21 Oktober 2009

» Home » Okezone » Catatan dari Uji Kelayakan

Catatan dari Uji Kelayakan

Sejak akhir minggu lalu, berita di berbagai media massa cetak maupun elektronik sarat dengan tayangan langsung dan diskusi seputar uji kelayakan anggota Kabinet Indonesia Bersatu (KBI) II yang dilakukan pasangan SBY-Boediono.
Uji kelayakan untuk pejabat publik setingkat menteri memang sangat penting. Selain diharapkan dapat memberi kemantapan bagi pemberi mandat, juga akan menumbuhkan kepercayaan publik karena para menteri dipilih melalui seleksi ketat. Sederet nama dan posisi menteri telah beredar di masyarakat.

Namun, Senin malam Presiden SBY justru membuka kesempatan masyarakat untuk menilai dan mengomentari sosok yang telah terseleksi tersebut. Padahal, direncanakan Presiden SBY akan mengumumkan tim kabinetnya pada hari Rabu 22 Oktober 2009. Pernyataan Presiden SBY justru dapat menimbulkan tanda tanya di masyarakat karena Presiden memiliki hak penuh untuk menetapkan kabinetnya.

Apalagi telah dilakukan serangkaian seleksi. Dalam melakukan uji kelayakan ada dua hal penting yang harus menjadi dasar, pertama, visi dan misi serta target yang jelas dari Presiden dan Wapres tentang apa yang akan dicapai dalam lima tahun ke depan. Kedua, evaluasi kinerja serta rekam jejak para calon menteri yang pernah tergabung dalam KIB I. Presiden SBY tidak perlu meminta penilaian dan persetujuan masyarakat karena Presidenlah yang dapat menilai apakah seseorang tepat untuk mewujudkan visi dan misinya.

Visi Misi Bukan Kunci

Lima tahun lalu kementerian perindustrian telah dipimpin oleh praktisi industri. Sebagai seorang pelaku usaha, sang menteri sudah tentu cukup paham seluk beluk masalah yang selama ini dihadapinya. Namun hal tersebut ternyata tidak cukup. Terbukti seorang menteri perindustrian tidak cukup sekadar berbekal daftar masalah yang ada selama ini.

Yang lebih diperlukan adalah kemampuan untuk merumuskan strategi dengan meramu berbagai kebijakan ekonomi untuk menyelesaikan masalah. Untuk melakukan seleksi calon menteri perindustrian KIB II, SBY-Boediono harus yakin bahwa sang calon memahami strategi industri yang harus dilakukan untuk menyelesaikan berbagai masalah industri saat ini.

Indonesia tengah menghadapi percepatan deindustrialisasi sejak 2005 yang ditandai dengan pertumbuhan sektor manufaktur yang semakin lambat. Kecenderungan ini mengindikasikan semakin lemahnya daya saing industri nasional. Ada banyak faktor penyebab. Struktur industri Indonesia yang shallow (dangkal) dan tidak disokong supporting industry (industri pendukung) telah mengakibatkan kandungan bahan impor berbagai produk industri tetap tinggi.

Akibatnya, sektor industri nasional menjadi kurang atraktif bagi para calon investor. Bahkan existing investor akan dengan mudah memindahkan investasinya ke negara lain karena bisnis mereka tidak memiliki keterkaitan erat dengan industri pendukung di dalam negeri. Sebelum melakukan uji kelayakan, Presiden SBY dan Boediono harus menentukan visi dan misi serta target yang jelas dalam mengembangkan sektor ini.

Peta masalah yang disimpulkan SBY-Boediono boleh jadi sama dengan apa yang telah dipaparkan di atas. Akan tetapi solusi bisa jadi berbeda saat paradigma yang diusung berbeda. Dalam mengembangkan industri, SBY-Boediono memiliki dua pilihan. Pertama, memiliki visi untuk menjadikan sektor industri sebagai backbone (tulang punggung) ekonomi Indonesia yang mandiri.

Untuk mewujudkan sektor industri sebagai dasar kemandirian ekonomi, pengembangan industri akan dilakukan dengan membangun industri pengolahan barang setengah jadi dan produk akhir (barang jadi). Kedua, cukup menjadikan sektor industri sebagai penyangga kemajuan industri global.

Implikasi dari kedua pilihan tersebut tentu berbeda. Sebagai penyangga industri global, Indonesia dapat mengambil bagian hanya sebagai pemasok tenaga kerja murah atau berkonsentrasi sebagai penyuplai bahan baku sumber daya alam bagi industri-industri maju dunia. Di sisi lain, industri nasional tidak berkembang dan Indonesia hanya menjadi pasar produk-produk impor.

Salah satu konsekuensinya adalah penyerapan tenaga kerja yang tidak optimal. Bila SBY-Boediono memilih alternatif pertama, dalam audisi sang calon menteri perindustrian akan dicecar dengan berbagai pertanyaan untuk menggali strategi kebijakan yang ditawarkan agar industri nasional yang kompetitif dan produktif dapat terwujud.

Kebijakan terobosan apa yang akan diterapkan untuk membangun industri pengolahan nasional. Ide kebijakan apa yang akan dilakukan untuk meningkatkan daya saing industri, baik strategi untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas sehingga dapat menekan biaya produksi maupun strategi untuk menekan biaya produksi per unit dengan cara mengembangkan pasar yang lebih luas, baik di dalam maupun luar negeri.

Namun, sebaliknya, bila yang menjadi visi SBY-Boediono adalah alternatif kedua, uji kelayakan yang harus dilakukan tidak perlu terlalu mendalam karena hanya melanjutkan liberalisasi industri tanpa industrial policyseperti yang terjadi selama ini.

Tidak diperlukan seorang calon menteri yang memahami masalah sekaligus memiliki karakter street smart yang berarti memiliki kecerdasan dalam meramu kebijakan konkret dan implementatif seperti membangun industri pengolahan berbasis kekayaan sumber daya alam yang melimpah.

Kinerja Bukan Pertimbangan

Uji kelayakan akan berbeda dan semestinya menjadi lebih mudah saat sang calon pernah menjabat dalam pos kementerian yang sama. Kinerja masa lalu menjadi faktor pertimbangan yang sangat penting. Sebagai contoh saat SBY-Boediono meminta menteri keuangan lama untuk kembali menduduki posnya, ukuran yang seharusnya adalah apakah sang menteri telah dapat mengelola kebijakan fiskal dengan baik sehingga keuangan negara telah dimanfaatkan secara maksimal untuk menstimulasi ekonomi secara luas.

Bila selama menjabat yang terjadi justru lemahnya manajemen fiskal, semestinya hal ini menjadi pertimbangan penting untuk tidak menempatkan sang menteri pada pos sebelumnya. Sudah sering saya tuliskan bahwa selama lima tahun terakhir pengelolaan kebijakan fiskal sangat lemah sehingga mengakibatkan realisasi anggaran tertumpuk di akhir tahun.

Hingga semester pertama tingkat realisasi selalu di bawah 20% dan pada akhir Oktober rata-rata masih di bawah 60%. Akibatnya, kemampuan APBN untuk menstimulasi ekonomi menjadi berkurang. Hal lain yang patut dipertanyakan adalah kompetensi dalam mengelola pembiayaan. Pertama, pada tahun anggaran 2008 pembiayaan defisit mengalami kelebihan sebesar Rp51 triliun yang kemudian menjadi SILPA.

Pada APBN 2009 hal yang sama berpotensi berulang karena sampai dengan bulan Oktober, terdapat kelebihan pembiayaan defisit sebesar Rp30 triliun. Kedua, suku bunga obligasi dolar pemerintah Indonesia sangat tinggi hingga mendekati 13%. Meskipun saat ini obligasi dengan tenor 10 tahun mulai turun di kisaran 10%, angka tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan misalnya dengan Malaysia (4,3%) dan Singapura (2,6%).

Bahkan perusahaan swasta seperti Adaro saja mampu menerbitkan obligasi dolar dengan suku bunga hanya 7,625% atau PLN yang juga menerbitkan obligasi dengan suku bunga lebih rendah. Konsekuensinya beban yang ditanggung APBN untuk membayar yield tersebut makin berat. Padahal, jika dikelola dengan baik, suku bunga obligasi pemerintah semestinya dapat lebih rendah.

Apalagi investor kemudian berpotensi untuk berbondong-bondong memindahkan dananya pada obligasi dolar pemerintah sehingga menyulitkan sektor riil untuk melakukan ekspansi usaha? Namun, faktor kompetensi, kesamaan visi, dan kinerja calon menteri rasanya bukan menjadi faktor penting dalam seleksi anggota kabinet SBY-Boediono.

Jangan-jangan uji kelayakan yang telah menyita perhatian publik selama berhari-hari memang bukan arena mencari the right man untuk mewujudkan kebangkitan dan kemandirian ekonomi, tetapi hanya bagian dari penciptaan citra bahwa pasangan SBY-Boediono telah berusaha sangat keras.(*)

Hendri Saparini
Direktur Econit 
   
Opini Okezone 21 Oktober 2009