Pada 5 Oktober 2009 ini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) merayakan HUT yang ke-64. Era reformasi ini telah menghadapkan TNI pada berbagai tantangan. Salah satu yang terberat adalah penataan kembali peran TNI dalam hubungan sipil-militer yang demokratis. Redefinisi peran dan keterlibatan TNI di masa transisi demokrasi menjadi isu besar yang dapat memengaruhi berhasil atau gagalnya proses demokratisasi.
Pengalaman beberapa negara di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur menunjukkan proses transisi demokrasi tidak selamanya bermuara pada konsolidasi demokrasi. Transisi demokrasi, tanpa pengelolaan secara rasional, sistematik, dan terencana, memungkinkan kembalinya intervensi militer dalam sistem politik.
Pasca-Orde Baru, militer dianggap tidak lagi menjadi kekuatan yang mendominasi hubungan sipil-militer. Meski begitu, surutnya peran politik militer tidak memengaruhi daya tawar militer terhadap kebijakan pemerintahan sipil. Kekuatan sipil mulai berada pada posisi seimbang dengan kekuatan militer dalam menentukan proses kebijakan politik. Secara formal, militer tidak lagi terlibat dalam urusan politik. Namun secara faktual, pengaruh militer diperlukan kekuatan politik sipil untuk mendukung agendanya.
Sebelas tahun reformasi belum sepenuhnya menjadikan militer profesional. Walau demikian, upaya TNI keluar dari kancah politik dan menata dirinya tetap perlu diapresiasi sebagai prestasi. Krisis kredibilitas yang pernah dialamatkan ke institusi tentara akibat tindakan-tindakan di luar norma profesionalisme militer, sedikit namun pasti telah mengembalikan rasa percaya dirinya.
Meski begitu, reformasi internal TNI belum sepenuhnya melepaskan TNI dari karakter tentara politik. Hal ini diakui kalangan elite TNI yang menyatakan reformasi kultural memerlukan waktu lebih lama. Sebagai tentara politik, militer memiliki karakter inti yang dipopulerkan Finer dan Janowitz, yaitu: militer secara sistematis mengembangkan keterkaitan yang erat dengan sejarah perkembangan bangsa serta arah evolusi negara.
Hal itu dilakukan dengan mengombinasikan prinsip hak sejarah (birthright principle) dan prinsip kompetensi (competence principle). Prinsip hak sejarah didasarkan pada suatu interpretasi sejarah bahwa militer berperan besar dalam sejarah pembentukan bangsa dan telah melakukan pengorbanan tidak terhingga untuk membentuk dan mempertahankan negara.
Sedangkan prinsip kompetensi didasarkan pada ide bahwa militer merupakan institusi terbaik yang dimiliki negara untuk mempertahankan dan mencapai kepentingan nasional bangsa. Faktor utama yang mendasari penilaian ini adalah wacana tentang ketidakmampuan institusi sipil untuk mengelola negara, ditandai dengan merebaknya berbagai krisis nasional.
Untuk merombak total karakter TNI sebagai tentara politik, otoritas-otoritas politik sipil dihadapkan pada belum lengkapnya regulasi politik yang mengatur posisi TNI dalam sistem politik Indonesia. UU No 34/2004 tentang TNI masih butuh penyempurnaan. Keberadaan regulasi-regulasi politik ini diharapkan dapat memperkuat upaya menularkan prinsip-prinsip good governance ke sektor pertahanan. Implementasi prinsip-prinsip good governance ini dapat dijadikan titik awal menciptakan tentara profesional dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Namun, yang lebih penting adalah keterlibatan semua pihak untuk menjaga TNI komit terhadap agenda reformasinya melalui kritik-kritik konstruktif.
Selama perjalanan transformasi TNI pasca-Orba, faktor yang paling menghambat terwujudnya profesionalisme militer adalah keterbatasan anggaran militer. Minimnya anggaran TNI tidak saja berpengaruh signifikan terhadap kemampuan pertahanan nasional dengan semakin menurunnya kualitas peralatan militer, namun lebih jauh dapat menurunkan moral prajurit yang merasa tidak didukung. Akibatnya, berbagai program latihan kemiliteran yang ideal tidak bisa dilaksanakan karena berbagai keterbatasan. Tidak heran bila militer mencemooh kalangan sipil yang terlalu banyak menuntut profesionalisme, tapi tidak mampu memberikan fasilitas untuk itu.
Yang lebih memprihatinkan adalah kesejahteraan prajurit. Rasanya sulit menuntut militer profesional dan 'kontrak mati' untuk mempertahankan negara dengan gaji per bulan tidak sampai satu juta rupiah. Jangankan menyekolahkan anak atau memenuhi kebutuhan istri, untuk membeli obat bila sakit pun rasanya sulit di tengah kondisi ekonomi yang berat ini.
Di era reformasi, prajurit TNI semakin sulit 'nyambi' atau mendapatkan pemasukan ekstra dari kerja sampingan. Di samping itu, organisasi TNI mulai lebih teratur dan ketat dalam mengontrol kegiatan personelnya. Ditambah lagi masyarakat, LSM, dan wartawan seolah-olah berfungsi sebagai 'TNI Watch'. Pemerintah dan masyarakat menuntut TNI profesional, melarang TNI berbisnis, namun di lain pihak hak imbalan secara profesional juga tidak pernah menjadi pembahasan. Ibaratnya, kita menuntut seorang sekretaris bekerja profesional, tetapi menawarkan gaji setingkat pembantu rumah tangga.
Persoalan berikutnya adalah alat utama sistem pertahanan (alutsista). Sektor anggaran pertahanan TNI tentu akan membuat banyak orang geleng-geleng kepala. Betapa tidak, statisik membuktikan anggaran pertahanan jauh dari cukup untuk mengatasi situasi hankam di Tanah Air yang wilayahnya demikian besar.
Dengan anggaran terbatas, TNI menghadapi banyak kendala. Kasus Ambalat menyadarkan pentingnya membenahi sistem pertahanan dan postur TNI di masa mendatang, khususnya dari segi teknologi pertahanan dan kecanggihan peralatan perang. Indonesia tampak sudah ketinggalan dari Malaysia, terutama pada kekuatan matra laut dan udara. Peralatan TNI AL sudah sangat tua. Di Komisi I DPR, mantan KSAL, Laksamana Bernard Kent Sondakh, mengakui kebanyakan KRI tidak siap tempur. Pengakuan serupa juga pernah disampaikan mantan KSAU, Marsekal Cheppy Hakim, yang menyatakan dari 222 pesawat tempur, pesawat angkut, dan helikopter, hanya 41,5 persen yang siap tempur.
Dalam menghadapi ancaman musuh dari luar, Indonesia menganut strategi pertahanan yang dirumuskan dalam strategi penggunaan kekuatan atau pola operasi berdasarkan strategi pertahanan pulau-pulau besar. Itu dilakukan melalui pertahanan berlapis di wilayah (zona). Terdiri atas Zona Pertahanan I (penyangga), Zona Pertahanan II (pertahanan), dan Zona Pertahanan III (perlawanan).
Ironisnya, meski menganut sistem pertahanan berlapis, masih tetap bertumpu pada strategi landas darat (land-based strategy), yang mengandalkan keterlibatan dan keikutsertaan rakyat secara fisik dalam menghancurkan musuh dari luar, melalui sistem Pertahanan Rakyat Semesta. Padahal, sistem pertahanan berlapis jelas mensyaratkan kekuatan laut dan udara yang andal. Dengan kata lain, terdapat jurang yang lebar antara strategi militer yang dianut dengan kebijakan pembangunan kekuatan yang masih menekankan pentingnya matra darat. Tentu, persoalan keterbatasan anggaran dan strategi pertahanan saling terkait.
Meski dalam kondisi serbaterbatas, peningkatan profesionalisme TNI tetap harus menjadi prioritas. Untuk ini ada lima hal yang perlu dikedepankan dan menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa dalam rangka mewujudkan profesionalisme TNI. Pertama, sarana prasarana lembaga pendidikan dan pelatihan. Utamanya, tentunya profesionalisme para instrukturnya. Kedua, pembinaan ilmu militer (military science) dengan otoritas pemberian gelar kesarjanaan ilmu militer pada lembaga pendidikan TNI. Harus ada program yang terukur dalam jangkauan lima tahun mendatang. Ketiga, skala prioritas belanja kebutuhan peralatan militer. Keempat, komitmen terhadap pengembangan industri strategis pendukung pertahanan nasional. Kelima, meningkatkan secara bertahap dan berkesinambungan kesejahteraan prajurit TNI.
Opini Republika 5 Oktober 2009
Joko Riyanto
(Alumnus Fakultas Hukum UNS-Solo)
04 Oktober 2009
Mewujudkan Profesionalisme TNI
Thank You!