dampak. Baik positif maupun negatif. Bagi pelanggan 'operator penumpang', tentu akan memperoleh manfaat berupa coverage yang lebih luas.

Selain dampak positif ini, tentu juga mengandung dampak negatif, terutama yang berkaitan dengan tarif ritel layanan.

Kesepakatan ini tentu tidak terjadi secara gratis, pasti ada konsekuensi biaya yang harus ditanggung oleh 'operator penumpang' atas pemanfaatan jaringan mitranya. Konsekuensi ini tentunya akan digeser kepada konsumen berupa naiknya tarif layanan, minimal sebagai pengganti 'biaya roaming.

Sementara itu, bagi pelanggan "operator yang ditumpangi" secara tarif mungkin tidak akan terpengaruh, kecuali jika hal ini kemudian menyebabkan okupansi jaringan menjadi padat tak terkendali, sehingga kualitas menjadi menurun.

Secara teknis, risiko tumbangnya jaringan akibat kelebihan beban ini tentu sudah diantisipasi. Yang bisa dilakukan operator pemilik jaringan adalah melakukan simulasi dan perhitungan, sehingga dapat diketahui berapa persen kapasitas yang bisa dijual kepada operator lain.

Dengan perhitungan yang matang ini, baik oleh operator pemilik jaringan maupun operator penumpang, maka akan diperoleh titik optimal di mana pelanggan akan menikmati manfaat yang optimal dengan risiko kenaikan tarif ritel minimal.

Kesepakatan semacam ini sebenarnya tidak murni sharing infrastruktur. Terdapat sumber daya publik yang turut 'diperjual-belikan' dalam kesepakatan ini, yaitu spektrum frekuensi radio. Oleh karena itu, keterlibatan regulator dalam fenomena ini mutlak diperlukan. Terlebih lagi yang menjadi sasaran akhir dari kesepakatan ini adalah kepentingan konsumen.

Dari sisi yang lain, menurut perkiraan saya, kesepakatan yang dilakukan para operator semacam ini tentu juga berimplikasi bagi pundi-pundi kas negara. Selama rezim BHP frekuensi masih berdasarkan kebijakan eksisting, maka pemanfaatan kanal baru harusnya juga menambah pemasukan bagi kas negara.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, seharusnya regulator tidak perlu ragu-ragu untuk menerbitkan aturan main yang akomodatif dan aspiratif, yang bisa mewadahi dinamika terbaru.

Jangan sampai keterlambatan regulasi akan menyebabkan kondisi di lapangan menjadi tidak terkendali (chaos), berlama-lama dalam kondisi grey area, yang tidak menutup kemungkinan munculnya kriminalisasi sebagaimana yang pernah terjadi beberapa tahun lalu.

Oleh Hery Nugroho

Mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia2003-2008.
Opini Bisnis Indonesia 13 November 2009