Hari ini (5/10) TNI berulang tahun yang ke-64. Bertepatan dengan HUT TNI tahun ini, sangat relevan mendiskusikan bisnis TNI dan kesejahteraan prajurit. Dasar hukum bisnis TNI sebenarnya sudah diatur dengan Keppres (Keputusan Presiden) No 7 Tahun 2008 tentang Pengalihan Bisnis TNI yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keppres ini muncul sebagai kelanjutan UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Harus diakui TNI saat ini sudah melakukan berbagai hal untuk mereformasi lembaga sesuai dengan tuntutan undang-undang dan masyarakat. Namun demikan, kompensasi untuk menjadi tentara profesional tampak belum didapatkan secara kelembagaan. Pada saat TNI harus menjadi tentara profesional dengan fungsi utama sebagai alat pertahanan, sudah seharusnya masalah anggaran operasional dan kesejahteraan prajurit sudah terjamin. Kenyataannya, jauh panggang dari api, pemerintah hanya mampu menyediakan 40 persen dari kebutuhan anggaran TNI.
Keminiman anggaran TNI berakibat kelemahan kemampuan pertahanan negara ini. Kita bisa melihat berbagai alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia atau Singapura. Selain itu kesejahteraan prajurit jauh dari layak. Saat ini ada sekitar 200.000 prajurit yang tidak bisa menempati perumahan layak. Angkatan bersenjata yang tidak sejahtera berisiko melakukan penyelewengan. Bisnis sampingan perdagangan senjata yang dilakukan beberapa oknum TNI dan purnawirawan juga dilatarbelakangi oleh motif ekonomi.
Pada masa Orde Baru minimnya anggaran TNI diatasi oleh pemerintah dengan mengizinkan TNI (kelembagaan) untuk mencari tambahan dana secara mandiri. Caranya adalah dengan melakukan bisnis legal melalui berbagai yayasan yang bernaung di bawah kesatuan-kesatuan TNI. Kita bisa mencatat ada berbagai yayasan yang menaungi bisnis TNI, seperti Yayasan Kartika Eka Paksi, Yayasan Dharma Putra Kostrad (TNI AD), Yayasan Adi Upaya (TNI AU), Yayasan Bhumyamca (TNI AL), Yayasan Kesejahteraan Baret Merah, Yayasan Markas Besar Angkatan Bersenjata RI, Yayasan Kejuangan Panglima Besar. Berbagai yayasan tersebut saat ini mempunyai asset bisnis miliaran Rupiah.
Plus-Minus Saat ini pemerintah sedang melaksanakan proses untuk mengambil alih bisnis TNI sebagai konsekuensi pengembalian fungsi TNI sebagai alat pertahanan. TNI tidak lagi diizinkan terlibat dalam persaingan bisnis karena dikhawatirkan tidak menjamin keberlangsungan iklim bisnis yang kompetitif. Dephan dan BPK sedang melakukan audit dari bisnis TNI untuk menentukan bisnis TNI yang layak diambil alih oleh pemerintah. Proses ini mengalami kendala karena ada beberapa pihak yang merasa keberatan dengan pengambilalihan bisnis. Bahkan disinyalir ada usaha mengalihkan asset TNI yang bernilai tinggi kepada swasta.
Bisnis TNI sudah telanjur besar dan menggurita. Bahkan eksistensi mereka mampu menyaingi bisnis para konglomerat di Indonesia. Sebagai contoh beberapa waktu lalu, Dephan menyatakan ada lebih dari 10 unit bisnis TNI yang mempunyai nilai di atas Rp 20 miliar yang layak diakuisisi pemerintah. Hal ini menunjukkan besarnya potensi bisnis TNI. Pemerintah mengagendakan untuk mengambilalih bisnis TNI yang layak untuk diubah statusnya menjadi BUMN. Namun demikian, pemerintah juga perlu hati-hati dalam melakukan proses penilaian bisnis TNI. Hal ini dikarenakan proses bisnis TNI menjadi besar bukan karena kinerja bisnis mereka yang bagus tetapi karena mereka terbiasa mendapatkan hak istimewa. Buktinya ketika era reformasi yang menuntut adanya persaingan bisnis yang lebih kompetitif banyak bisnis TNI yang kolaps.
Selama ini yang dijadikan alasan TNI terjun berbisnis adalah demi kesejahteraan prajurit, tetapi tampak ada ketimpangan porsi pembagian kesejahteraan. Para jenderal biasanya menikmati langsung hasil bisnis ini, sementara prajurit berpangkat rendah tetap harus berdesakan di asrama yang kumuh. Pola ini harus diubah jika TNI masih ingin mempertahankan bisnis, maka harus ada kejelasan pembagian kesejahteraan.
Ada baiknya pemerintah mempertimbangkan pengambilalihan bisnis TNI dengan tetap mempertahankan TNI (secara lembaga) sebagai salah satu pemegang saham. Pengelolaan bisnis ini juga harus mengedepankan profesionalisme (manajemen) bukan dengan hak istimewa. Artinya perusahaan-perusahaan milik TNI harus bersaing secara kompetitif dengan perusahaan lainnya. Hal ini akan menjamin kualitas bisnis TNI dalam iklim bisnis kompetitif.
Elegan Tentara yang berbisnis banyak terjadi di negara berkembang. Tentara berbisnis juga terjadi di Filipina dan beberapa negara Amerika Latin. Mereka berbisnis karena dua alasan, yaitu minimnya kesejahteraan dan kekuasaan yang terlalu besar. Kondisi di Indonesia sebenarnya lebih baik karena TNI rela mengurangi kekuasaan politiknya dan berkomitmen untuk tidak terlibat langsung dalam politik praktis. Kerelaan ini seharusnya dipahami oleh politikus sipil. Politikus sipil di eksekutif dan legislatif seharusnya berusaha agar kebutuhan anggaran TNI tercukupi baik untuk kepentingan operasional dan kesejahteraan prajurit.
Kerelaan TNI melakukan reformasi internal seharusnya juga mendapatkan kompensasi berupa pemenuhan kebutuhan mendasar mereka. Selama hal itu tidak terjadi, sangat sulit mengharapkan TNI (oknum) merelakan bisnis mereka diambil alih oleh pemerintah. Pemerintah sebaiknya tidak terlalu ambisius mengambil alih bisnis TNI selama mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan operasional TNI dan meningkatkan kesejahteraan prajurit. (35)
Wacana Suara Merdeka 5 Oktober 2009
—Anton A Setyawan, dosen Fakultas Ekonomi dan Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta