21 Oktober 2009

» Home » Media Indonesia » Koalisi Birokrasi Perpajakan

Koalisi Birokrasi Perpajakan

USAI sudah Pemilu dan Pemilihan Presiden 2009. Partai Demokrat keluar sebagai pemenang dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali terpilih sebagai presiden. Langkah berikutnya adalah menata kehidupan. Tidak ada lagi waktu untuk berbulan madu bersama partai koalisi.

Rakyat tak sabar lagi menunggu realisasi janji-janji kampanye. Yang ditunggu pun mulai datang melalui berbagai program kerja. Dalam sidang paripurna DPD beberapa waktu lalu, Presiden Yudhoyono berjanji akan menyelesaikan reformasi birokrasi tahun 2011. Janji tersebut dikemas dalam moto, "Segalanya untuk rakyat dan pembangunan untuk semua."

Prinsip dasar dari janji itu adalah negara memastikan tak akan ada lagi kelompok masyarakat yang tertinggal dalam proses pembangunan. Strategi mewujudkannya mencakup pembangunan yang menjamin pemerataan keadilan, menghormati keberagaman, berdimensi kewilayahan dengan keunggulan komparatif, dan integrasi ekonomi nasional.

Ongkos reformasi
Ketersediaan dana merupakan kata kunci untuk mendorong reformasi birokrasi, khususnya dalam meningkatkan gaji pegawai. Sumber dana bisa berasal dari pajak dan pinjaman atau kombinasi keduanya, baik dari dalam maupun luar negeri.

Dalam hitungan kasar, andaikan gaji pegawai naik dua kali lipat dari 2009, negara harus menyediakan anggaran Rp280 triliun belum termasuk belanja barang dan modal untuk perbaikan sistem birokrasi. Jika diperkirakan separo saja dari APBN 2009, anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp81,5 triliun sehingga total ongkos reformasi birokrasi Rp361,5 triliun. Dalam persentase, jumlah itu mencapai 50,52% dari target penerimaan pajak 2010 sebesar Rp715,5 triliun.

Maka itu, model dan tahapan reformasi harus disesuaikan dengan ketersediaan dana dan melalui skema kegiatan yang ketat. Ongkos reformasi harus menjadi pertimbangan sangat serius bagi tiap-tiap pejabat negara dalam mengatur jadwal reformasinya.

Dengan melihat kondisi saat ini dengan pertumbuhan penduduk tak terkendali dan perusahaan-perusahaan besar kesulitan melunasi pajak sehingga ketersediaan anggaran sangat terbatas, muncul pertanyaan bagaimana dengan ongkos reformasi 2011?

Salah satu solusi yang menarik dipertimbangkan adalah melalui pemasukan pajak, penyumbang terbesar APBN kita. Seluruh aparatur pemerintahan harus mulai menggalang dana dengan mengubah pola penggalian potensi dengan memperluas cakupan pajak. Selama ini pajak hanya ditopang perusahaan besar. Namun, krisis global akan berdampak negatif terhadap penerimaan pajak. Karena itu, sumber pajak harus segera 'dibelokkan' dan diperluas.

Kita masih ingat bahwa perekonomian yang bertahan saat krisis adalah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Sektor UMKM juga menyimpan potensi pajak yang besar dan kontribusinya sekitar Rp2.517 triliun atau 53,6% dari produk domestik bruto. Dengan rasio pajak 13%, akan ada potensi pajak Rp327,2 triliun. Saat ini sumber pajak dari UMKM baru 12% (Rp85,9 triliun), berarti ada potensi belum tergali sebesar Rp241,3 triliun.

Untuk mengumpulkan dana yang 'tercecer' itu, salah satu tawaran menarik adalah dengan metode koalisi birokrasi. Jika partai bisa berkoalisi, kenapa birokrasi tidak? Dengan metode itu, birokrasi daerah dan pusat serta unsur birokrasi lainnya berkoordinasi mengintegrasikan semua potensi ekonomi. Bentuknya bisa disepakati bersama, tetapi yang terpenting ada sistem operasi yang jelas.

Koalisi dimulai dari kecamatan, pemerintah kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat. Fungsinya sebagai perantara bisnis yang mengendalikan pertumbuhan serta pemenuhan seluruh hak dan kewajiban UMKM. Untuk itu, UMKM dijamin mendapat kemudahan akses dan fasilitas.

Untuk mencapai hasil optimal, setidaknya diperlukan tiga syarat. Pertama, koalisi birokrasi harus bisa bekerja sungguh-sungguh. Kedua, birokrat dapat melepaskan diri dari mitos bahwa koordinasi adalah barang mahal. Ketiga, semua kegiatan koalisi harus transparan dan akuntabel. Hal penting lainnya, pengaturan di tingkat pusat mesti sejalan dengan institusi teknis terkait yang berkoalisi di level daerah.

Capaian hasil
Populasi UMKM kini diperkirakan mencapai 50,7 juta unit usaha, tetapi baru 5,3 juta yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Tugas awal koalisi birokrasi adalah memastikan seluruh UMKM masuk sistem perpajakan. Jika koalisi bekerja baik, pada 2010-2012 ada tambahan pemasukan pajak dari UMKM masing-masing 10,45 juta (20,61% dari sekarang), 12,02 juta (23,71% dari sekarang, pertumbuhan 15% dari tahun sebelumnya), dan 13,22 juta (26,08% dari sekarang, pertumbuhan 10% dari tahun sebelumnya).

Dengan angka yang tidak muluk-muluk, tambahan pajak yang dapat digali dari ekstensifikasi 2010 hingga 2011 masing-masing Rp52 triliun (jika rata-rata Rp5 juta), Rp90 triliun (rata-rata Rp7,5 juta), dan Rp132 triliun (rata-rata Rp10 juta). Angka-angka itu masih dapat dielaborasi sesuai dengan tingkat keseriusan kinerja koalisi.

Seiring dengan itu, kalangan UMKM juga memperoleh peningkatan nilai-nilai, seperti menguatnya jiwa kewirausahaan, terkikisnya perilaku instan, lebih produktif, ada sikap kompetitif, lebih terintegrasi, dan cenderung berdimensi kewilayahan. Pola itu juga memacu percepatan kenaikan kelas wirausaha dari lokal ke regional, nasional, dan internasional.

Hasil lain adalah ada selter bagi UMKM, penurunan angka kriminal dan biaya sosial, serta aparatur yang bersih dan berwibawa. Juga, mendorong transparansi nasional dan meninggalkan budaya egosektoral. Akhirnya, mari bersama membangun bangsa.

oleh Robby Tampubolon, Kepala KPP Pratama Jepara, Jawa Tengah
Opini Media Indonesia 22 Oktober 2009