21 Oktober 2009

» Home » Kompas » Tiga Agenda Mendagri Baru

Tiga Agenda Mendagri Baru

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih Gamawan Fauzi, mantan Gubernur Sumatera Barat, sebagai Mendagri dalam Kabinet Indonesia Bersatu 2009-2014. Meski agak mengejutkan, pilihan itu patut diapresiasi karena beberapa alasan.


Pertama, terpilihnya Gamawan sebagai tokoh sipil terbilang bersejarah karena selama ini pemerintahan dalam negeri kita ”kental” dengan kepemimpinan militer. Kita berharap, dasar pertimbangannya bersifat paradigmatis: bergesernya mandat inti Departemen Dalam Negeri sebagai pembina politik ke peran manajemen kebijakan di bidang otonomi daerah, fasilitasi/dukungan pemilu, dan seterusnya.
Kedua, seperti Mendagri 2007-2009, Presiden memilih tokoh yang sedang menjabat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berbekal pengalaman itu, Mendagri diharapkan tidak perlu waktu lama untuk mengenali peta masalah pengelolaan pemerintahan dalam negeri, khususnya isu-isu otonomi daerah.
Ketiga, sosok Gamawan yang merupakan ikon reformasi governansi yang bersih dan inovatif, baik di Sumatera Barat maupun saat menjabat Bupati Solok. Pascatransisi desentralisasi delapan tahun, kini kita menapaki fase konsolidasi otonomi, yang mensyaratkan visi kepemimpinan inovatif dalam menjamin tumbuhnya kreativitas birokrasi di ranah lokal.
Agenda 100 hari
Dalam terang optimisme semacam itu, publik berharap Mendagri mampu menangani berbagai agenda prioritas (jangka pendek) maupun arah kebijakan (jangka menengah) ke depan. Terkait kebijakan desentralisasi dan penyelenggaraan pemerintahan daerah, ada tiga agenda (masalah) krusial yang harus ditargetkan beres dalam kalender 100 hari ke depan.
Pertama, persiapan gelombang kedua pemilihan kepala daerah. Tahun 2010, ada 246 daerah melaksanakan pilkada. Sebagian harus sudah memulai tahap awal rangkaian persiapan pada November 2009. Di sisi lain, hingga hari ini, banyak ketidakjelasan dan ketidaksiapan, baik kerangka legal/regulasi, dukungan anggaran (alokasi APBD), aparat pelaksana (mekanisme pembentukan Panwas Pilkada), sumber data pemilih, dan lainnya. Dalam semua masalah itu, peran dan tanggung jawab Depdagri amat besar (pilkada sebagai bagian rezim pemerintahan daerah).
Ihwal dukungan anggaran, misalnya. Ketiadaan alokasi bagi pelaksanaan pilkada dalam APBD 2009 menuntut keputusan kebijakan Mendagri agar memungkinkan daerah melakukan penyesuaian darurat (APBD-P) di luar siklus normal yang seharusnya dikerjakan paling lambat September lalu. Tanpa langkah politik itu, daerah sulit melakukan perubahan anggaran dan pilkada terancam tertunda. Alternatif lebih jauh, jika segenap persiapan tak bisa dibereskan, pilkada akan tertunda dan berdampak pada implikasi hukum dan politik.
Kedua, problem tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional anggota DPRD 2004-2009. Akar masalahnya adalah kerangka regulasi pusat yang kerap berganti, tak jelas, bertabrakan: dari PP No 24/2004, PP No 35/2006, PP No 37/2006, PP No 21/2007, SE Mendagri No 700/08/ SJ, hingga SE Mendagri No 555/3032/SJ. Alhasil, anggota DPRD 2004-2009 kembali mengulang pengalaman periode sebelumnya (1999-2004), terancam tindak pidana korupsi.
Terlihat jelas jebakan korupsi ”legal” dalam kasus ini adalah murni kesalahan pusat, dengan implikasi anggaran dan akibat hukum yang sepenuhnya ditanggung daerah. Pihak daerah hanya melakukan apa yang sudah diatur, yakni membayar rapelan tunjangan komunikasi dan dana operasional, yang ironisnya minta dikembalikan secara mencicil. Mendagri baru menghadapi pekerjaan rumah amat pelik karena apa pun keputusan yang akan diambil relatif sama risikonya bagi daerah.
Ketiga, ritual berulang pemekaran wilayah. Setelah setahun memasuki masa moratorium, awal Oktober Presiden mengirim surat dan menyilakan DPR mengajukan usul RUU pembentukan daerah otonom baru. Pada putaran pertama pascapelantikan presiden-wapres nanti, tidak kurang 20 calon daerah otonom baru siap diproses penyusunan RUU pembentukannya.
Gelombang baru ini tak mengejutkan karena jeda pemekaran itu bukan hasil desain terencana, di mana ada dasar hukum atau manajemen kebijakan khusus, tetapi terpaksa karena faktor kondisional tragedi Medan dan persiapan Pemilu 2009.
Kini, sikap Mendagri diuji publik. Secara subyektif-politik harus searah dengan Presiden/DPR yang harus memenuhi utang janji pemekaran dalam kampanye pemilu lalu. Di sisi lain, fakta obyektif menunjukkan, hasil pemekaran lebih banyak membawa mudarat. Bahkan, menurut Lemhannas, sekitar 80 persen daerah otonom baru masuk kategori daerah gagal. Koreksi tuntas harus dimulai dari level manajemen kebijakan: dari hulu (penyiapan kerangka besar), tahapan proses (supervisi), hingga hilir (evaluasi). Tanpa pembenahan kebijakan, jeda pemekaran justru harus diperpanjang lagi.
Berbagai masalah itu berskala kompleks, tetapi perlu segera diselesaikan. Suatu tantangan yang tentu jauh dari enteng dan rasanya Mendagri tak punya kemewahan waktu untuk berbulan madu dengan jabatan baru. Melihat berbagai modal awal itu, publik berharap hasil lebih dari Gamawan Fauzi.

Robert Endi Jaweng Manajer Hubungan Eksternal Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta
Opini Kompas 22 Oktober 2009